HADITS SYADZ DALAM UCAPAN IMAM AL-SYAFII
1.
Artikel ini asalnya adalah sebuah bahasan di dalam sebuah buku yang
berbincang tentang metode Imam Al-Syafii dalam menyingkap ‘illat hadits
empat tahun lepas. Sengaja saya letakkan di sini agar menjadi ‘amal
jariyah bagi teman-teman yang berminat pada kajian ilmu hadits dalam
bentuk yang lebih mendalam.
Salah satu sumbangan besar Imam Al-Syafii dalam ilmu hadits adalah beliau menjelaskan kepada kita makna-makna berbagai istilah teknikal yang digunakan ahli hadits dalam kritik riwayat. Di antara istilah-istilah yang beliau perjelaskan itu adalah syadz. Sejauh bacaan saya, setiap perbincangan tentang konsep ini dalam kitab-kitab mustalah selalu merujuk kepada ucapan beliau, lalu setiap ulama berusaha menafsirkannya dengan penjelasan yang munasabah. Meski telah banyak diperkatakan, namun saya melihat beberapa aspek dari bahasan ini masih gelap dan memerlukan cahaya penerangan sebagaimana yang akan saya jelaskan dalam artikel sederhana ini.
Salah satu sumbangan besar Imam Al-Syafii dalam ilmu hadits adalah beliau menjelaskan kepada kita makna-makna berbagai istilah teknikal yang digunakan ahli hadits dalam kritik riwayat. Di antara istilah-istilah yang beliau perjelaskan itu adalah syadz. Sejauh bacaan saya, setiap perbincangan tentang konsep ini dalam kitab-kitab mustalah selalu merujuk kepada ucapan beliau, lalu setiap ulama berusaha menafsirkannya dengan penjelasan yang munasabah. Meski telah banyak diperkatakan, namun saya melihat beberapa aspek dari bahasan ini masih gelap dan memerlukan cahaya penerangan sebagaimana yang akan saya jelaskan dalam artikel sederhana ini.
2.
Perkara pertama yang mesti diketahui adalah ucapan yang berisi konsep
Syadz ini sabit hingga ke Imam Al-Syafii menerusi dua jalur. Jalur
pertama disampaikan oleh Ibn Abi Hatim Al-Razi, dari Yunus bin 'Abd
Al-A'la, dari Al-Syafi'i dengan lafaz: “Hadits syadz bukan hadits yang
diriwayatkan seorang tsiqat tanpa disokong oleh orang lain. Namun hadits
syadz adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sekumpulan
orang-orang tsiqat, lalu salah seorang daripada mereka menyimpang dan
meriwayatkan sesuatu yang bercanggah dengan riwayat yang lainnya.”[1]
Jalur
kedua diceritakan oleh Abu Bakar Muhammad bin Ishaq (Ibn Khuzaimah),
dari Yunus, dari Al-Syafi'i yang berkata: “(Hadits) Syadz bukanlah
sebuah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang tsiqat. Itu bukan
syadz. Akan tetapi syadz adalah sebuah hadits yang diriwayatkan seorang
tsiqat yang bersandar dengan riwayat semua manusia. Ini hadits syadz.”[2]
Kita dapat melihat bahwa kedua riwayat ini mengandungi kesamaan dan perbedaan di dalam lafaznya. Kesamaannya terletak pada bahagian pertama dari kedua riwayat ini: “Hadits syadz bukanlah ...”. Bagian ini jelas mengandungi bantahan atas konsep syadz yang, dalam pengamatan Al-Syafii, keliru dan perlu pembetulan. Dan pembetulan konsep itu dilakukan pada bahagian kedua ucapan ini: “Akan tetapi, syadz adalah ...”. Terdapat sedikit perbedaan dalam lafaz bagian kedua ini, dan perbezaan lafaz itu akan membawa dampak besar dalam perbedaan ahli hadits dalam menafsirkan konsep syadz Al-Syafii sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.
Kita dapat melihat bahwa kedua riwayat ini mengandungi kesamaan dan perbedaan di dalam lafaznya. Kesamaannya terletak pada bahagian pertama dari kedua riwayat ini: “Hadits syadz bukanlah ...”. Bagian ini jelas mengandungi bantahan atas konsep syadz yang, dalam pengamatan Al-Syafii, keliru dan perlu pembetulan. Dan pembetulan konsep itu dilakukan pada bahagian kedua ucapan ini: “Akan tetapi, syadz adalah ...”. Terdapat sedikit perbedaan dalam lafaz bagian kedua ini, dan perbezaan lafaz itu akan membawa dampak besar dalam perbedaan ahli hadits dalam menafsirkan konsep syadz Al-Syafii sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.
3.
Kita mulai dengan penjelasan bagian pertama ucapan Al-Syafii. Apabila
membaca bagian ini, terlintas satu soalan di dalam pikiran saya:
“Siapakah pemilik konsepsi keliru tentang hadits syadz yang tengah
dibantah oleh Al-Syafii ini?”
Saya
lalu mencari-cari jawapan yang tepat untuk soalan ini. Dan setelah
mengkaji sejarah hidup Al-Syafii, sambil berusaha menyelami watak dan
metode pemikirannya, saya melihat bahwa bantahan ini ditujukan kepada
Imam Ya’qub bin Ibrahim (terkenal dengan sebutan Al-Qadhi Abu Yusuf
w.183H), murid terbaik Imam Abu Hanifah di Irak. Saya tiba kepada
kesimpulan ini setelah membaca kitab beliau yang bertajuk Al-Rad ‘ala Siyar Al-Awza'i. Dalam buku ini, Imam Abu Yusuf sering kali menghukum syadz hadits-hadits tertentu dan memperingatkan manusia daripadanya.
Misalnya, beliau berkata, “Ambillah hadits-hadits yang dikenal secara umum, dan hati-hatilah dari hadits-hadits syadz.”[3] Beliau juga berkata, “Berhati-hatilah dari hadits syadz, dan ambillah hadits yang dipegang oleh orang ramai, dikenal oleh fuqaha dan sesuai dengan Al-Kitab dan Sunnah.”[4] Di tempat lain, Abu Yusuf menjelaskan maksud beliau dengan istilah syadz ini, “Kami tidak mendengar riwayat dari Nabi Saw dan para sahabatnya bahwa beliau membagikan (ghanimah) untuk kuda, kecuali hanya satu hadits sahaja. Satu hadits menurut kami adalah syadz, dan kami tidak menerimanya.”[5]
Dari sini, jelas bahawa hadits syadz menurut Abu Yusuf adalah sebuah hadits yang hanya diriwayatkan seorang perawi, walaupun perawi itu tsiqat, tanpa disokong oleh riwayat-riwayat yang lain.[6] Saya tidak tahu apakah konsep ini pendapat peribadi beliau, ataukah hanya merupakan konsep yang diterima luas di kalangan ulama fiqh pada masa itu. Namun yang pasti, jika konsep ini diterima maka kita mesti menolak banyak hadits-hadits yang dinilai sahih oleh muhadditsin apabila hanya diriwayatkan melalui satu jalur saja (gharib). Salah satunya hadits tentang larangan menghimpun seorang wanita dengan bibinya dalam satu ikatan perkahwinan.[7] Al-Syafi'i berkata, “Hadits ini tidak diriwayatkan dengan sanad yang sahih selain dari Abu Hurairah.”[8] Begitu juga hadits nisab zakat tanaman yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id al-Khudri.[9] Al-Syafi'i berkata, “Tidak diriwayatkan dari Nabi Saw dengan jalur yang sahih kecuali dari Abu Sa'id Al-Khudri.”[10]
Menyadari dampak negatif ini, Imam Al-Syafii merasa perlu meluruskan konsep syadz dengan membantah konsep yang diajukan Abu Yusuf terlebih dahulu dengan katanya “(Hadits) Syadz bukan sebuah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang tsiqat. Itu bukan syadz.” Untuk mendukung hal ini, Al-Syafi'i mengajukan banyak hujah dalam berbagai diskusinya dengan tokoh-tokoh Irak. Semua diskusi dan hujah itu dapat dilihat dipelbagai bahagian dalam kitab Al-Um. Setelah itu, beliau mengajukan konsep syadz sebenar berdasarkan perspektif ahli hadits dengan berkata, “Akan tetapi syadz adalah sebuah hadits yang diriwayatkan seorang tsiqat bertentangan dengan riwayat semua manusia. Ini hadits syadz.”
Misalnya, beliau berkata, “Ambillah hadits-hadits yang dikenal secara umum, dan hati-hatilah dari hadits-hadits syadz.”[3] Beliau juga berkata, “Berhati-hatilah dari hadits syadz, dan ambillah hadits yang dipegang oleh orang ramai, dikenal oleh fuqaha dan sesuai dengan Al-Kitab dan Sunnah.”[4] Di tempat lain, Abu Yusuf menjelaskan maksud beliau dengan istilah syadz ini, “Kami tidak mendengar riwayat dari Nabi Saw dan para sahabatnya bahwa beliau membagikan (ghanimah) untuk kuda, kecuali hanya satu hadits sahaja. Satu hadits menurut kami adalah syadz, dan kami tidak menerimanya.”[5]
Dari sini, jelas bahawa hadits syadz menurut Abu Yusuf adalah sebuah hadits yang hanya diriwayatkan seorang perawi, walaupun perawi itu tsiqat, tanpa disokong oleh riwayat-riwayat yang lain.[6] Saya tidak tahu apakah konsep ini pendapat peribadi beliau, ataukah hanya merupakan konsep yang diterima luas di kalangan ulama fiqh pada masa itu. Namun yang pasti, jika konsep ini diterima maka kita mesti menolak banyak hadits-hadits yang dinilai sahih oleh muhadditsin apabila hanya diriwayatkan melalui satu jalur saja (gharib). Salah satunya hadits tentang larangan menghimpun seorang wanita dengan bibinya dalam satu ikatan perkahwinan.[7] Al-Syafi'i berkata, “Hadits ini tidak diriwayatkan dengan sanad yang sahih selain dari Abu Hurairah.”[8] Begitu juga hadits nisab zakat tanaman yang diriwayatkan oleh Abu Sa'id al-Khudri.[9] Al-Syafi'i berkata, “Tidak diriwayatkan dari Nabi Saw dengan jalur yang sahih kecuali dari Abu Sa'id Al-Khudri.”[10]
Menyadari dampak negatif ini, Imam Al-Syafii merasa perlu meluruskan konsep syadz dengan membantah konsep yang diajukan Abu Yusuf terlebih dahulu dengan katanya “(Hadits) Syadz bukan sebuah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang tsiqat. Itu bukan syadz.” Untuk mendukung hal ini, Al-Syafi'i mengajukan banyak hujah dalam berbagai diskusinya dengan tokoh-tokoh Irak. Semua diskusi dan hujah itu dapat dilihat dipelbagai bahagian dalam kitab Al-Um. Setelah itu, beliau mengajukan konsep syadz sebenar berdasarkan perspektif ahli hadits dengan berkata, “Akan tetapi syadz adalah sebuah hadits yang diriwayatkan seorang tsiqat bertentangan dengan riwayat semua manusia. Ini hadits syadz.”
4. Seperti
yang telah saya sebutkan di atas, terdapat dua versi riwayat dari Imam
Al-Syafii berkenaan dengan hakikat konsep syadz. Keduanya memang
bermuara kepada Yunus bin Abdil A’la, namun terdapat perbezaan lafaz
antara riwayat Ibn Abi Hatim dan riwayat Ibn Khuzaimah.
Versi
Ibn Abi Hatim menggambarkan syadz sebagai penyimpangan riwayat yang
dilakukan perawi tsiqat dari riwayat perawi-perawi lain yang jumlahnya
lebih banyak. Konsep syadz ini menjadi pegangan muktamad ahli hadits
mutaakhirin. Telah menjadi pengetahuan kita bahwa definisi syadz adalah
“riwayat perawi tsiqat yang bertentangan dengan riwayat orang-orang
yang lebih tsiqat darinya.” Al-Hafiz Ibn Hajar bahkan meluaskan
jangkauan syadz sehingga mencakup riwayat perawi yang hanya berstatus
“diterima (maqbul)”. Beliau berkata, “Maka diketahui dari
penjelasan di atas bahwa syadz adalah hadits yang diriwayatkan perawi
maqbul yang bertentangan dengan (riwayat) orang yang lebih utama
darinya. Ini adalah pendapat mu'tamad tentang definisi syadz secara istilah.”[11]
Definisi ini merupakan konsep yang paling luas diterima ramai ulama mutaakhirin. Al-Syafi'i sendiri sering menegaskan bahwa penyimpangan riwayat seperti ini merupakan bukti kekeliruan. Beliau berkata, “Tanda kekeliruan seorang perawi adalah (riwayatnya) bertentangan dengan riwayat orang yang lebih kuat hafalannya dan lebih banyak jumlahnya.”[12] Al-Syafi'i menerapkan kaidah ini pada banyak sekali hadits-hadits yang tengah dibahasnya, antara lain: hadits riwayat Sufyan bin 'Uyainah, dari Yahya bin Sa'id Al-Ansari, dari Muhammad bin Ibrahim Al-Taimi, dari 'Isa bin Thalhah, dari bapaknya, tentang sekelompok muhrim (orang yang sedang ihram) yang berburu kuda liar. Al-Syafi'i berkata, “Sufyan menyalahi (perawi-perawi lain) dalam hadits ini. Mereka berkata: 'Isa bin Thalhah, dari 'Umair bin Salamah, dari Al-Bahzi.”[13] Jadi, riwayat Sufyan adalah syadz dan keliru meskipun beliau tsiqat karena Malik bin Anas, Yazid bin Harun, Husyaim bin Basyir, Hammad bin Zaid dan lain-lain meriwayatkan hadits ini dari Yahya bin Sa'id Al-Anshari seperti ucapan Al-Syafi'i.[14]
Begitu juga hadits Sufyan dari Al-Zuhri dari 'Urwah, dari 'Abd Al-Rahman bin 'Abd Al-Qari ia berkata, “Umar (bin Khathab) shalat subuh di Mekah, lalu thawaf tujuh putaran, kemudian keluar menuju Madinah. Setibanya di Dzi Thuwa dan matahari telah terbit, ia shalat dua rakaat.” Semua murid Al-Zuhri yang lain: Malik, Yunus, Ma'mar, Al-Awza'i, Ibn Abi Dzi'b meriwayatkan hadits ini dari Al-Zuhri dari Humaid bin 'Abd Al-Rahman dari 'Abd Al-Rahman bin 'Abd Al-Qari.[15]
Al-Syafi'i berkata, “Sufyan mengikuti –dengan ucapannya dari Al-Zuhri dari 'Urwah- jalur yang biasa dilalui (jadah).”[16] Artinya, ia keliru akibat terbiasa menyebutkan jalur Al-Zuhri dari 'Urwah, dan kekeliruan itu terlihat pada penyimpangan riwayatnya daripada riwayat para perawi yang lain.
Definisi ini merupakan konsep yang paling luas diterima ramai ulama mutaakhirin. Al-Syafi'i sendiri sering menegaskan bahwa penyimpangan riwayat seperti ini merupakan bukti kekeliruan. Beliau berkata, “Tanda kekeliruan seorang perawi adalah (riwayatnya) bertentangan dengan riwayat orang yang lebih kuat hafalannya dan lebih banyak jumlahnya.”[12] Al-Syafi'i menerapkan kaidah ini pada banyak sekali hadits-hadits yang tengah dibahasnya, antara lain: hadits riwayat Sufyan bin 'Uyainah, dari Yahya bin Sa'id Al-Ansari, dari Muhammad bin Ibrahim Al-Taimi, dari 'Isa bin Thalhah, dari bapaknya, tentang sekelompok muhrim (orang yang sedang ihram) yang berburu kuda liar. Al-Syafi'i berkata, “Sufyan menyalahi (perawi-perawi lain) dalam hadits ini. Mereka berkata: 'Isa bin Thalhah, dari 'Umair bin Salamah, dari Al-Bahzi.”[13] Jadi, riwayat Sufyan adalah syadz dan keliru meskipun beliau tsiqat karena Malik bin Anas, Yazid bin Harun, Husyaim bin Basyir, Hammad bin Zaid dan lain-lain meriwayatkan hadits ini dari Yahya bin Sa'id Al-Anshari seperti ucapan Al-Syafi'i.[14]
Begitu juga hadits Sufyan dari Al-Zuhri dari 'Urwah, dari 'Abd Al-Rahman bin 'Abd Al-Qari ia berkata, “Umar (bin Khathab) shalat subuh di Mekah, lalu thawaf tujuh putaran, kemudian keluar menuju Madinah. Setibanya di Dzi Thuwa dan matahari telah terbit, ia shalat dua rakaat.” Semua murid Al-Zuhri yang lain: Malik, Yunus, Ma'mar, Al-Awza'i, Ibn Abi Dzi'b meriwayatkan hadits ini dari Al-Zuhri dari Humaid bin 'Abd Al-Rahman dari 'Abd Al-Rahman bin 'Abd Al-Qari.[15]
Al-Syafi'i berkata, “Sufyan mengikuti –dengan ucapannya dari Al-Zuhri dari 'Urwah- jalur yang biasa dilalui (jadah).”[16] Artinya, ia keliru akibat terbiasa menyebutkan jalur Al-Zuhri dari 'Urwah, dan kekeliruan itu terlihat pada penyimpangan riwayatnya daripada riwayat para perawi yang lain.
5. Sementara itu, versi Ibn Khuzaimah menggambarkan syadz menurut Al-Syafi'i adalah sebuah hadits yang diriwayatkan seorang tsiqat bertentangan dengan semua manusia.
Apabila menafsirkan ucapan ini, Al-Hakim berpendapat bahwa “syadz
adalah sebuah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang tsiqat tanpa
ada asal yang menyokong riwayat tersebut.”
Artinya, bentuk sanad atau matan hadits itu benar-benar asing dari semua bentuk-bentuk riwayat yang pernah dikenal ahli hadits, meskipun perawinya tsiqat. Itu karena ahli hadits telah mengusai pelbagai bentuk sanad dan matan karena hafalan dan sistem dokumentasi mereka yang sangat teliti. Maka, apabila sebuah hadits telah terkeluar dari bentuk-bentuk itu, mereka segera merasakan adanya kekeliruan di dalam riwayat tersebut. Dan sering terjadi, ahli hadis hanya dapat merasakan kekeliruan itu namun tidak mampu menjelaskannya karena terlalu halus.
Menurut Al-Hakim lagi, kekeliruan yang menyebabkan hadis dihukumkan syaz lebih halus daripada kekeliruan yang disebabkan oleh ‘illat. Itu karena, syaz adalah penyimpangan dari seluruh riwayat yang ada, bukan hanya riwayat-riwayat dalam satu jalur hadis sahaja. Perkara ini sangat terang dijelaskan oleh Al-Baihaqi, murid Al-Hakim, apabila menafsirkan konsep Syadz Al-Syafii: “Metode penelitian hadits sahih dan dhaif ini tidak dapat diketahui dengan kepribadian perawinya saja. Namun hanya dapat dilakukan dengan banyak mendengarkan (hadits), sering bergaul dengan pakar-pakar hadits, berdiskusi dengan mereka, menelaah kitab-kitab mereka dan memperhatikan riwayat-riwayat mereka. Sehingga jika sebuah hadits telah syadz (keluar dari jalurnya), ia bisa segera mengetahuinya.
Beliau melanjutkan: “Perawi yang jujur kadang keliru apabila menulis hadis, sehingga bercampur sebuah hadis ke dalam hadis lain. Maka jadilah sebuah hadis lemah diriwayatkan dengan sanad yang sahih. Pena boleh keliru, pendengaran boleh tersalah, dan hafalan boleh lupa. Maka ia (perawi jujur ini) lalu meriwayatkan hadis yang syadz.”[17]
Artinya, bentuk sanad atau matan hadits itu benar-benar asing dari semua bentuk-bentuk riwayat yang pernah dikenal ahli hadits, meskipun perawinya tsiqat. Itu karena ahli hadits telah mengusai pelbagai bentuk sanad dan matan karena hafalan dan sistem dokumentasi mereka yang sangat teliti. Maka, apabila sebuah hadits telah terkeluar dari bentuk-bentuk itu, mereka segera merasakan adanya kekeliruan di dalam riwayat tersebut. Dan sering terjadi, ahli hadis hanya dapat merasakan kekeliruan itu namun tidak mampu menjelaskannya karena terlalu halus.
Menurut Al-Hakim lagi, kekeliruan yang menyebabkan hadis dihukumkan syaz lebih halus daripada kekeliruan yang disebabkan oleh ‘illat. Itu karena, syaz adalah penyimpangan dari seluruh riwayat yang ada, bukan hanya riwayat-riwayat dalam satu jalur hadis sahaja. Perkara ini sangat terang dijelaskan oleh Al-Baihaqi, murid Al-Hakim, apabila menafsirkan konsep Syadz Al-Syafii: “Metode penelitian hadits sahih dan dhaif ini tidak dapat diketahui dengan kepribadian perawinya saja. Namun hanya dapat dilakukan dengan banyak mendengarkan (hadits), sering bergaul dengan pakar-pakar hadits, berdiskusi dengan mereka, menelaah kitab-kitab mereka dan memperhatikan riwayat-riwayat mereka. Sehingga jika sebuah hadits telah syadz (keluar dari jalurnya), ia bisa segera mengetahuinya.
Beliau melanjutkan: “Perawi yang jujur kadang keliru apabila menulis hadis, sehingga bercampur sebuah hadis ke dalam hadis lain. Maka jadilah sebuah hadis lemah diriwayatkan dengan sanad yang sahih. Pena boleh keliru, pendengaran boleh tersalah, dan hafalan boleh lupa. Maka ia (perawi jujur ini) lalu meriwayatkan hadis yang syadz.”[17]
6.
Bagi saya, konsep Al-Hakim ini sejalan dengan praktik ahli hadis
mutaqaddimin. Namun begitu, konsep ini ramai ditolak oleh ahli hadis
mutaakhirin sejak masa Al-Hafiz Ibn Al-Shalah. Apabila saya perhatikan,
tampaknya Ibn Al-Salah memahami konsep Al-Hakim sama dengan konsep Abu
Yusuf, yakni hadits syadz adalah riwayat perawi tsiqat yang tidak
disokong oleh riwayat lain. Oleh itu, beliau lalu mengajukan
keberatannya dengan menyebutkan hadits-hadits seperti itu namun tetap
disepakati kesahihannya oleh ahli hadits seperti hadits niat dan hadits
larangan jual-beli wala.[18]
Konsep Al-Hakim sangat berbeda dengan konsep Abu Yusuf. Konsep Abu Yusuf terbangun di atas sikap mazhab Hanafi yang menolak hadits-hadits gharib meskipun disahihkan ahli hadits apabila kandungannya bertentangan dengan kias dan prinsip dasar mazhab mereka. Adapun konsep Al-Hakim, maka ia merupakan salah satu mekanisme kritik hadits yang sangat halus dan benar-benar berdasarkan praktik pakar-pakar hadits mutaqaddimin. Penolakan Ibn Solah lebih tepat ditujukan kepada konsep Abu Yusuf, bukan konsep Al-Hakim. Wallahu a'lam.
7. Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahawa konsep syadz dalam ucapan Imam Al-Syafii terbuka untuk dua versi penafsiran. Meskipun versi Ibn Abi Hatim lebih popular, namun tafsiran Al-Hakim yang didasari riwayat Ibn Khuzaimah tidak patut dilupakan. Bahkan, penafsiran ini menunjukkan ketajaman metod kritik ahli hadits mutaqaddimin yang lahir dari kemahiran mereka dalam ilmu hadits. Menariknya, kedua konsep ini terbentuk dari ucapan Al-Syafii yang seringkali dikenali hanya sebagai ahli fiqh belaka, bukan ahli hadits. Wallahu a’lam.
Konsep Al-Hakim sangat berbeda dengan konsep Abu Yusuf. Konsep Abu Yusuf terbangun di atas sikap mazhab Hanafi yang menolak hadits-hadits gharib meskipun disahihkan ahli hadits apabila kandungannya bertentangan dengan kias dan prinsip dasar mazhab mereka. Adapun konsep Al-Hakim, maka ia merupakan salah satu mekanisme kritik hadits yang sangat halus dan benar-benar berdasarkan praktik pakar-pakar hadits mutaqaddimin. Penolakan Ibn Solah lebih tepat ditujukan kepada konsep Abu Yusuf, bukan konsep Al-Hakim. Wallahu a'lam.
7. Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahawa konsep syadz dalam ucapan Imam Al-Syafii terbuka untuk dua versi penafsiran. Meskipun versi Ibn Abi Hatim lebih popular, namun tafsiran Al-Hakim yang didasari riwayat Ibn Khuzaimah tidak patut dilupakan. Bahkan, penafsiran ini menunjukkan ketajaman metod kritik ahli hadits mutaqaddimin yang lahir dari kemahiran mereka dalam ilmu hadits. Menariknya, kedua konsep ini terbentuk dari ucapan Al-Syafii yang seringkali dikenali hanya sebagai ahli fiqh belaka, bukan ahli hadits. Wallahu a’lam.
Catatan kaki :
[1] “Adab Al-Syafi'i wa Manaqibuh” hal. 178, “Manaqib Al-Syafi'i” 2/30, “Al-Kifayah” hal. 141.
[2] “Ma'rifat 'Ulum Al-Hadits” hal. 119, “Ma'rifat Al-Sunan wa Al-Atsar” 1/143, “'Ulum Al-Hadits” hal. 76.
[3] “Al-Radd 'ala Siyar Al-Awza'i” hal. 24. “Al-Umm” 7/557.
[4] “Al-Radd 'ala Siyar Al-Awza'i” hal. 31, “Al-Umm” 7/558.
[5] “Al-Radd 'ala Siyar Al-Awza'i” hal. 31, “Al-Umm” 7/564.
[6] Ibn
'Abd Al-Bar menceritakan definisi lain untuk menurut Abu Hanifah. Ia
berkata di “Al-Tamhid”, “Ahli hadits sering kali mencela Abu Hanifah
karena banyak menolak hadits-hadits ahad yang (riwayat perawi-perawi)
terpercaya, sebab ia selalu mengujinya dengan kumpulan hadits-hadits dan
makna-makna Al-Qur'an. Hadits yang keluar dari makna-makna itu
ditolaknya dan disebut “syadz”.
[7] Hadits
muflis: “Mana-mana laki-laki yang muflis, lalu seseorang (yang
berpiutang dengannya) menemukan barang milikinya yang masih utuh di
dalam hartanya, maka ia orang paling berhak dengannya.”
Hadits larangan menikah dengan bibi istri: “Tidak boleh seseorang menikahi bibi isterinya.”
[8] “Al-Risalah” hal. 228.
[9] Hadits nisab zakat tanaman: “Tidak ada zakat bagi (hasil pertanian) yang kurang daripada lima wisq.”
[10] “Al-Umm” 2/40, “Ma'rifat Al-Sunan wa Al-Atsar” 10/106.
[11] “Nuzhat Al-Nazhar” hal. 72.
[12] “Al-Umm” 7/326.
[13] “Ma'rifat Al-Sunan wa Al-Atsar” 7/432.
[14] Lihat
“Al-Muwatha” no. (789), “Mushannaf 'Abd Al-Razaq” no. (8339), “Musnad
Ahmad” 3/452, “Sunan Al-Nasa'i Al-Kubra” no. (3800), “Shahih Ibn Hibban”
no. (5111), “Al-Sunan Al-Kubra” 6/181.
[15] “Al-Muwatha”
no. (826), “Mushannaf 'Abd Al-Razaq” no. (9008), “Al-'Ilal wa Ma'rifat
Al-Rijal” 3/390, “Al-Sunan Al-Kubra” 2/462 dan 5/91.
[16] “Ma'rifat Al-Sunan wa Al-Atsar” 3/434.
[17] “Ma'rifat Al-Sunan wa Al-Atsar” 1/144.
[18] Lihat “'Ulum Al-Hadits” hal. 77-78.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar