KHABBAB BIN ARATS
GURU BESAR DALAM BERQURBAN
(Kisah Sahabat ke-16)
Serombongan orang Quraisy mempercepat 
langkah mereka menuju rumah Khabbab, dengan maksud hendak mengambil 
pedang-pedang pesanan mereka. Memang, Khabbab seorang pandai besi yang 
ahli membuat alat-alat senjata terutama pedang, yang dijualnya kepada 
penduduk Mekah dan dikirimnya ke pasar-pasar.
Berbeda dengan biasa, Khabbab yang hampir
 tidak pernah meninggalkan rumah dan pekerjaannya, ketika itu tidak 
dijumpai oleh rombongan Quraisy tadi di rumahnya. Mereka pun duduklah 
menunggu kedatangannya.
Beberapa lama antaranya, datanglah 
Khabbab, sedang pada wajahnya terlukis tanda tanya yang bercahaya dan 
pada kedua matanya tergenang air alamat sukacita . . . , maka 
diucapkannya salam kepada teman-temannya itu lalu duduk di dekat mereka.
Mereka segera menanyakan kepada Khabbab:
“Sudah selesaikah pedang-pedang kami itu, hai Khabbab?”
Sementara itu air mata Khabbab sudah 
kering, dan pada kedua matanya tampak sinar kegembiraan, dan seolah-olah
 berbicara dengan dirinya sendiri, katanya: “Sungguh, keadaannya amat 
mena’jubkan!”
Orang-orang itu kembali sertanya 
kepadanya:”Hai Khabbab, keadaan mana yang kamu maksudkan … ? Yang kami 
tanyakan kepadamu adalah soal pedang kami, apakah sudah selesai kamu 
buat . . . ?”Dengan pandangannya yang menerawang seolah‑olah 
mimpi,Khabbab lalu sertanya: “Apakah tuan-tuan sudah melihatnya … ? Dan 
apakah tuan-tuan sudah pernah mendengar ucapannya … !’
Mereka Saling pandang diliputi tanda tanya dan keheranan
Dan salah seorang di antara mereka 
kembali sertanya, kali ini dengan suatu muslihat, katanya: “Dan kamu, 
apakah kamu sudah melihatnya, hai Khabbab … ?”
Khabbab menganggap remeh siasat lawan itu, maka ia berbalik sertanya: “Siapa maksudmu … ?”
“Yang saya tuju ialah orang yang kamu katakan itu!” ujar orang tadi dengan marah.
Maka Khabbab memberikan jawabannya 
setelah memperlihatkan kepada mereka bahwa ia tak dapat 
dipancing-pancing. Jika ia mengakui keimanannya sekarang ini di hadapan 
mereka, bukanlah karena hasil muslihat dan termakan umpan mereka, tetapi
 karena ia telah meyakini kebenaran itu serta menganutnya, dan telah 
mengambil putusan untuk menyatakannya secara terus terang . . . . Maka 
dalam keadaan masih terharu dan terpesona, serta kegembiraan jiwa dan 
kepuasannya, disampaikanlah jawaban, katanya:
“Benar… , saya telah melihat dan mendengarnya …
Saya saksikan kebenaran terpancar daripadanya, dan cahaya bersinar-sinar dari tutur katanya…!
sekarang orang-orang Quraisy pemesan 
senjata itu mulai mengerti, dan salah seorang di antara mereka berseru: 
“Siapa dia orang yang kau katakan itu, hai budak Ummi Anmar . . . !’
Dengan ketenangan yang hanya dimiliki oleh orang suci, Khabbab menyahut:
“Siapa lagi, hai Arab shahabatku Siapa 
lagi di antara kaum anda yang daripadanya terpancar kebenaran, dan dari 
tutur katanya bersinar-sinar cahaya selain ia. seorang … ?”
seorang lainnya yang bangkit terkejut 
mendengar itu berseru pula: “Rupanya yang kamu maksudkan ialah Muhammad .
 . .”. Khabbab menganggukkan kepalanya yang dipenuhi kebanggaan serta 
katanya:
“Memang, ia adalah utusan Allah kepada kita, untuk membebaskan kita dari kegelapan menuju terang benderang
Dan setelah itu Khabbab tidak ingat lagi 
apa yang diucapkannya,begitupun apa yang diucapkan orang kepadanya . . .
