Imam Asy-Syafi’i
Di kampung
miskin di kota Ghazzah (orang Barat menyebutnya Gaza ) di bumi
Palestina, pada th. 150 H (bertepatan dengan th. 694 M) lahirlah seorang
bayi lelaki dari pasangan suami istri yang berbahagia, Idris bin Abbas
Asy-Syafi`ie dengan seorang wanita dari suku Azad. Bayi lelaki keturunan
Quraisy ini akhirnya dinamai Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie . Demikian
nama lengkapnya sang bayi itu. Namun kebahagiaan keluarga miskin ini
dengan kelahiran bayi tersebut tidaklah berlangsung lama. Karena
beberapa saat setelah kelahiran itu, terjadilah peristiwa menyedihkan,
yaitu ayah sang bayi meninggal dunia dalam usia yang masih muda. Bayi
lelaki yang rupawan itu pun akhirnya hidup sebagai anak yatim.
Sang ibu
sangat menyayangi bayinya, sehingga anak yatim Quraisy itu tumbuh
sebagai bayi yang sehat. Maka ketika ia telah berusia dua tahun,
dibawalah oleh ibunya ke Makkah untuk tinggal di tengah keluarga ayahnya
di kampung Bani Mutthalib. Karena anak yatim ini, dari sisi nasab
ayahnya, berasal dari keturunan seorang Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang
bernama Syafi’ bin As-Sa’ib. Dan As-Sa’ib ayahnya Syafi’, sempat
tertawan dalam perang Badr sebagai seorang musyrik kemudian As-Sa’ib
menebus dirinya dengan uang jaminan untuk mendapatkan status pembebasan
dari tawanan Muslimin. Dan setelah dia dibebaskan, iapun masuk Islam di
tangan Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Maka
nasab bayi yatim ini secara lengkap adalah sebagai berikut: Muhammad bin
Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin
Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdi Manaf bin Qushai bin
Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin
An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin
Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi
Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung
Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam . Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam ,
bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan
anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah
bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama
Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab
yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani
Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang
melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam bersabda:
“Hanyalah
kami (yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal
dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua
tangan beliau.” (HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 – 66).
Di
lingkungan Bani Al-Mutthalib, dia tumbuh menjadi anak lelaki yang penuh
vitalitas. Di usia kanak-kanaknya, dia sibuk dengan latihan memanah
sehingga di kalangan teman sebayanya, dia amat jitu memanah. Bahkan dari
sepuluh anak panah yang dilemparkannya, sepuluh yang kena sasaran,
sehingga dia terkenal sebagai anak muda yang ahli memanah. Demikian
terus kesibukannya dalam panah memanah sehingga ada seorang ahli
kedokteran medis waktu itu yang menasehatinya. Dokter itu menyatakan
kepadanya: “Bila engkau terus menerus demikian, maka sangat dikuatirkan
akan terkena penyakit luka pada paru-parumu karena engkau terlalu banyak
berdiri di bawah panas terik mata hari.” Maka mulailah anak yatim ini
mengurangi kegiatan panah memanah dan mengisi waktu dengan belajar
bahasa Arab dan menekuni bait-bait sya’ir Arab sehingga dalam sekejab,
anak muda dari Quraisy ini menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya
dalam usia kanak-kanak. Di samping itu dia juga menghafal Al-Qur’an,
sehingga pada usia tujuh tahun telah menghafal di luar kepala Al-Qur’an
keseluruhannya.
Demi ia
merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia
mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab
dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih
yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu
berkedudukan sebagai mufti Makkah. Kemudian beliau juga belajar dari
Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama
Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin
Uyainah. Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr
Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi
yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam
beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih
sebagaimana tersebut di atas. Ia pun demi kehausan ilmu, akhirnya
berangkat dari Makkah menuju Al-Madinah An Nabawiyah guna belajar di
halaqah Imam Malik bin Anas di sana. Di majelis beliau ini, si anak
yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam
Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya
membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri
sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam
Sufyan bin Uyainah di Makkah. Beliau menyatakan kekagumannya setelah
menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya
tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah
ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya
kepada Imam Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik
menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan
kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik,
kecuali mesti bertambah pemahamanku.” Dari berbagai pernyataan beliau
di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah
Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu,
pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang
ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf
bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Beliau banyak pula menghafal ilmu
di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang
disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits,
memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk
beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga
ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam
Syafi`ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi
menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan ilmu.
