SALMAN AL-FARISI
SANG PENCARI KEBENARAN
(Kisah Sahabat KE-2)
Salman Al-Farisi mengisahkan tentang dirinya:
"Aku berasal dari Isfahan, warga suatu desa yang bernama "Ji". Bapakku
seorang bupati di daerah itu, dan aku merupakan makhluk Allah yang
paling disayanginya. Aku membaktikan diri dalam agama Majusi, hingga
diserahi tugas sebagai penjaga api, yang bertanggung jawab atas nyalanya dan tidak membiarakannya padam.
Bapakku memiliki sebidang tanah. Pada suatu hari aku disuruhnya ke sana.
Dalam perjalanan ke tempat tujuan, aku melewati sebuah gereja milik kaum Nasrani
Kudengar mereka sedang sembahyang, kemudian aku masuk ke dalam untuk
melihat apa yang mereka lakukan. Aku kagum melihat cara mereka
sembahyang dan kataku dalam hati, 'lni lebih baik dari apa yang aku anut selama ini!'
Aku tidak beranjak dari tempat itu sampai matahari
terbenam sehingga membatalkan untuk pergi ke tanah milik bapakku dan
tidak kembali pulang, hingga bapak mengirim orang untuk menyusulku.
Karena agama mereka menarik perhatianku, kutanyakan kepada orang-orang
Nasrani dari mana asal usul agama mereka. 'Dari Syiria', ujar mereka.
Ketika aku berhadapan dengan bapakku, kukatakan kepadanya, 'Aku lewat
pada suatu kaum yang sedang melakukan upacara sembahyang di gereja.
Upacara mereka amat mengagumkanku. Kulihat pula agama mereka lebih baik
dari agama kita.'
Aku dan bapakku pun melakukan diskusi, tetapi berakhir dengan dirantainya kakiku dan dipenjarakannya diriku.
Kepada orang-orang Nasrani kukirim berita bawah aku telah menganut agama
mereka. Kupinta pula apabila datang rombongan dari Syiria, supaya aku
diberi tahu sebelum mereka kembali karena aku akan ikut bersama mereka
ke sana. Permintaanku mereka kabulkan, lalu kuputuskan rantai,
meloloskan diri dari penjara, dan menggabungkan diri dengan rombongan
itu menuju Syiria.
Sesampai di sana kutanyakan seorang ahli dalam agama itu, dijawabnya bahwa ia adalah uskup pemilik gereja.
Kemudian aku datang kepadanya dan kuceritakan keadaanku. Akhirnya,
tinggallah aku bersamanya sebagai pelayan, melaksanakan ajaran mereka, dan belajar.
Sayang uskup itu orang yang tidak baik beragamanya karena sedekah yang
dikumpulkannya dari orang-orang dengan alasan untuk dibagikan, ternyata
disimpan untuk dirinya sendiri.
Kemudian uskup itu wafat. Dan mereka mengangkat orang lain sebagai
gantinya. Kulihat tak ada seorang pun yang lebih baik beragamanya dari
uskup baru ini. Aku pun mencintainya sedemikian rupa sehingga hatiku
merasa tak seorang pun yang lebih kucintai sebelum itu daripadanya.
Hingga tatkala ajalnya telah dekat, tanyaku kepadanya, 'Seperti yang
Anda maklumi, telah dekat saat berlakunya takdir Allah atas diri Anda.
Maka apakah yang harus aku perbuat dan siapakah sebaiknya yang harus aku
hubungi?'
'Anakku,' ujarnya, 'tak seorang pun menurut pengetahuanku yang sama
langkahnya dengan aku, kecuali seorang pemimpin yang tinggal di Mosul.'
Lalu, takkala ia wafat, aku pun berangkat ke Mosul dan menghubungi
pendeta yang disebutkannya itu. Kuceritakan kepadanya pesan dari uskup
tadi dan aku tinggal bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah.
Kemudian tatkala ajalnya telah dekat pula, kutanyakan kepadanya siapa
yang harus kuturuti. Ditunjukkannyalah orang saleh yang tinggal di
Nasibin. Aku datang kepadanya dan kuceritakan perihalku, lalu tinggal
bersamanya selama waktu yang dikehendaki Allah pula.