 . Yang diingatnya hanyalah bahwa setelah beberapa saat lamanya ia 
sadarkan diri dan mendapati tamu-tamunya telah bubar dan tak ada lagi, 
sedang tubuh bengkak-bengkak dan tulang-tulangnya terasa sakit, dan 
darahnya yang mengalir melumuri pakaian dan tubuhnya
Kedua matanya memandang berkeliling 
dengan tajam …. kiranya tempat itu amat sempit untuk dapat melayani 
pandangan tembusnya. Maka dengan menahan rasa sakit, ia bangkit menuju 
tempat yang lapang, dan di muka pintu rumahnya ia berdiri sambil 
bersandar pada dinding, sedang kedua matanya yang mulia berkelana 
panjang menatap ufuk lalu berputar ke arah kanan kiri ….
Dan tiadalah ia berhenti sampai jarak 
yang biasa dikenal oleh manusia, tetapi ia ingin hendak menembus jarak 
jauh yang tidak terjangkau ….
Memang . . . , kedua matanya itu ingin 
menyelidiki kejauhan yang tidak terjangkau dalam kehidupannya, begitu 
pun dalam kehidupan orang-orang di kota Mekah, orang-orang di setiap 
tempat serta pada segala masa umumnya ….
Wahai, mungkinkah pembicaraan yang 
didengarnya dari Muhammad saw. pada hari itu, merupakan cahaya yang 
dapat menerangi jalan menuju kejauhan ghaib dalam kehidupan seluruh 
ummat manusia     ?
Demikianlah Khabbab tenggelam dalam 
renungan tinggi dan pemikiran mendalam, dan setelah itu ia kembali masuk
 rumahnya untuk membalut luka tubuhnya dan mempersiapkannya untuk 
menerima siksaan dan penderitaan baru . . . . ! Dan mulai saat itu 
Khabbab pun mendapatkan kedudukan yang tinggi di antara orang-orang yang
 tersiksa dan teraniaya . .. ! Didapatkannya kedudukan itu di antara, 
orang-orang yang walau pun mereka miskin dan tak berdaya, tetapi berani 
tegak menghadapi ke‑ sombongan Quraisy, kesewenangan dan kegilaan mereka
 . . . ! Diperolehnya kedudukan yang mulia itu di antara orang-orang 
yang telah memancangkan dalam jiwanya tiang bendera yang mulai berkibar 
di ufuk luas sebagai pernyataan tenggelamnya masa pemujaan berhala dan 
kekaisaran. la berdampingan dengan orang yang menyampaikan berita 
gembira munculnya kejayaan Agama Allah, yakni Tuhan satu-satunya yang 
berhak diibadahi dan segala peraturannya dengan ikhlas ditaati, Serta 
menyampaikan tibanya saat jaya bagi orang tertindas yang tidak berdaya.
 Ia akan duduk sama rendah berdiri sama tinggi di bawah bendera tersebut
 dengan orang-orang yang tadinya telah memeras dan menganiayanya ….
Dan dengan keberanian luar biasa, Khabbab memikul tanggung jawab semua itu sebagai seorang perintis.
“Berkatalah Sya’bi:
Khabbab menunjukkan ketabahannya, hingga 
tak sedikit pun hatinya terpengaruh oleh tindakan biadab orang-orang 
kafir. Mereka menindihkan batu membara ke punggungnya, hingga 
terbakarlah dagingnya . . . !”
Kafir Quraisy telah merubah semua besi 
yang terdapat di rumah Khabbab yang dijadikannya sebagai bahan baku 
untuk membuat pedang, menjadi belenggu dan rantai besi. Lalu mereka 
masukkan ke dalam api hingga menyala dan merah membara, kemudian mereka 
lilitkan ke tubuh, pada kedua tangan dan kedua kaki Khabbab . . . . Dan 
pernah pada suatu hari ia pergi bersama kawan-kawannya sependeritaan 
menemui Rasulullah saw. tetapi bukan karena kecewa dan kesal atas 
pengorbanan, hanyalah karena ingin dan mengharapkan keselamatan, kata 
mereka:
“Wahai Rasulullah, tidakkah anda hendak memintakan pertolongan bagi kami … ?”
Yah, marilah kita dengarkan Khabbab menceritakan langsung kepada kita kisah itu dengan kata-katanya sendiri:
“Kami pergi mengadu kepada Rasulullah saw. yang ketika itu
 sedang tidur berbantalkan kain burdahnya di bawah naungan Ka’bah. 
Permohonan kami kepadanya: “Wahai Rasulullah, tidakkah anda hendak 
memohonhan kepada Allah pertolongan bagi kami . . . . ?” Rasulullah saw.
 pun duduk, mukanya jadi merah, lalu sabdanya: “Dulu sebelum kalian, 
ado seorang laki-lahl yang disiksa, tubuhnya dikubur kecuali leher ke 
atas, lalu diambil sebuah gergaji untuk menggergaji kepalanya, tetapi 
siksaan demikian itu tidak sedikit pun dapat memalingkannya dari 
Agamanya . . . ! Ada pula yang disikat antara daging dan 
tulang-tulangnya dengan sikat besi, juga tidak dapat menggoyahkan 
keimanannya …. Sungguh Allah akan menyempurnakan hal tersebut, hingga 
setiap pengembara yang bepergian dari Shan’a ke Hadlramaut, tiada takut
 kecuali oleh Allah ‘Azza wa Jolla, walaupun serigala ada di antara 
hewan gembalaannya, tetapi saudara-saudara terburuburu f!”
Khabbab dengan kawan-kawannya 
mendengarkan kata-kata itu, bertambahlah keimanan dan keteguhan hati 
mereka, dan masing-masing mereka berikrar akan membuktikan kepada Allah 
dan Rasul-Nya hal yang diharapkan dari mereka, ialah ketabahan, 
keshabaran dan pengurbanan.
Demikianlah Khabbab menanggung 
penderitaan dengan shabar, tabah dan tawakkal. Orang-orang Quraisy 
terpaksa meminta bantuan Ummi Anmar, yakni bekas majikan Khabbab yang 
telah membebaskannya dari perbudakan. Wanita tersebut akhirnya turun 
tangan dan turut mengambil bagian dalam menyiksa dan menderanya.
Wanita itu mengambil besi panas yang 
menyala, lalu menaruhnya di atas kepada dan ubun-ubun Khabbab, 
sementara Khabbab menggeliat kesakitan. Tetapi nafasnya ditahan hingga 
tidak keluar keluhan yang akan menyebabkan algojo-algojo tersebut merasa
 puas dan gembira … !
Pada suatu hari Rasulullah saw. lewat di 
hadapannya, sedang besi yang membara di atas kepalanya membakar dan 
menghanguskannya, hingga kalbu Rasulullah pun bagaikan terangkat karena
 pilu dan iba hati ….
Tetapi apa yang dapat diperbuat oleh 
Rasulullah saw. untuk menolong Khabbab waktu itu . . . ? Tidak ada . . .
 , kecuali meneguhkan hatinya dan mendu’akannya ‘ Pada saat itu Rasulullah mengangkat kedua belah telapak tangannya terkembang ke arah langit, sabdanya memohon:
“Ya Allah, limpahkanlah pertolongan-Mu kepada Khabbab!”
Dan kehendak Allah pun berlakulah, selang
 beberapa hari Ummi Anmar menerima hukuman qishas, seolah-olah hendak 
dijadikan peringatan oleh Yang Maha Kuasa baik bagi dirinya maupun bagi 
algojo-algojo lainnya. Ia diserang oleh semacam penyakit panas yang aneh
 dan mengerikan. menurut keterangan ahli sejarah ia melolong seperti 
anjing……………
Dan dinasihatkan orang mengenai dirinya 
bahwa satu-satunya jalan atau obat yang dapat menyembuhkannya ialah 
menyeterika kepalanya dengan besi menyala . . . ! Demikianlah kepalanya 
yang angkuh itu menjadi sasaran besi panas, yang disetrikakan orang 
kepadanya tiap pagi dan petang
Jika orang-orang Quraisy hendak 
mematahkan keimanan dengan siksa maka orang-orang beriman mengatasi 
siksaan itu dengan pengurbanan I Dan
 Khabbab adalah salah seorang yang dipilih oleh taqdir untuk menjadi 
guru besar dalam ilmu tebusan dan pengurbanan …. Boleh dikata seluruh 
waktu dan masa hidupnya dibaktikannya untuk Agama yang panji-panjinya 
mulai berkibar ….
Di masa-masa da’wah pertama, Khabbab r.a.
 tidak merasa cukup dengan hanya ibadat dan shalat semata, tetapi ia 
juga memanfaatkan kemampuannya dalam mengajar. Didatanginya rumah 
sebagian temannya yang beriman dan menyembunyikan keislaman mereka 
karena takut kekejaman Quraisy, lalu dibacakannya kepada mereka 
ayat-ayat al-Quran dan diajarkannya
Ia mencapai kemahiran dalam belajar 
al-Quran yang diturunkan ayat demi ayat dan surat demi surat. Abdullah 
bin Mas’ud meriwayatkan mengenai dirinya, bahwa Rasulullah saw. pernah 
bersabda: “Barangsiapa ingin membaca al-Quran tepat sebagaimana 
diturunkan, hendaklah ia meniru bacaan Ibnu Umrni
‘Abdin! ” . . . , hingga Abdullah bin 
Mas’ud menganggap Khabbab bagai tempat sertanya mengenai soal-soal yang 
bersangkut paut dengan al-Quran , baik tentang hafalan maupun 
pelajaranya
Khabbab adalah juga yang mengajarkan 
al-Quran kepada athimah binti Khatthab dan suaminya Sa’id bin Zaid 
ketika mereka dipergoki oleh Umar bin Khatthab yang datang dengan pedang
 di pinggang untuk membuat perhitungan dengan Agama islam dan Rasulullah
 saw. Tetapi demi dibacanya ayat-ayat Quran yang termaktub pada lembaran
 yang dipergunakanoleh Khabbab untuk mengajar, ia pun berseru dengan suaranya ang barkah: “Tunjukkan kepadaku di mana Muhammad
Dan ketika Khabbab mendengar ucapan Umar itu, ia pun segera keluar dari tempat persembunyiannya, serunya:
“Wahai Umar! Demi Allah, saya berharap 
kiranya ‘kamulah yang telah dipilih oleh Allah dalam memperkenankan 
permohonan Nabi-Nya saw. Karena kemarin saya dengar ia memohon:
“Ya Allah, kuatkanlah Agama Islam dengan salah seorang di antara dug lelaki yang lebih Engkau sukai: Abul Hakam bin Hisyam dan Umar bin Khatthab . . . ! “
Umar segera. menyahut: “Di mana saya 
dapat menemuinya orang ini, hai Khabbab?” “Di Shafa”, ujar Khabbab, 
“yaitu rumah Arqam bin Abil Arqam”. Maka pergilah Umar menpatkan 
keuntungan yang tidak terkira, menemui awal nasibnya yang bahagia . . . .
 !
Khabbab ibnul Arat menyertai Rasulullah 
saw. dalam semua erangan dan pertempurannya, dan selama hayatnya ia 
tetap membela keimanan dan keyakinannya ….
Dan ketika Baitulmal melimpah ruah dengan
 harta kekayaan di masa pemerintahan Umar dan Utsman radliyallahu 
‘anhuma, maka Khabbab beroleh gaji besar, karena termasuk golongan 
Muhajirin yang mula pertama masuk Islam.
Penghasilannya yang cukup ini 
memungkinkannya untuk membangun sebuah rumah di Kufah, dan harta 
kekayaannya disimpan pada suatu tempat di rumah itu yang dikenal oleh 
para shahabat dan tamu-tamu yang memerlukannya, hingga bila di antara 
mereka ada sesuatu keperluan, ia dapat mengambil uang yang diperlukannya
 dari tempat itu ….
Walaupun demikian, Khabbab tak pernah 
tidur nyenyak dan tak pernah air matanya kering setiap teringat akan 
Rasulullah saw. dan para shahabatnya yang telah membaktikan hidupnya 
kepada Allah. Mereka beruntung telah menemui-Nya sebelum pintu dunia 
dibukakan bagi Kaum Muslimin dan sebelum harta kekayaan diserahkan ke 
tangan mereka.
Dengarkanlah pembicaraannya dengan para 
pengunjung yang datang menjenguknya ketika ia r.a. dalam sakit yang 
membawa ajalnya. Kata mereka kepadanya: “Senangkanlah hati anda wahai 
Abu Abdillah, karena anda akan dapat menjumpai teman-teman sejawat anda
 !”
Maka ujarnya sambil menangis:
“Sungguh, saya tidak merasa kesal atau 
kecewa, tetapi tuan-tuan telah mengingatkan saya kepada para shahabat 
dan sanak saudara yang telah pergi mendahului kita dengan membawa semua 
amal bakti mereka, sebelum mereka mendapatkan ganjaran di dunia sedikit
 pun juga . . . ! Sedang kita .. , kita masih tetap hidup dan beroleh 
kekayaan dunia, hingga tak ada tempat untuk menyimpannya lagi kecuali 
tanah.”
Kemudian ditunjuknya rumah sederhana yang
 telah dibangunnya itu, lalu ditunjuknya pula tempat untuk menaruh harta
 kekayaan, Serta katanya:
“Demi Allah, tak pernah saya menutupnya walau dengan sehelai benang, dan tak pernah saya halanginya terhadap yang meminta …!
Dan setelah itu ia menoleh kepada kain 
kafan yang telah disediakan orang untuknya. Maka ketika dilihatnya mewah
 dan berlebih-lebihan, katanya sambil mengalir air matanya:
“Lihatlah ini kain kafanku …!
Bukankah kain kafan Hamzah paman 
Rasulullah saw. ketika gugur sebagai salah seorang syuhadah hanyalah 
burdah berwarna abu-abu, yang jika ditutupkan ke kepalanya terbukalah 
kedua ujung kakinya, sebaliknya bila ditutupkan ke ujung kakinya, 
terbukalah kepalanya   …!”
Khabbab berpulang pada tahun 37 Hijriah. 
Dengan demikian ahli membuat pedang di masa jahiliyah telah tiada lagi. 
Demikian halnya guru besar dalam pengabdian dan pengurbanan dalam Islam 
telah berpulang …. !
Laki-lali yang termasuk dalam jama’ah 
yang diturunkan alQuran untuk membelanya, dan yang dilindungi sewaktu 
sebagian para bangsawan Quraisy menuntut agar Rasulullah saw. 
menyediakan untuk menerima mereka pada suatu hari tertentu, sedang bagi
 orang-orang miskin seperti Khabbab, Shuhaib dan Bilal suatu hari 
tertentu pula ….
Kiranya al-Qur anul Karim merangkul 
laki-laki hamba Allah itu dengan penuh kemuliaan dan kehormatan, 
sementara ayat-ayatnya berkumandang menyatakan kepada Rasul yang mulia 
seperti berikut:
Dan janganlah engkau mengusir 
orang-orang yang menyeru Tuhannya sepanjang pagi dan petang, mereka itu 
menghamp keridlaan-Nya . – . ! Engkau sedikit pun tidak diminta 
pertanggungjawaban – yang menjadi perhitungan bagi mereka. Begitu pun 
perhitungan bagimu tidak akan dimintakan tanggung jawab mereka sedikit 
pun. Apabila engkau mengusir mereka, pasti engkau termasuk orangorang 
dhalim.
Demikianlah Kami uji sebagian mereka 
dengan sebagian lainnya, sehingga mereka berkata: Itukah orang-orang 
yang diberi karunia oleh Allah di antara kita … ? (Allah berfirman): 
Tidakkah Allah lebih mengetahui orang-orang yang bersyukur … ?
Dan jika datang kepadamu orang-orang 
yang beriman kepada ayat-ayat Kami, ucapkanlah kepada mereka: Selamat 
bahagia bagi kalian, Tuhan kalian telah mewajibkan diri-Nya rasa kasih 
sayang.
(Q.s.6 al-An’am: 52 — 54)
Demikianlah setelah turunnya ayat ini, 
maka Rasulullah saw. amat memuliakan mereka, dibentangkannya untuk 
mereka kainnya, dan dirangkulnya bahu mereka Serta sabdanya:
“Selamat datang bagi orang-orang yang diriku diberi washiat oleh Allah untuk memperhatikan mereka … !”
Sungguh, salah seorang putera terbaik dari masa wahyu dan generasi pengurbanan telah wafat 
Mungkin kata-kata terbaik yang kita 
ucapkan untuk melepas tokoh ini, ialah apa yang diucapkan oleh Imam Ali 
karamallahu wajhah ketika ia kembali dari perang Shiffin dan kebetulan 
pandangannya jatuh atas sebuah makam yang basah dan segar, maka 
tanyanya: “Makam siapa ini . . . ?” “Makam Khabbab”, ujar mereka. Maka 
lama sekali ia merenunginya dengan hati khusyu‘ dan duka, lalu katanya:
“Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada Khabbab, Yang dengan ikhlas menganut Islam dengan penuh semangat ….
Mengikuti hijrah sernata-mata karena taat ….
Seluruh hidupnya dibaktikan dalam perjuangan membasmi ma’siat …. “
Tidak ada komentar:
Posting Komentar