Ketika
Muhammad bin Idris As-Syafi’i Al-Mutthalibi Al-Qurasyi telah berusia dua
puluh tahun, dia sudah memiliki kedudukan yang tinggi di kalangan
Ulama’ di jamannya dalam berfatwa dan berbagai ilmu yang berkisar pada
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tetapi beliau tidak mau berpuas diri dengan
ilmu yang dicapainya. Maka beliaupun berangkat menuju negeri Yaman demi
menyerap ilmu dari para Ulama’nya. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman
yang didatangi oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin
Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau
melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota
ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang
ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin
Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang
lainnya.
Sejak di
kota Baghdad, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie mulai dikerumuni para
muridnya dan mulai menulis berbagai keterangan agama. Juga beliau mulai
membantah beberapa keterangan para Imam ahli fiqih, dalam rangka
mengikuti sunnah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .
Kitab fiqih dan Ushul Fiqih pun mulai ditulisnya. Popularitas beliau di
dunia Islam yang semakin luas menyebabkan banyak orang semakin kagum
dengan ilmunya sehingga orang pun berbondong-bondong mendatangi majelis
ilmu beliau untuk menimba ilmu. Tersebutlah tokoh-tokoh ilmu agama ini
yang mendatangi majelis beliau untuk menimba ilmu padanya seperti Abu
Bakr Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi (beliau ini adalah salah seorang
guru Al-Imam Al-Bukhari), Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam, Ahmad bin
Hanbal (yang kemudian terkenal dengan nama Imam Hanbali), Sulaiman bin
Dawud Al-Hasyimi, Abu Ya’qub Yusuf Al-Buaithi, Abu Tsaur Ibrahim bin
Khalid Al-Kalbi, Harmalah bin Yahya, Musa bin Abil Jarud Al-Makki, Abdul
Aziz bin Yahya Al-Kinani Al-Makki (pengarang kitab Al-Haidah ), Husain bin Ali Al-Karabisi (beliau ini sempat di tahdzir oleh
Imam Ahmad karena berpendapat bahwa lafadh orang yang membaca Al-Qur’an
adalah makhluq), Ibrahim bin Al-Mundzir Al-Hizami, Al-Hasan bin
Muhammad Az-Za’farani, Ahmad bin Muhammad Al-Azraqi, dan masih banyak
lagi tokoh-tokoh ilmu yang lainnya. Dari murid-murid beliau di Baghdad,
yang paling terkenal sangat mengagumi beliau adalah Imam Ahmad bin
Hanbal atau terkenal dengan gelar Imam Hanbali.
Diriwayatkan
oleh Al-Imam Al-Mizzi dengan sanadnya bersambung kepada Imam Abdullah
bin Ahmad bin Hanbal (putra Imam Hanbali). Beliau menceritakan: “Aku
pernah bertanya kepada ayahku: Maka ayahku menjawab: .” Diriwayatkan pula bahwa Sulaiman bin Al-Asy’ats
menyatakan: “Aku melihat bahwa Ahmad bin Hanbal tidaklah condong kepada
seorangpun seperti condongnya kepada As-Syafi`ie.” Al-Maimuni
meriwayatkan bahwa Imam Hanbali menyatakan: “Aku tidak pernah
meninggalkan doa kepada Allah di sepertiga terakhir malam untuk enam
orang. Salah satunya ialah untuk As-Syafi`ie.” Diriwayatkan pula oleh
Imam Shalih bin Ahmad bin Hanbal (putra Imam Hanbali): “Pernah ayahku
berjalan di samping keledai yang ditumpangi Imam Syafi`ie untuk
bertanya-tanya ilmu kepadanya. Maka melihat demikian, Yahya bin Ma’ien
sahabat ayahku mengirim orang untuk menegur beliau. Yahya menyatakan
kepadanya: kuniah
Imam
As-Syafi`ie tinggal di Baghdad hanya dua tahun. Setelah itu beliau
pindah ke Mesir dan tinggal di sana sampai beliau wafat pada th. 204 H
dan usia beliau ketika wafat 54 th. Beliau telah meninggalkan warisan
yang tak ternilai, yaitu ilmu yang beliau tulis di kitab Ar-Risalah dalam ilmu Ushul Fiqih. Di samping itu beliau juga menulis kitab Musnad As-Syafi`ie , berupa kumpulan hadits Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam yang diriwayatkan oleh beliau; dan kitab Al-Um berupa kumpulan keterangan beliau dalam masalah fiqih. Sebagaimana Al-Um , kumpulan riwayat keterangan Imam As Syafi`ie dalam fiqih juga disusun oleh Al-Imam Al-Baihaqi dan diberi nama Ma’rifatul Aatsar was Sunan .
Al-Imam Abu Nu’aim Al-Asfahani membawakan beberapa riwayat nasehat dan
pernyataan Imam As-Syafi`ie dalam berbagai masalah yang menunjukkan
pendirian Imam As-Syafi`ie dalam memahami agama ini. Beberapa riwayat
Abu Nu’aim tersebut kami nukilkan sebagai berikut :
Imam As-Syafi`ie menyatakan: “Bila aku melihat Ahli Hadits, seakan aku melihat seorang dari Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .” (HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya juz 9 hal. 109)
Ini menunjukkan betapa tinggi penghargaan beliau kepada para Ahli Hadits.
Imam
As-Syafi`ie menyatakan: “Sungguh seandainya seseorang itu ditimpa dengan
berbagai amalan yang dilarang oleh Allah selain dosa syirik, lebih baik
baginya daripada dia mempelajari ilmu kalam.” (HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya juz 9 hal. 111)
Beliau
menyatakan juga: “Seandainya manusia itu mengerti bahaya yang ada dalam
Ilmu Kalam dan hawa nafsu, niscaya dia akan lari daripadanya seperti dia
lari dari macan.”
Ini
menunjukkan betapa anti patinya beliau terhadap Ilmu Kalam, suatu ilmu
yang membahas perkara Tauhid dengan metode pembahasan ilmu filsafat.
Diriwayatkan oleh Ar-Rabi’ bin Sulaiman bahwa dia menyatakan: Aku mendengar As-Syafi`ie berkata:
“Barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, maka sungguh dia telah kafir.” ((HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Al-Hilyah nya juz 9 hal. 113)
Diriwayatkan
pula oleh Abu Nu’aim Al-Asfahani bahwa Al-Imam As-Syafi`ie telah
mengkafirkan seorang tokoh ahli Ilmu Kalam yang terkenal dengan nama
Hafs Al-Fardi, karena dia menyatakan di hadapan beliau bahwa Al-Qur’an
itu adalah makhluk. Demikian tegas Imam As-Syafi`ie dalam menilai mereka
yang mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Dan memang para Ulama’
Ahlis Sunnah wal Jama’ah telah sepakat untuk mengkafirkan siapa yang
meyakini bahwa Al-Qur’an itu makhluk.
Al-Imam
Adz-Dzahabi meriwayatkan pula dengan sanadnya dari Al-Buwaithie yang
menyatakan: “Aku bertanya kepada As-Syafi`ie: Maka beliau pun menjawabnya: . Akupun bertanya lagi kepada beliau: Maka beliau pun
menjawab: .”