Tatkala ia hendak meninggal,
aku bertanya pula kepadanya. Kemudian aku disuruhnya untuk menghubungi
seorang pemimpin yang tinggal di Amuria, suatu kota yang termasuk
wilayah Romawi.
Aku berangkat ke sana dan tinggal bersamanya. Sebagai bekal hidup aku beternak sapi dan kambing beberapa ekor.
Akhirnya, dekatlah pula ajalnya dan kutanyakan kepadanya siapa yang
harus aku percayai sepeninggalnya. Ujarnya, 'Anakku, tak seorang pun
yang kukenal serupa dengan kita keadaannya dan dapat aku percayakan
engkau kepadanya.
Namun, sekarang telah dekat datangnya masa kebangkitan seorang nabi yang
mengikuti agama Ibrahim secara murni. la nanti akan hijrah ke suatu
tempat yang ditumbuhi kurma dan terletak antara dua bidang tanah berbatu-batu hitam.
Seandainya kamu dapat pergi ke sana, temuilah dia. Ia mempunyai
tanda-tanda yang jelas dan gamblang, yaitu ia tidak mau makan harta
sedekah, sebaliknya, dia bersedia menerima hadiah, dan dipundaknya ada cap kenabian yang jika kau melihatnya, kau akan segera mengenalinya.
Kebetulan pada suatu hari lewatlah suatu rombongan berkendaraan, lalu
kutanyakan dari mana mereka datang. Tahulah aku bahwa mereka dari
jazirah Arab. Aku pun berkata kepada mereka, 'Maukah kalian membawaku ke
negeri kalian dan sebagai imbalannya kuberikan kepada kalian sapi-sapi
dan kambing-kambingku ini?' Mereka pun menyetujuinya.
Demikianlah mereka membawaku serta dalam perjalanan hingga sampai di
suatu negeri yang bernama Wadil Qura. Di sana aku mengalami
penganiayaan, mereka menjualku kepada seorang Yahudi.
Ketika tampak olehku banyak pohon kurma, aku berharap kiranya negeri ini
yang disebutkan pendeta kepadaku dulu, yakni yang akan menjadi tempat
hijrah nabi yang ditunggu. Ternyata dugaanku meleset.
Mulai saat itu aku tinggal bersama orang yang membeliku, hingga pada
suatu hari datang seorang Yahudi dari Bani Quraizhah yang membeliku
darinya. Aku dibawanya ke Medinah dan demi Allah baru saja kulihat
negeri itu, aku pun yakin itulah negeri yang disebutkan dulu.
Aku tinggal bersama Yahudi itu dan bekerja di perkebunan kurma milik
Bani Quraizhah, hingga datang saat dibangkitkannya Rasulullah saw. yang
datang ke Medinah dan singgah di Bani 'Amr bin 'Auf di Quba.
Pada suatu hari ketika aku berada di puncak pohon kurma, sedangkan
majikanku sedang duduk di bawahnya, tiba-tiba datang seorang Yahudi
saudara sepupunya yang berkata, 'Bani Qilah celaka! Mereka berkerumun
mengelilingi seorang lelaki di Quba yang datang dari Mekah dan mengaku
sebagai Nabi!'
Demi Allah, baru saja ia mengucapkan kata-kata itu, tubuhku pun bergetar
keras hingga pohon kurma itu bagai berguncang dan hampir saja aku jatuh
menimpa majikanku. Aku segera turun dan aku bertanya kepada orang tadi,
'Apa kata Anda? Ada berita apa?'
Bukan jawaban yang aku terima, melainkan pukulan telak dari majikanku
seraya berkata, 'Apa urusanmu dengan ini?! Ayo, kembali bekerja!'
Setelah hari petang, kukumpulkan semua yang ada padaku, lalu keluar dan
pergi menemui Rasulullah saw. di Quba. Aku masuk menemuinya ketika
beliau sedang duduk bersama beberapa orang anggota rombongan.
Lalu, kataku kepada mereka, 'Tuan-tuan adalah perantau yang sedang dalam kebutuhan. Kebetulan aku mempunyai persediaan makanan
yang telah kujanjikan untuk sedekah. Dan setelah mendengar keadaan
tuan-tuan, menurut hematku, tuan-tuanlah yang lebih layak menerimanya,
dan makanan itu kubawa ke sini,' kataku sambil menghidangkan makanan di
hadapan beliau.
'Makanlah dengan nama Allah!' sabda Rasulullah saw kepada para
sahabatnya, tetapi beliau tidak sedikit pun mengulurkan tangannya untuk
menjamah makanan itu.
Demi Allah, kataku dalam hati, inilah salah satu dari tanda-tandanya, yaitu ia tidak mau memakan harta sedekah.
Aku kembali pulang, tetapi keesokan harinya pagi-pagi aku kembali
menemui Rasulullah saw sambil membawa makanan. Aku berkata kepadanya,
'Kulihat Tuan tidak ingin makan makanan sedekah, tetapi aku mempunyai
sesuatu yang ingin kuserahkan kepada Tuan sebagai hadiah' sambil kutaruh
makanan di hadapannya.
Kemudian kepada para sahabatnya bersabda, 'Makanlah dengan menyebut nama Allah!'
Beliau pun turut makan bersama para sahabatnya. Demi Allah, inilah tanda yang kedua, yaitu ia bersedia menerima hadiah.
Aku kembali pulang dan tinggal di tempatku beberapa lama. Kemudian aku
pergi mencari Rasulullah saw. dan kutemui beliau di Bapi' sedang
mengiringkan jenazah dan dikelilingi oleh para sahabatnya. la memakai
dua lembar kain lebar, yang satu dipakainya untuk sarung dan satu lagi
sebagai baju.
Kuucapkan salam kepadanya dan kutolehkan padanganku hendak melihat tanda
di pundaknya. Rupanya ia mengerti maksudku, lalu disingkapkanlah kain
burdahnya dari lehernya dan tampaklah tanda yang kucari di pundaknya,
yaitu cap kenabian sebagaimana yang disebutkan oleh pendeta dulu.
Melihat itu aku meratap dan menciuminya sambil menangis. Lalu, aku
dipanggil menghadap oleh beliau. Aku duduk di hadapannya, lalu aku
ceritakan kisahku kepadanya.
Akhirnya, aku pun masuk Islam,
tetapi perbudakan menjadi penghalang bagiku untuk menyertai Perang
Badar dan Uhud. Kemudian pada suatu hari Rasulullah saw. memerintahkan
kepadaku, 'Mintalah kepada majikanmu agar ia bersedia membebaskanmu
dengan menerima uang tebusan!'
Aku turuti perintah beliau dan para Sahabat diperintahkan untuk membantuku dalam soal keuangan.
Akhirnya, aku dimerdekakan oleh Allah SWT dan hidup sebagai seorang muslim yang bebas merdeka. Aku pun menjadi bagian bersama Rasulullah dalam Perang Khandaq dan peperangan lainnya."
Kisah kepahlawanan Salman yang terkenal adalah karena
idenya membuat parit dalam upaya melindungi kota Madinah dalam Perang
Khandaq. Ketika itu Madinah akan diserang pasukan Quraisy yang mendapat
dukungan dari suku-suku Arab lainnya yang berjumlah 10.000 personel.
Pemimpin pasukan itu adalah Abu Sufyan. Ancaman juga datang dari dalam
Madinah, di mana penganut Yahudi dari Bani Quradhzah akan mengacau dari
dalam kota.
Rasulullah SAW pun meminta masukan dari
sahabat-sahabatnya bagaimana strategi menghadapi mereka. Setelah
bermusyawarah akhirnya saran Salman Al Farisi atau yang biasa dipanggil
Abu Abdillah diterima. Strategi Salman memang belum pernah dikenal oleh
bangsa Arab pada waktu itu. Namun atas ketajaman pertimbangan Rasulullah
SAW, saran tersebut diterima.
Atas saran Salman itulah perang dengan jumlah pasukan yang tak seimbang dimenangkan kaum Muslimin.
Setelah meninggalnya Nabi Muhammad, Salman dikirim untuk menjadi gubernur di daerah kelahirannya, hingga dia wafat.