(DEFINISI BID'AH) Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah
1. Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah (Imam
Syafii) Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi 2, yaitu Bid’ah
Mahmudah (terpuji) dan Bid’ah Mad
zmumah
(tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang
tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan
ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik
bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)
2. Al Imam Al
Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah “Menanggapi ucapan
ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa
makna hadits Nabi saw yang berbunyi : “seburuk - buruk permasalahan
adalah hal yang baru, dan semua bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul
umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah
hal – hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau
perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai
hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang
baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang
mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan
barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya
dosanya dan dosa orang yang mengikutinya” (Shahih Muslim hadits No.1017)
dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan
bid’ah yang sesat. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
3.
Hujjatul Islam Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy
rahimahullah (Imam Nawawi) Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa
membuat buat hal baru yang baik dalam
Islam, maka baginya pahalanya
dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari
pahalanya, dan barangsiapa membuat – buat hal baru yang buruk dalam
Islam, maka baginya dosanya”. Hadits ini merupakan anjuran untuk membuat
kebiasaan- kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan
yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau
saw : “semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang bid’ah adalah
sesat”, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan bid’ah
yang tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105) Dan
berkata pula Imam Nawawi : “Bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu
bid’ah yang wajib, bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang
makruh dan bid’ah yang haram.
Bid’ah yang wajib contohnya adalah
mencantumkan dalil – dalil pada ucapan – ucapan yang menentang
kemungkaran. Contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala bila dilakukan
dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku - buku ilmu
syariah, membangun majelis taklim dan pesantren. Dan Bid’ah yang mubah
adalah bermacam – macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram
sudah jelas diketahui. Demikianlah makna pengecualian dan kekhususan
dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih
bahwa “inilah sebaik - sebaiknya bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala Shahih
Muslim Juz 6 hal 154-155)
4. Al Hafidh Al Imam Jalaluddin
Abdurrahman Assuyuthiy rahimahullah Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah”
ini bermakna “Aammun Makhsush”, (sesuatu yang umum yang ada
pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yang Menghancurkan segala
sesuatu” (QS. Al-Ahqaf : 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur,
(*atau pula ayat : “Sungguh telah Ku-pastikan ketentuan-Ku untuk
memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya” (QS. Assajdah :
13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat
itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang
dhalim) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini”
(dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw)
(Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
Kemudian bila muncul
pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman para
Muhaddits dan para Imam maka mestilah kita berhati - hati darimanakah
ilmu mereka? Berdasarkan apa pemahaman mereka? atau seorang yang disebut
imam padahal ia tak mencapai derajat Hafidh atau Muhaddits? atau hanya
ucapan orang yang tak punya sanad, hanya menukil menukil hadits dan
mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa -fatwa para Imam?
(Walillahittaufiq)
(DEFINISI BID'AH) Bid’ah Dhalalah
Jelaslah sudah bahwa mereka yang menolak bid’ah hasanah inilah yang
termasuk pada golongan Bid’ah Dhalalah, dan Bid’ah Dhalalah ini banyak
jenisnya, seperti penafian sunnah, penolakan ucapan sahabat, peno
lakan
pendapat Khulafa’urrasyidin. Nah…diantaranya adalah penolakan atas hal
baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, karena hal ini sudah
diperbolehkan oleh Rasul saw dan dilakukan oleh Khulafa’urrasyidin, dan
Rasul saw telah jelas – jelas memberitahukan bahwa akan muncul banyak
ikhtilaf, berpeganglah pada Sunnahku dan Sunnah Khulafa’urrasyidin.
Bagaimana sunnah Rasul saw?, beliau saw membolehkan bid’ah hasanah,
bagaimana sunnah khulafa’urrasyidin?, mereka melakukan bid’ah hasanah,
maka penolakkan atas hal inilah yang merupakan bid’ah dhalalah, hal yang
telah diperingatkan oleh Rasul saw.
Bila kita menafikan
(meniadakan) adanya bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan dan
membid’ahkan kitab Alqur’an dan kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran
pokok agama Islam karena kedua kitab tersebut (Alqur’an dan Hadits)
tidak ada perintah Rasulullah saw untuk membukukannya dalam satu kitab
masing - masing, melainkan hal itu merupakan ijma’ atau kesepakatan
pendapat para Sahabat Radhiyallahu’anhum dan hal ini dilakukan
setelah Rasulullah saw wafat.
Buku hadits seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dll. Inipun tak
pernah ada perintah Rasul saw untuk membukukannya, tak pula
Khulafa’urrasyidin memerintahkan menulisnya, namun para Tabi’in mulai
menulis hadits Rasul saw dan memberikan klasifikasi hukum
hadits
menurut para periwayatnya. Begitu pula Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu,
Sharaf, dan lain-lain sehingga kita dapat memahami kedudukan derajat
hadits. Ini semua adalah
perbuatan bid’ah namun Bid’ah Hasanah.
Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas Sahabat, tidak pernah
diajarkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu
disebut dalam Alqur’an bahwa mereka para sahabat itu diridhai Allah,
namun tak ada dalam ayat atau hadits Rasul saw
memerintahkan untuk
mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya. Namun karena kecintaan para
Tabi’in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut
dan seluruh Madzhab mengikutinya.
Dan ini merupakan Bid’ah
Hasanah dengan dalil hadits di atas, lalu muncul pula kini Alqur’an yang
di kasetkan, di CD kan, program Alqur’an di handphone, Alqur’an yang
diterjemahkan, ini semua adalah Bid’ah hasanah.
Bid’ah yang
baik, yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena
dengan adanya bid’ah hasanah di atas, maka semakin mudah bagi kita untuk
mempelajari Alqur’an, untuk selalu membaca Alqur’an, bahkan untuk
menghafal Alqur’an dan tidak ada yang memungkirinya.
Sekarang
kalau kita menarik mundur ke belakang sejarah Islam, bila Alqur’an tidak
dibukukan oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada
perkembangan sejarah Islam ? Alqur’an masih bertebaran di tembok -
tembok, di kulit onta, di hafalan para Sahabat ra yang hanya sebagian
dituliskan, maka akan muncul beribu - ribu versi Alqur’an di zaman
sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang
masing -
masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Alqur’an
dan hancurlah Islam. Namun dengan adanya Bid’ah Hasanah, sekarang kita
masih mengenal Alqur’an secara utuh dan dengan adanya bid’ah hasanah ini
pula kita masih mengenal hadits – hadits Rasulullah saw, maka jadilah
Islam ini kokoh dan abadi. Jelaslah sudah sabda Rasul saw yang telah
membolehkannya, beliau saw telah mengetahui dengan jelas bahwa hal - hal
baru yang berupa kebaikan (Bid’ah Hasanah), mesti dimunculkan kelak,
dan beliau saw telah melarang hal – hal baru yang berupa keburukan
(Bid’ah Dhalalah).
Saudara - saudaraku, jernihkan hatimu
menerima ini semua, ingatlah ucapan Amirulmukminin pertama ini,
ketahuilah ucapan - ucapannya adalah Mutiara Alqur’an, sosok agung
Abubakar Asshiddiq ra berkata mengenai Bid’ah hasanah : “sampai Allah
menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”.
Lalu berkata pula Zeyd bin Haritsah ra : ”..bagaimana kalian berdua
(Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah
saw??”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan,
hingga ia pun (Abubakar ra) meyakinkanku (Zeyd) “sampai Allah
menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka
berdua”.
Maka kuhimbau saudara - saudaraku muslimin yang
kumuliakan, hati yang jernih menerima hal – hal baru yang baik adalah
hati yang sehati dengan Abubakar Asshiddiq ra, hati Umar bin Khattab ra,
hati Zeyd bin Haritsah ra, hati para sahabat, yaitu hati yang
dijernihkan Allah swt.
Dan curigalah pada dirimu bila kau
temukan dirimu mengingkari hal ini, maka barangkali hatimu belum
dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dengan mereka, belum setuju
dengan pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah. Dan Rasul saw
sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah
perbuatanku dan perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dengan geraham (yang
maksudnya berpeganglah erat – erat pada tuntunanku dan tuntunan
mereka).
Semoga Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari
kalian hingga sehati dan sependapat dengan Abubakar Asshiddiq ra, Umar
bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib ra dan seluruh
sahabat.. amiin
(DEFINISI BID'AH) Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah
1. Al Muhaddits Al Imam Muhammad bin Idris Assyafii rahimahullah (Imam
Syafii) Berkata Imam Syafii bahwa bid’ah terbagi 2, yaitu Bid’ah
Mahmudah (terpuji) dan Bid’ah Mad
zmumah
(tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang
tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan
ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih : “inilah sebaik baik
bid’ah”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 86-87)
2. Al Imam Al
Hafidh Muhammad bin Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah “Menanggapi ucapan
ini (ucapan Imam Syafii), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa
makna hadits Nabi saw yang berbunyi : “seburuk - buruk permasalahan
adalah hal yang baru, dan semua bid’ah adalah dhalalah” (wa syarrul
umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah
hal – hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau
perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai
hal ini oleh hadits lainnya : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang
baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang
mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan
barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya
dosanya dan dosa orang yang mengikutinya” (Shahih Muslim hadits No.1017)
dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan
bid’ah yang sesat. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
3.
Hujjatul Islam Al Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawiy
rahimahullah (Imam Nawawi) Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa
membuat buat hal baru yang baik dalam
Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat – buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya”. Hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan- kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang bid’ah adalah sesat”, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan bid’ah yang tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105) Dan berkata pula Imam Nawawi : “Bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu bid’ah yang wajib, bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ah yang haram.
Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil – dalil pada ucapan – ucapan yang menentang kemungkaran. Contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku - buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren. Dan Bid’ah yang mubah adalah bermacam – macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui. Demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa “inilah sebaik - sebaiknya bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat – buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya”. Hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan- kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : “semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang bid’ah adalah sesat”, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan bid’ah yang tercela”. (Syarh Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105) Dan berkata pula Imam Nawawi : “Bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu bid’ah yang wajib, bid’ah yang mandub, bid’ah yang mubah, bid’ah yang makruh dan bid’ah yang haram.
Bid’ah yang wajib contohnya adalah mencantumkan dalil – dalil pada ucapan – ucapan yang menentang kemungkaran. Contoh bid’ah yang mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila ditinggalkan) adalah membuat buku - buku ilmu syariah, membangun majelis taklim dan pesantren. Dan Bid’ah yang mubah adalah bermacam – macam dari jenis makanan, dan Bid’ah makruh dan haram sudah jelas diketahui. Demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jamaah tarawih bahwa “inilah sebaik - sebaiknya bid’ah”. (Syarh Imam Nawawi ala Shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
4. Al Hafidh Al Imam Jalaluddin
Abdurrahman Assuyuthiy rahimahullah Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah”
ini bermakna “Aammun Makhsush”, (sesuatu yang umum yang ada
pengecualiannya), seperti firman Allah : “… yang Menghancurkan segala
sesuatu” (QS. Al-Ahqaf : 25) dan kenyataannya tidak segalanya hancur,
(*atau pula ayat : “Sungguh telah Ku-pastikan ketentuan-Ku untuk
memenuhi jahannam dengan jin dan manusia keseluruhannya” (QS. Assajdah :
13), dan pada kenyataannya bukan semua manusia masuk neraka, tapi ayat
itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh musyrikin dan orang
dhalim) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan kedua jari ini”
(dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya Rasul saw)
(Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
Kemudian bila muncul
pemahaman di akhir zaman yang bertentangan dengan pemahaman para
Muhaddits dan para Imam maka mestilah kita berhati - hati darimanakah
ilmu mereka? Berdasarkan apa pemahaman mereka? atau seorang yang disebut
imam padahal ia tak mencapai derajat Hafidh atau Muhaddits? atau hanya
ucapan orang yang tak punya sanad, hanya menukil menukil hadits dan
mentakwilkan semaunya tanpa memperdulikan fatwa -fatwa para Imam?
(Walillahittaufiq)
(DEFINISI BID'AH) Bid’ah Dhalalah
Jelaslah sudah bahwa mereka yang menolak bid’ah hasanah inilah yang
termasuk pada golongan Bid’ah Dhalalah, dan Bid’ah Dhalalah ini banyak
jenisnya, seperti penafian sunnah, penolakan ucapan sahabat, peno
lakan
pendapat Khulafa’urrasyidin. Nah…diantaranya adalah penolakan atas hal
baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, karena hal ini sudah
diperbolehkan oleh Rasul saw dan dilakukan oleh Khulafa’urrasyidin, dan
Rasul saw telah jelas – jelas memberitahukan bahwa akan muncul banyak
ikhtilaf, berpeganglah pada Sunnahku dan Sunnah Khulafa’urrasyidin.
Bagaimana sunnah Rasul saw?, beliau saw membolehkan bid’ah hasanah,
bagaimana sunnah khulafa’urrasyidin?, mereka melakukan bid’ah hasanah,
maka penolakkan atas hal inilah yang merupakan bid’ah dhalalah, hal yang
telah diperingatkan oleh Rasul saw.
Bila kita menafikan
(meniadakan) adanya bid’ah hasanah, maka kita telah menafikan dan
membid’ahkan kitab Alqur’an dan kitab Hadits yang menjadi panduan ajaran
pokok agama Islam karena kedua kitab tersebut (Alqur’an dan Hadits)
tidak ada perintah Rasulullah saw untuk membukukannya dalam satu kitab
masing - masing, melainkan hal itu merupakan ijma’ atau kesepakatan
pendapat para Sahabat Radhiyallahu’anhum dan hal ini dilakukan
setelah Rasulullah saw wafat.
setelah Rasulullah saw wafat.
Buku hadits seperti Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dll. Inipun tak
pernah ada perintah Rasul saw untuk membukukannya, tak pula
Khulafa’urrasyidin memerintahkan menulisnya, namun para Tabi’in mulai
menulis hadits Rasul saw dan memberikan klasifikasi hukum
hadits menurut para periwayatnya. Begitu pula Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu, Sharaf, dan lain-lain sehingga kita dapat memahami kedudukan derajat hadits. Ini semua adalah
perbuatan bid’ah namun Bid’ah Hasanah.
hadits menurut para periwayatnya. Begitu pula Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu, Sharaf, dan lain-lain sehingga kita dapat memahami kedudukan derajat hadits. Ini semua adalah
perbuatan bid’ah namun Bid’ah Hasanah.
Demikian pula ucapan “Radhiyallahu’anhu” atas Sahabat, tidak pernah
diajarkan oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu
disebut dalam Alqur’an bahwa mereka para sahabat itu diridhai Allah,
namun tak ada dalam ayat atau hadits Rasul saw
memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya. Namun karena kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut dan seluruh Madzhab mengikutinya.
memerintahkan untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya. Namun karena kecintaan para Tabi’in pada Sahabat, maka mereka menambahinya dengan ucapan tersebut dan seluruh Madzhab mengikutinya.
Dan ini merupakan Bid’ah
Hasanah dengan dalil hadits di atas, lalu muncul pula kini Alqur’an yang
di kasetkan, di CD kan, program Alqur’an di handphone, Alqur’an yang
diterjemahkan, ini semua adalah Bid’ah hasanah.
Bid’ah yang
baik, yang berfaedah dan untuk tujuan kemaslahatan muslimin, karena
dengan adanya bid’ah hasanah di atas, maka semakin mudah bagi kita untuk
mempelajari Alqur’an, untuk selalu membaca Alqur’an, bahkan untuk
menghafal Alqur’an dan tidak ada yang memungkirinya.
Sekarang
kalau kita menarik mundur ke belakang sejarah Islam, bila Alqur’an tidak
dibukukan oleh para Sahabat ra, apa sekiranya yang terjadi pada
perkembangan sejarah Islam ? Alqur’an masih bertebaran di tembok -
tembok, di kulit onta, di hafalan para Sahabat ra yang hanya sebagian
dituliskan, maka akan muncul beribu - ribu versi Alqur’an di zaman
sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang
masing -
masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Alqur’an dan hancurlah Islam. Namun dengan adanya Bid’ah Hasanah, sekarang kita masih mengenal Alqur’an secara utuh dan dengan adanya bid’ah hasanah ini pula kita masih mengenal hadits – hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan abadi. Jelaslah sudah sabda Rasul saw yang telah membolehkannya, beliau saw telah mengetahui dengan jelas bahwa hal - hal baru yang berupa kebaikan (Bid’ah Hasanah), mesti dimunculkan kelak, dan beliau saw telah melarang hal – hal baru yang berupa keburukan (Bid’ah Dhalalah).
masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Alqur’an dan hancurlah Islam. Namun dengan adanya Bid’ah Hasanah, sekarang kita masih mengenal Alqur’an secara utuh dan dengan adanya bid’ah hasanah ini pula kita masih mengenal hadits – hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan abadi. Jelaslah sudah sabda Rasul saw yang telah membolehkannya, beliau saw telah mengetahui dengan jelas bahwa hal - hal baru yang berupa kebaikan (Bid’ah Hasanah), mesti dimunculkan kelak, dan beliau saw telah melarang hal – hal baru yang berupa keburukan (Bid’ah Dhalalah).
Saudara - saudaraku, jernihkan hatimu
menerima ini semua, ingatlah ucapan Amirulmukminin pertama ini,
ketahuilah ucapan - ucapannya adalah Mutiara Alqur’an, sosok agung
Abubakar Asshiddiq ra berkata mengenai Bid’ah hasanah : “sampai Allah
menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”.
Lalu berkata pula Zeyd bin Haritsah ra : ”..bagaimana kalian berdua
(Abubakar dan Umar) berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah
saw??”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan,
hingga ia pun (Abubakar ra) meyakinkanku (Zeyd) “sampai Allah
menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka
berdua”.
Maka kuhimbau saudara - saudaraku muslimin yang
kumuliakan, hati yang jernih menerima hal – hal baru yang baik adalah
hati yang sehati dengan Abubakar Asshiddiq ra, hati Umar bin Khattab ra,
hati Zeyd bin Haritsah ra, hati para sahabat, yaitu hati yang
dijernihkan Allah swt.
Dan curigalah pada dirimu bila kau
temukan dirimu mengingkari hal ini, maka barangkali hatimu belum
dijernihkan Allah, karena tak mau sependapat dengan mereka, belum setuju
dengan pendapat mereka, masih menolak bid’ah hasanah. Dan Rasul saw
sudah mengingatkanmu bahwa akan terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah
perbuatanku dan perbuatan khulafa’urrasyidin, gigit dengan geraham (yang
maksudnya berpeganglah erat – erat pada tuntunanku dan tuntunan
mereka).
Semoga Allah menjernihkan sanubariku dan sanubari
kalian hingga sehati dan sependapat dengan Abubakar Asshiddiq ra, Umar
bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib ra dan seluruh
sahabat.. amiin
saya rasa coba koreksi lagi HR. Muslim yg anda sebutkan di atas, karena matan yg benar seperti ini:
BalasHapusTelah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah bin Sa'id dan Ibnu Hujr, mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Isma'il yaitu Ibnu Ja'far dari Al 'Ala dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah bersabda: "Barang siapa mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mendapat pahala sebanyak pahala yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Sebaliknya, barang siapa mengajak kepada kesesatan, maka ia akan mendapat dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun."
anda menambahkan " hal baru " pada hadits tersebut, sungguh jika ini kesilafan semata, maka saya berdoa supaya anda mendapat petunjuk, tapi jika ada unsur kesengajaan ,,, maka selamat menikmati bangku di neraka,,,
BalasHapusWaalaikumsalam wr.wb.
BalasHapusMohon maaf bila tulisan ini tak berkenan untuk anda. Kita sebagai umat Islam dianjurkan dan diwajibkan untuk banyak belajar dari Para Ulama. Dan perihal agama, kita tak boleh belajar hanya dengan membaca buku2 atau literatur diinternet saja.
Apabila anda ingin banyak belajar hadits, cobalah untuk membaca kitab yang asli (berbahasa Arab), bukan kita yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.
Bila anda mau berusaha untuk mencari kitab2 asli yang berbahasa Arab, insyaAllah anda akan tercengang dan terguncang.
Mohon maaf bila balasan saya kurang berkenan.
Terima kasih untuk doanya...
Khoir.... Wassalam
apakah anda menulis berdasarkan kitab asli?
BalasHapusmakanya cari guru bung. jangan asal nalar dan mangut kayak sapi dicolok hidung. biar ga kafirkan orang terus...
BalasHapusmaksud ada? kapan saya kafirkan orang?
BalasHapussaran buat kamu, jangan banyak su'udzon kepada orang, perbaikilah ahlak-mu? disni aku bertanya bukan mencela-mu bung, percuma punya ilmu tapi sikap jahil susah untuk anda tinggalkan,,, jangan sok pintar kalo cuma copas artikel, ketahuan bodohnya,http://abunamira.wordpress.com/2011/10/02/mengenal-ushul-bidah/
BalasHapusBACA BAIK-BAIK BIAR JANGAN MANGGUT2 KAYA SAPI DI COLOK HIDUNGNYA:
BalasHapusMereka ini telah merubah makna dari tafsiran hadits diatas. Apakah kata “Sunnatan Hasanatan” dalam hadits tersebut artinya bid’ah hasanah (hal baru yang baik dalam Islam)?
Masya Allah, Inilah seperti yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam sebagai “ta`wilul jahilin” sungguh tidak ada dari kalangan salafus shalih (sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in) yang menafsirkan kata-kata “Sunnatan Hasanatan” = membuat hal baru yang baik dalam Islam (bid’ah hasanah). “Sunnatan Hasanatan” maksudnya adalah “menjalankan suatu sunnah yang baik”.
Hadits yang benar bermaksud:
“man sanna fil Islamihi sunnatan hasanatan falahu ‘ajruha, wa ‘ajruhu man ‘amilabiha ba’dahu, min ghairi ayankusa nin ujuurihim syaiun, waman sanna fil Islamihi sunnatan sayyi’atan kaana ‘alaihi widzruha wa widzruhum man ‘amilaabiha mimba’dihi, min ghairi ayankusa nin audzaarihim syaiun” (HR. Imam Muslim no.1017)
Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Barang siapa yang menjalankan suatu sunnah yang baik didalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tidak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan barangsiapa yang menjalankan suatu sunnah yang jekel didalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tidak dikurangkan sedikitpun dari dosanya” (HR. Imam Muslim no.1017)
Nah baru keluar aslinya. Makanya saya coba tadi katakan bung, coba anda belajar dari kitab yg asli, jangan asal belajar diinternet atau belajar sendiri. Lebih baik terlambat daripada tidak..
BalasHapusperbanyak Tahajud, minta diberikan petunjuk dan hidayah (begitu jg dengan saya), dekat dekat ulama beneran, bukan ulama jadi2an. Ulama Salaf yang asli punya buku kitab yang asli sebelum direfisi dan diubah2 oleh kaum wahabi.
Mengajak orang kembali kesunnah itu wajib, tapi bukan dengan paksaan atau mengkafirkan orang lain seperti salap yg sekarang ini.
Ya mudah2an kita berdua diberikan petunjuk dan hidayah oleh Allah SWT. Tetap yakin dengan apa yg kita pelajari dan siap menerima sanksi diakhirat kelak.
saya sebenarnya tidak permasalahkan masalah bid'ah, karena pada kenyataannya rakyat sekarang masih melakukan shalat tarawih dengan berjamaah, yg kita tau itu baru ada setelah zaman Rasulullah Saw tidak ada, blom lagi permasalahan lainnya, jadi buka bid'ah yg saya masalahkan, karena saya bukan orang yg ahli dalam bidang itu, tapi yang saya permasalahkan bahwa anda mengarttikan “Sunnatan Hasanatan”( سُنَّةً حَسَنَةً )dengan " bid'ah hasannatan " ( حَسَنَةً بِدْغَ coba anda perhatikan hadits Imam Muslim yg berbahasa arab yg anda tulis pada artikel ini pada bagian atas,saya memberi saran kepada anda bukan brarti mau sok pintar, tapi biar jangan kita termasuk orang yang berbohong atas nama Rasulullah Saw, yang akibat nya masuk neraka, seperti hadits Rasulullah Saw yang anda mungkin tau, cobalah anda pahami maksud saya, maafkan saya jika saya menyakiti hati saudara, tak ada manusia yag sempurna kecuali berusaha menjadi sempurna, walaikum salam
BalasHapuskhoir atas saran dan masukkannya. saya jg mohon maaf. saya juga bukan ahli yang bisa mendefiniskan hal ini secara gamblang. Tapi saya bersyukur kepada Allah karena saya mempunyai sanad yang jelas untuk belajar agama. Dan saya mengambil seorang guru yang sesuai dengan apa yang Nabi SAW ajarkan. Berdeda mahzab itu masalah biasa, karena Para Ahlinya saja bisa berbeda/khilafiyah, bagaimana dengan kita yg awam?
BalasHapusMas izin tukar link... ini website saya http://fikirmuslim.16mb.com
BalasHapusSaya letakkan blog mas di Link Muslim
Jazakallah khoir mas atas pencerahannya....
BalasHapusIslam harus bersatu
BalasHapus