Demikian
Imam As-Syafi`i mengajarkan sikap terhadap Ahlil Bid’ah seperti yang
disebutkan contohnya dalam pernyataan beliau, yaitu orang-orang yang
mengikuti aliran Rafidlah yang di Indonesia sering dinamakan Syi’ah.
Aliran Syiah terkenal dengan sikap kebencian mereka kepada para Shahabat
Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , khususnya Abu
Bakar dan Umar. Di samping Rafidlah, masih ada aliran bid’ah lainnya
seperti Qadariyah yaitu aliran pemahaman yang menolak beriman kepada
rukun iman yang keenam (yaitu keimanan kepada adanya taqdir Allah
Ta`ala). Juga aliran Murji’ah yang menyatakan bahwa iman itu hanya
keyakinan yang ada di hati dan amalan itu tidak termasuk dari iman.
Murji’ah juga menyatakan bahwa iman itu tidak bertambah dengan perbuatan
ketaatan kepada Allah dan tidak pula berkurang dengan kemaksiatan
kepada Allah. Semua ini adalah pemikiran sesat, yang menjadi alasan bagi
Imam As-Syafi`ie untuk melarang orang shalat di belakang imam yang
berpandangan dengan salah satu dari pemikiran-pemikiran sesat ini.
Imam As-Syafi`ie juga amat keras menganjurkan ummat Islam untuk jangan ber taqlid (yakni
mengikut dengan membabi buta) kepada seseorang pun sehingga
meninggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah ketika pendapat orang yang
diikutinya itu menyelisihi pendapat keduanya. Hal ini dinyatakan oleh
beliau dalam beberapa pesan sebagai berikut:
Al-Hafidh Abu Nu`aim Al-Asfahani meriwayatkan dalam Hilyah nya
dengan sanad yang shahih riwayat Abdullah bin Ahmad bin Hanbal,
katanya: “Ayahku telah menceritakan kepadaku bahwa Muhammad bin Idris
Asy-Syafi`ie berkata: .”
Demikianlah
para Ulama’ bersikap tawadlu’ sebagai kepribadian utama mereka.
Sehingga tidak menjadi masalah bagi mereka bila guru mengambil manfaat
dari muridnya dan muridnya yang diambil manfaat oleh gurunya tidak pula
kemudian menjadi congkak dengannya. Tetap saja sang murid mengakui dan
mengambil manfaat dari gurunya, meskipun sang guru mengakui di depan
umum tentang ketinggian ilmu si murid. Guru-guru utama Imam Asy
Syafi`ie, Imam Malik dan Imam Sufyan bin Uyainah, dengan terang-terangan
mengakui keutamaan ilmu As-Syafi`ie. Bahkan Imam Sufyan bin Uyainah
banyak bertanya kepada Imam Asy-Syafi`ie saat Imam Syafi’ie ada di
majelisnya. Padahal Imam Asy-Syafi`ie duduk di majelis itu sebagai salah
satu murid beliau, dan bersama para hadirin yang lainnya, mereka selalu
mengerumuni Imam Sufyan untuk menimba ilmu daripadanya. Tetapi meskipun
demikian, Imam Syafi`ie tidak terpengaruh oleh sanjungan gurunya.
Beliau tetap mendatangi majelis gurunya dan memuliakannya. Di samping
itu, hal yang amat penting pula dari pernyataan Imam Asy-Syafi`ie kepada
Imam Ahmad bin Hanbal tersebut di atas, menunjukkan kepada kita betapa
kuatnya semangat beliau dalam merujuk kepada hadits shahih untuk menjadi
pegangan dalam bermadzhab, dari manapun hadits shahih itu berasal.
Imam Asy-Syafi`ie menyatakan pula: “Semua hadits yang dari Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam maka itu adalah sebagai omonganku. Walaupun kalian tidak mendengarnya dariku.”
Demikian
beliau memberikan patokan kepada para murid beliau, bahwa hadits shahih
itu adalah dalil yang sah bagi segala pendapat dalam agama ini. Maka
pendapat dari siapapun bila menyelisihi hadits yang shahih, tentu tidak
akan bisa menggugurkan hadits shahih itu. Bahkan sebaliknya, pendapat
yang demikianlah yang harus digugurkan dengan adanya hadits shahih yang
menyelisihinya.
P e n u t u p :
Masih
banyak mutiara hikmah yang ingin kami tuangkan dalam tulisan ini dari
peri hidup Imam Asy-Syafi`ie. Namun dalam kesempatan ini, rasanya tidak
cukup halaman yang tersedia untuk memuat segala kemilau mutiara hikmah
peri hidup beliau itu. Bahkan telah ditulis oleh para Imam-Imam Ahlus
Sunnah wal Jamaah kitab-kitab tebal yang berisi untaian mutiara hikmah
peri hidup Imam besar ini. Seperti Al-Imam Al-Baihaqi menulis kitab Manaqibus Syafi`ie , juga Ar-Razi menulis kitab dengan judul yang sama. Kemudian Ibnu Abi Hatim menulis kitab berjudul Aadaabus Syaafi’ie .
Dan masih banyak lagi yang lainnya. Itu semua menunjukkan kepada kita,
betapa agungnya Imam besar ini di mata para Imam Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Semoga Allah Ta`ala menggabungkan kita di barisan mereka di
hari kiamat nanti. Amin ya Mujibas sa’ilin .
Daftar Pustaka:
1. Tarikh Baghdad , Al-Khatib Al-Baghdadi, jilid 2 hal. 58 – 59, Darul Fikr – Beirut Libanon, tanpa tahun.
2. Hilyatul
Awliya’ Wathabaqatul Asfiya’ , Abu Nu’aim Al-Ashfahani, jilid 9 hal 65 –
66. Juga hal. 67, Darul Fikr, Beirut – Libanon, et. 1416 H / 1996 M.
Lihat pula Tahdzibul Kamal jilid 24 hal. 358 – 360. Al-Hafidh Al-Mutqin
Jamaluddin Abul Hajjaj Yusuf Al-Mizzi, diterbitkan oleh Mu’assatur
Risalah, cet. Pertama th. 1413 H / 1992 M.
3. Tarikh Baghdad , Al-Khatib Al-Baghdadi, jilid 2 hal. 60.
4. Ibid, hal. 63.
5. Hilyatul
Awliya’ , Al-Hafidh Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah Al-Asfahani, jilid 9
hal 70, Darul Fikr Beirut Libanon, cet. Th. 1416 H / 1996 M.
6. Siar
A’lamin Nubala’ , Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman
Adz-Dzahabi, jilid 10 hal. 6 – 7, Mu’assasatur Risalah, cetakan ke 11
th. 1417 H / 1996 M.
7. Tahdzibul Kamal fi Asma’ir Rijal , Al-Hafidh Al-Mutqin Jamaluddin Abil Hajjaj Yusuf Al-Mizzi, jilid 24 hal. 271.
8. Siar
A’lamin Nubala’ , Adz-Dzahabi, jilid 10 hal. 18. Juga Abu Nu’aim
Al-Asfahani meriwayatkannya dalam Hilyatul Auliya’ juz 9 hal. 95.
9. Hilyatul Auliya’ , Abu Nu’aim Al-Asfahani, jilid 9 hal 109 – 113.
10. Siar A’lamin Nubala’ , Adz-Dzahabi, jilid 10 hal. 31.
11. Hilyatul Auliya’ , Al-Hafidh Abu Nu’aim Al-Asfahani, jilid 9 hal. 170.
12.
Demikian diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Manaqib nya dan Ibnu Asakir
dalam Tarikh nya dan dinukil oleh Adz-Dzahabi dalam Siar A’lamin Nubala’
jilid 10 hal. 17.
13.
Diriwayatkan dalam Aadaabus Syafi`ie dan Al-Bidayah . Adz-Dzahabi
menukilkan riwayat ini dalam Siar A’lamin Nubala’ jilid 10 hal. 35.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar