MEMBANDINGKAN METODE MUTAQADDIMIN DAN MUTAAKHIRIN DALAM KRITIK HADITS
Kesadaran umat Islam terhadap pentingnya merujuk kepada hadits Nabi Saw
dalam merumuskan solusi yang tepat untuk setiap problematika yang
dihadapi merupakan fenomena kontemporer yang patut disyukuri. Namun
kesadaran ini setiap saat dapat berubah menjadi euphoria destruktif jika
tidak diiringi konsepsi yang benar berkenaan dengan metode penilaian
riwayat dan mekanisme penyimpulan hukum dari sebuah hadits. Sayangnya,
kajian-kajian hadits mutaakhirin dan kontemporer mengarah kepada
terwujudnya kekhawatiran tersebut dilihat dari berbagai indikasi yang
menunjukkan terjadinya pendangkalan ilmu hadits, bahkan pembalikan
paradigma dari yang pernah diajukan oleh ahli hadits klasik
(mutaqaddimin).
Tulisan ini berusaha menampilkan sebagian dari fenomena tersebut sebagai pendahuluan untuk diskusi kita dalam mengkaji metode Imam Al-Tirmidzi di dalam kitab Sunan-nya. Apa yang saya tulis di bawah ini tidak bertendensi untuk mengecilkan peranan ulama atau tokoh tertentu. Problematika serius yang sedang dihadapi umat jauh lebih penting untuk dicari solusinya daripada membuang sia-sia energi kita untuk mendengki dan mencaci saudara sendiri.
Pendahuluan: Mutaqaddimin dan Mutaakhirin
Sejarah panjang ilmu kritik hadits sejak lahirnya hingga sekarang bisa dibagi menjadi dua fase (marhalah) besar.[1] Fase pertama disebut dengan masa riwayah. Setiap hadits pada masa ini diriwayatkan dengan sanad tersendiri yang menghubungkan penuturnya dengan pemilik perkataan tersebut (Nabi Saw, sahabat, atau tabiin) dengan untaian nama-nama perawi yang disebut sanad. Di masa yang berakhir kira-kira abad keempat/kelima hijriah ini, sanad merupakan tulang punggung yang menentukan validitas sebuah riwayat sehingga menjadi bagian penting dari agama.[2] Buku-buku yang ditulis di masa inipun sarat dengan sanad-sanad yang menghubungkan para pengarang buku dengan sumber referensinya. Hal ini kita bisa temukan misalnya pada Muwattha Imam Malik (w. 179), buku-buku Imam Asy-Syafii (w. 204 H) dan Imam Ahmad (w. 224 H), Al-Bukhari (w. 256 H), Muslim (w. 261 H), dan buku-buku lain yang ditulis hingga masa Al-Daruquthni (w. 385 H).
Urgensi sanad pada masa ini melahirkan perhatian dan upaya luar biasa yang dicurahkan ulama hadits untuk mengoleksi dan memverifikasi setiap riwayat dengan seksama demi memastikan tertutupnya semua celah yang memungkinkan penyusupan unsur asing yang dapat mengeruhkan kejernihan ajaran Islam. Upaya ini membuahkan keyakinan ilmiah di hati setiap muslim, pada saat itu hingga saat ini, bahwa Islam dengan semua aspek akidah, syariah dan etikanya tetap terjaga kemurniannya meski telah melalui ribuan tahun sejak wafat Rasulullah Saw. Ibn Hibban (w. 354 H) dengan sangat indah menjelaskan upaya luar biasa ahli hadits ini dengan berkata, “…Andai salah seorang dari ulama itu ditanya berapa jumlah huruf dalam setiap hadits niscaya dia mampu menghitungnya. Dan andai seorang perawi menambahkan alif atau wau ke dalam sebuah hadits, mereka akan menyingkapnya dengan mudah dan menjelaskannya dengan ikhlas. Tanpa mereka, atsar pasti punah dan hadits pasti hilang, dan niscaya ajaran sesat akan menyebar dan ahli bid'ah akan meraja lela.”[3] Al-Baihaqi (w. 458 H) menambahkan bahwa upaya pengumpulan hadits di masa riwayah ini telah sempurna, “maka barangsiapa pada hari ini meriwayatkan hadits yang tidak terdapat di (dalam buku-buku karangan) mereka maka hadits itu tidak dapat diterima.”[4]
Fase kedua dinamakan dengan masa pasca riwayah. Pada fase yang terbentang sejak berakhirnya fase riwayah hingga sekarang ini, hadits-hadits telah terkumpul di dalam kitab-kitab sunnah yang sangat masyhur hasil upaya keras para ulama di fase sebelumnya. Oleh karena itu, perhatian ahli hadits pada saat ini beralih dari koleksi riwayat kepada upaya memelihara warisan ilmiah itu dengan teliti agar tidak terjadi kekeliruan membaca (tashhif dan tahrif) yang dapat mereduksi makna. Sanad tidak lagi urgen, minimal tidak sepenting pada masa riwayah, dan disampaikan hanya sekedar untuk melestarikan keistimewaan umat islam yang tidak dimiliki oleh umat lain itu.[5] Pada fase ini juga, bermunculan buku-buku khusus yang menjelaskan secara seksama teori seleksi riwayat dan menafsirkan makna istilah-istilah teknis yang digunakan oleh ahli hadits dalam praktek ilmiah mereka. Buku 'Ulum Al-Hadits (dikenal juga dengan nama Muqaddimah) karya Ibn Al-Shalah (w. 643 H) tampil menjadi rujukan terpenting sebelum kemudian karya Ibn Hajar (w. 852 H), Nukhbat Al-Fikar dan Syarh-nya, merebut posisi bergengsi itu beberapa abad kemudian.
Peralihan dari fase riwayah kepada fase pasca riwayah membawa implikasi yang tidak sedikit, jelas sekali bahwa peralihan tersebut lebih tepat disebut sebagai sebuah perpindahan dari masa keemasan ilmu hadits kepada masa kemundurannya. Memang tidak semua ulama mutaakhirin (pasca riwayah) berjalan bersama arus ini, sebagian mereka, seperti Ibn Abd Al-Hadi (w. 744 H) dan Ibn Rajab (w. 795 H), sangat dekat analisanya dengan metode mutaqaddimin (ulama masa riwayah). Namun fenomena umum masa pasca riwayah ini mengindikasikan terjadinya distorsi di dalam ilmu hadits terlihat dari kajian-kajian hadits yang terkonsentrasi kepada perdebatan yang sangat teoritis dan terlepas sama sekali dari tataran praktisnya. Belum lagi fenomena pembalikan paradigma yang sangat berpengaruh dalam pendangkalan ilmu hadits sebagaimana yang akan dipaparkan di bawah ini.
a. Dari riwayah ke dirayah
Setiap santri hadits pada fase riwayah memulai studinya dengan mendatangi majlis seorang syeikh di kotanya, lalu mendengar dan mencatat hadits-hadits yang diriwayatkan sambil menghafal dan mengenali perawi-perawi yang namanya tercantum di dalam sanad. Semakin banyak jumlah hadits yang ia kumpulkan semakin besar peluangnya untuk mengkaji hadits dengan lebih baik, oleh karena itu al-rihlah fi thalab al-'ilm (belajar ke luar negeri) sangat dianjurkan bahkan sebuah keharusan. Al-Khalil bin Ahmad (w. 160 H) berkata, “Seseorang tidak mengetahui kekeliruan gurunya sebelum ia belajar dari orang lain.”[6] Ali bin Al-Madini (w. 234 H) berkata, “Sebuah hadits jika tidak dikumpulkan semua jalur periwayatannya tidak akan diketahui illah-nya.”[7] Praktek riwayah ini akan membuat pelajar hadits itu mengerti dengan sendirinya sifat-sifat hadits yang harus diterima atau ditolak serta memahami istilah-istilah ilmiah yang digunakan ahli hadits. Singkat kata, pada fase ini praktek riwayah membawa kepada pemahaman dirayah.
Karena berangkat dari praktek ke teori, sifat ilmu hadits pada fase riwayah sangat induktif, aplikatif dan tidak bertendensi mendefinisikan istilah. Bahkan apa yang kemudian dianggap istilah oleh ulama mutaakhirin (seperti hasan, munkar, ma'ruf, mahfuz, 'aziz, gharib, syaz, ma'lul dan lain-lain) serta didefinisikan dengan batasan-batasan tertentu, pada fase ini “istilah-istilah ilmiah” tersebut lebih dekat untuk dimaknai secara bahasa. Oleh karena itu, jika kita perhatikan dengan seksama hampir tidak ada perbedaan makna di kalangan ulama fase riwayah, atau mutaqaddimin, antara mursal dan munqathi', sebab kedua kata ini sama-sama menunjukkan “keterputusan” (makna bahasa bagi mursal dan munqathi') yang terdapat di dalam sebuah sanad.[8]
Perhatikan juga penggunaan “istilah” munkar oleh dua orang pakar hadits kenamaan di masa riwayah, Abu Zur'ah (w. 264 H) dan Abu Hatim (w. 277 H), yang lebih dekat kepada makna harfiahnya, yaitu “sesuatu yang tidak dikenal sehingga melahirkan pengingkaran” daripada harus dibatasi dengan definisi tertentu.[9] Dengan kata lain, kata munkar di praktek ahli hadits mutaqaddimin menunjukkan keganjilan dan kekeliruan yang terdapat di dalam suatu riwayat.[10]
Seperti kata gharib dan hasan, makna munkar ini akan lebih jelas kita pahami setelah mengetahui karakter penulisan dan koleksi hadits fase riwayah yang sangat mirip dengan metode pengarsipan modern. Semua hadits-hadits yang diriwayatkan oleh 'Ubaidullah bin 'Umar dari Nafi' misalnya mereka jadikan file tersendiri yang terpisah dari hadits-hadits riwayat 'Abdullah bin 'Umar dari Nafi'. 'Ubaidullah (عبيد الله) tsiqah sementara Abdullah (عبد الله) dhaif, dan perbedaan keduanya di dalam penulisan hanya huruf ya. Jika seseorang keliru hafalan atau bacaannya sehingga menyebutkan sebuah hadits yang seharusnya diriwayatkan oleh Abdullah bin 'Umar, menjadi riwayat 'Ubaidullah bin Umar, sehingga hadits yang sebenarnya dhaif menjadi shahih, seorang pakar hadits yang teliti akan mempertanyakan riwayat tersebut dengan mengatakan, “Hadits ini ganjil (gharib).” Sebagaimana mereka meng-gharib-kan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh hanya satu orang dari 'Ubaidullah dari Nafi' tanpa ada orang lain yang mendukung riwayatnya.
Keganjilan itu berubah menjadi pengingkaran jika ditemukan indikasi (qarinah) yang menunjukkan telah terjadi kekeliruan dalam membaca nama (tashhif) misalnya. Kata-kata pengingkaran itu bahkan berubah menjadi lebih keras seperti keliru (khatha') atau salah (wahm).[11] Namun jika tidak ada indikasi yang menunjukkan kekeliruan, ditambah lagi orang yang meriwayatkan sanad itu jarang melakukan kesalahan, pelan-pelan pengganjilan itu berubah menjadi penerimaan, bahkan riwayat ini dianggap bagus (hasan) karena keunikannya. Hal ini mirip dengan seorang kolektor barang seni yang menemukan sebuah karya seni bernilai tinggi yang belum pernah ia temukan sebelumnya. Jika setelah diteliti ternyata karya itu palsu, ia akan meng-ingkari-nya. Namun jika ternyata original, ia akan membanggakannya. Antara keganjilan dengan keunikan memang sangat dekat secara bahasa, dan perbedaan antara keduanya pun sangat tipis.
Perhatikan ucapan Abu Hatim mengomentari hadits riwayat Qatadah dan Hammad bin Salamah dari 'Ikrimah bin Khalid dari Ibn 'Umar bahwa Nabi Saw bersabda, “Barangsiapa membeli pohon kurma yang telah diserbuki, maka buahnya milik penjual”, ia berkata, “Semula saya menganggap bagus (astahsinu) hadits ini dari jalur ini hingga saya menemukan beberapa orang terpercaya meriwayatkannya dari 'Ikrimah bin Khalid dari Az-Zuhri dari Ibn 'Umar dari Nabi Saw. Ternyata hadits itu kembali lagi ke jalur Az-Zuhri dari Salim dari Ibn 'Umar.”[12]
Semula Abu Hatim meng-hasan-kan hadits 'Ikrimah bin Khalid dari Ibn 'Umar ini karena keunikannya. Matan hadits ini masyhur diriwayatkan oleh Az-Zuhri dari Salim dari Ibn 'Umar, oleh karena itu ketika menemukan hadits ini diriwayatkan oleh Ikrimah bin Khalid dari Ibn 'Umar dengan perawi-perawi terpercaya, Abu Hatim sangat bergembira karena menemukan sesuatu yang baru dengan sanad yang shahih. Tapi kegembiraan itu berubah menjadi kekecewaan segera setelah mengetahui bahwa ternyata 'Ikrimahpun meriwayatkannya dari Az-Zuhri. Abu Hatim berkata, “Ternyata hadits itu kembali lagi ke jalur Az-Zuhri dari Salim dari Ibn 'Umar.” Sebab sanad ini lumrah dan dimiliki semua orang, maka tidak ada lagi yang harus di-hasan-kan.[13]
Karena tipisnya pemisah antara hasan dan munkar, ahli hadits kadang menyebut hadits-hadits munkar dengan kata hasan. Ibrahim An-Nakha'i (w. 195 H) berkata, “Mereka (ulama sebelumnya) tidak suka, jika mereka bertemu, seseorang dari mereka menyebutkan hadits ter-hasan yang ia miliki.” Al-Khathib (w. 463 H) mengomentari ucapan ini, “Ibrahim bermaksud dengan hasan di sini adalah gharib, sebab gharib yang tidak dikenal lebih dianggap hasan daripada masyhur yang dikenal. Ahli hadits sering menggunakan ungkapan ini untuk hadits-hadits munkar. Oleh karena itu Syu'bah berkata (ketika ditanya: mengapa kamu enggan menulis hadits dari Abdul Malik bin Abi Sulaiman, padahal hadits-haditsnya hasan?), “Dari (hadits) hasan-ya itulah saya menghindar.”[14] Syu'bah juga berkata, “Ismail bin Raja seperti setan karena hadits-hadits hasan-nya.”[15]
Dengan penafsiran makna seperti di atas, silahkan mencerna ucapan Sulaiman Al-A'masy (w. 148 H), “Mereka (para ulama sebelumnya) membenci hadits dan ucapan yang gharib.” Dan ucapan Imam Malik (w. 179 H), “Ilmu terburuk adalah (ilmu) yang gharib, sedangkan ilmu yang terbaik adalah ilmu yang sangat jelas (karena) diriwayatkan banyak orang.” Abu Yusuf (w. 193 H) berkata, “Barangsiapa yang mencari hadits gharib, ia akan jatuh dalam kedustaan.” Imam Ahmad (w. 244 H) berkata, “Janganlah kamu menulis hadits-hadits yang gharib ini, sebab (hadits-hadits itu) munkar, dan kebanyakannya diriwayatkan oleh orang-orang lemah (dhu'afa).” Lalu bandingkan jika Anda memahami “istilah-istilah” tersebut dengan cara mutaakhirin.[16]
Sementara itu, di masa pasca riwayah seorang santri hadits diwajibkan menghafal kaidah-kaidah dan istilah-istilah ushul hadits terlebih dahulu sebelum terjun ke praktek mengumpulkan sanad. Setiap istilah teknis dihafalkan definisinya beserta contoh-contoh secukupnya sehingga terbentuk konsep final untuk setiap istilah tertentu yang sangat ketat dan tidak bisa diganggu gugat. Bahasan ilmu hadits pada fase ini bersifat deduktif, bertumpu kepada logika, berbaur dengan kaidah-kaidah fiqih dan terlalu teoritis sehingga kadang kehilangan landasan praktisnya. Perhatikan konsep 'Aziz Ibn Hajar (w. 852 H) di matan An-Nukhbah yang mengilustrasikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perawi di setiap jenjang sanadnya. Konsep yang ia ajukan ini sangat sulit, bahkan tidak mungkin, ditemukan dukungan praktisnya di dunia riwayat. Menyadari kekurangan konsep ini dari segi praktisnya, Ibn Hajar merubahnya dengan “sebuah hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang tidak kurang dari dua orang dari dua orang (aqallu 'an itsnain 'an itsnain).”[17] Namun benarkah ahli hadits menggunakan istilah ‘aziz dengan makna yang diajukan Ibn Hajar? Masih memerlukan pembuktian lebih lanjut.
Dominasi kitab-kitab mushthalah di kajian-kajian hadits kontemporer bahkan telah mendangkalkan ilmu hadist sehingga membuatnya sangat mirip dengan ilmu hitung. Sebuah hadits dihukumkan shahih karena perawinya tsiqah, dihukumkan hasan karena perawinya shaduq atau hasan al-hadits, dan dhaif karena perawinya dhaif. Jika sebuah hadits didukung oleh mutaba'ah atau syahid, maka nilainya terangkat menjadi hasan atau shahih li ghairihi, begitu seterusnya. Praktek ini mengesankan mudahnya menilai sebuah hadits semudah menjumlah angka-angka. Siapapun dapat melakukannya segera setelah dia membaca buku-buku mushthalah. Padahal tugas ini di fase riwayah merupakan pekerjaan berat yang menuntut ketelitian yang sangat luar biasa sehingga Al-Hakim (w. 405 H) berkata, “Hadits shahih tidak bisa diketahui dengan hanya melihat riwayatnya saja, tetapi hanya bisa diketahui dengan pemahaman, hafalan dan sering mengkaji (hadits). Satu hal yang paling membantu mengetahui ilmu ini adalah dengan banyak ber-muzakarah (diskusi) dengan pakarnya agar tersingkap 'illah hadits tersebut. Maka jika ditemukan sebuah hadits dengan sanad shahih, namun tidak dicantumkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, maka ahli hadits harus bersungguh-sungguh mencari 'illah-nya dan mendiskusikannya dengan para pakar hadits.”[18]
Tentu saja sikap sembrono dalam menilai hadits ini sangat berbahaya mengingat pentingnya posisi hadits di dalam struktur akidah, syariah dan etika seorang muslim. Pandangan “cetek (dangkal)” ini membuka peluang sangat lebar bagi orang-orang yang menyimpan niat tertentu – seperti Mahmud Abu Rayyah dan para pengikutnya- untuk menggunakan kaidah-kaidah ilmu hadits versi mutaakhirin dan kontemporer ini untuk menyerang warisan ulama hadits sendiri. Orang-orang yang sebenarnya tidak mengerti hadits sama sekali ini berani berbicara tentang hadits, bahkan berpolemik dengan pakar hadits klasik dan mengkritik buku-buku referensi hadits dengan alasan “sebagaimana yang tercantum di buku-buku mushthalah”.
Dengan demikian, harus ada upaya sistematik dari para peminat kajian hadits kontemporer untuk memfokuskan studi dan riset mereka kepada upaya menggali dan menyingkap serta memahami dengan lebih mendalam metode ahli hadits mutaqaddimin agar tercipta konsepsi dan perspektif yang jitu dalam mengkaji hadits Nabi Saw. Bagaimanapun, kesalahan sekecil apapun yang terjadi ketika menilai sebuah hadits akan mempengaruhi penampilan dan wajah Islam di mata dunia, belum lagi pengaruhnya di keberagamaan masyarakat yang mempunyai implikasi serius di kehidupan akhirat mereka kelak. Wallahu A'lam.
b. Status Perawi ditentukan Riwayatnya
Telah menjadi kesepakatan ulama sejak masa sahabat hingga saat ini bahwa seorang perawi yang haditsnya dinyatakan valid (shahih) dan argumentatif (hujjah) harus memenuhi syarat-syarat kepribadian yang disebutkan pakar hadits dan fiqih abad ketiga hijriah Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Al-Syafi'i (w. 204 H) dalam kitab Al-Risalah, yaitu orang tersebut harus terpercaya keberagamaannya, terkenal jujur ucapannya, mengerti apa yang diriwayatkan, sadar akan kata-kata yang dapat merubah makna, menghafal haditsnya jika ia meriwayatkan dari hafalannya, menjaga catatannya jika ia meriwayatkan dari catatannya, tidak mudallis (meriwayatkan dari orang yang dijumpai hadits yang tidak didengar daripadanya) dan tidak menyalahi riwayat orang yang lebih terpercaya darinya.[19] Al-Baihaqi berkata, “Syarat-syarat yang disebutkan Asy-Syafii ini disepakati oleh semua ahli hadits.”[20] Para ulama kemudian menyimpulkan syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang perawi ini menjadi dua, yaitu 'adalah (kepribadian terpuji) dan dhabth (sistem dokumentasi yang akurat). Seorang perawi yang memenuhi dua syarat ini diberikan predikat tsiqah.
Secara umum, semua kaum muslimin tidak dipertanyakan kepribadiannya selama tingkah lakunya sejalan dengan aturan dan etika agama. Imam Al-Syafii berkata, “Tidak ada seorang pun yang mentaati perintah Allah sehingga tak pernah berdosa. Dan tidak ada pula yang bermaksiat sehingga tidak pernah mentaati Allah. Oleh karena itu, jika sebagian besar amal seseorang dihiasi dengan ketaatan maka ia dianggap berkepribadian terpuji ('adl).[21] Setiap orang, dengan demikian, mampu menilai kepribadian orang lain apakah ia layak disebut 'adl atau tidak, meski sebagian ahli hadits mensyaratkan kesaksian dua orang untuk menyatakan penilaian tersebut.[22]
Sementara itu, dhabth seorang perawi hanya bisa dinilai oleh pakar hadits yang telah mengumpulkan semua hadits yang diriwayatkan orang tersebut sehingga mengetahui dengan pasti prosentase kesalahan dari keseluruhan riwayatnya. Jika kesalahan yang dilakukan dalam praktek riwayatnya sangat sedikit, maka orang tersebut dinilai tsiqah. Semakin sedikit kesalahannya, semakin tinggi nilai ke-tsiqah-annya sehingga ia digelari hujjah, hafiz bahkan amir al-mu'minin fi al-hadits. Sebaliknya, jika kesalahannya dalam riwayat lebih mendominasi, maka orang yang bersangkutan dinilai dhaif, bahkan jika kesalahannya dinilai sangat fatal orang itu bisa dilabel matruk (riwayatnya harus ditinggalkan sama sekali). Imam Al-Syafii berkata, “Ahli hadits yang banyak melakukan kekeliruan dan tidak memiliki buku catatan tidak kami terima haditsnya, sebagaimana orang yang terlalu banyak melakukan kesalahan dalam bersaksi tidak kami terima kesaksiannya.”[23]
Dalam tugasnya, seorang pakar hadits memeriksa setiap kata, bahkan setiap huruf, yang disampaikan perawi yang hendak dinilai kadar dhabth-nya itu, kemudian membandingkan riwayatnya dengan riwayat-riwayat orang lain sehingga kesalahan satu hurufpun akan dicatat bersama bioghrafinya. Siapa saja yang menelaah buku-buku yang ditulis khusus untuk menyebutkan nama-nama perawi yang “bermasalah” seperti Al-Dhu'afa karya Al-'Uqaili (w. 322 H), Kitab Al-Majruhin karya Ibn Hibban (w. 354 H) dan Al-Kamil fi Al-Dhu'afa milik Ibn 'Adi (w. 365 H), akan mendapati bahwa setiap perawi yang dinyatakan dhaif oleh ahli hadits disebutkan juga bersamanya bukti-bukti riwayah yang mendukung penilaian tersebut. Ini menunjukkan bahwa penilaian ahli hadits sangat obyektif, tidak pandang bulu dan selalu mengedepankan bukti. Ibn Hibban berkata, “Saya berlindung kepada Allah dari menilai buruk (jarh) seorang muslim tanpa bukti dan (tanpa) meyakini bahwa ia memang pantas (dinilai seperti itu).”[24]
Kesalahan-kesalahan dalam riwayat yang dapat memberikan nilai buruk bagi reputasi seorang perawi sangat banyak, antara lain me-rafa' sanad hadits yang seharusnya mawquf, me-musnad-kan sanad yang seharusnya mursal, keliru menyebut nama di sanad atau kata-kata di matan, menambah walau satu kata di dalam sanad atau matan, dan kesalahan-kesalahan lainnya. Ambil sebuah contoh seorang perawi yang bernama Muhammad bin Abdurahman bin Abi Laila imam ahli Kufah. Ia meriwayatkan dari Atha bin Abi Rabah (seorang ulama tabiin asal Mekah) dari Ibn Abbas bahwa Nabi Saw ketika 'umrah melafalkan talbiah hingga mengusap rukun Ka'bah.[25] Riwayat ini menyalahi riwayat ulama-ulama Mekah yang lebih dekat dengan Atha seperti Ibn Juraij, Hammam dan Abdul Malik bin Abi Sulaiman bahwa Atha meriwayatkannya dari Ibn Abbas tanpa menyebut Nabi Saw, begitu juga riwayat Mujahid dan Said bin Jubair dari Ibn Abbas.[26] Jadi hadits ini mawquf bukan marfu'. Ini membuktikan bahwa Abdurahman bin Abi Laila keliru sebab menyalahi riwayat orang-orang yang lebih banyak darinya. Al-Baihaqi berkata, “Me-rafa' hadits ini keliru. Ibn Abi Laila memang sering salah meriwayatkan hadits.”[27] Karena sering melakukan kesalahan seperti ini, beserta kesalahan-kesalahan lainnya, Ibn Abi Laila dinilai dhaif oleh para ulama.[28]
Kesalahan yang paling fatal di mata ahli hadits adalah ketika seseorang meriwayatkan hadits dari tokoh besar yang memiliki banyak murid, namun hadits tersebut tidak pernah dikenal dan diriwayatkan selain oleh perawi itu. Ahli hadits menilai orang yang sering melakukan hal ini dengan label “munkar al-hadits”. Misalnya, Furat bin Zuhair yang meriwayatkan dari Imam Malik bin Anas dari ibunya dari Umm 'Alqamah dari 'Aisyah bahwa Nabi Saw telah bersabda, “Pencuri adalah orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya, maka bunuhlah ia.” Imam Malik seorang tokoh besar yang memiliki ribuan murid, setiap hadits yang diriwayatkan dicatat dan dikumpulkan oleh murid-muridnya. Ketika tidak ada seorangpun dari murid-murid Imam Malik yang meriwayatkan hadits ini selain Furat, juga ia tidak dikenal sebagai murid Malik, ini menjadi indikasi kuat bahwa Furat telah berdusta atas nama imam besar ini. Maka tak heran jika Ibn Hibban mendustakannya dan berkata, “Tidak halal meriwayatkan haditsnya atau berargumentasi dengannya.”[29]
Jadi, di fase riwayah hadits-hadits yang diriwayatkan menentukan nilai seorang perawi. Saya sadar ketika mengatakan bahwa seorang perawi tsiqah adalah orang yang kesalahannya dalam riwayah sangat sedikit, dan perawi dhaif adalah orang yang kesalahannya sangat - bahkan terlalu - banyak, bahwa ucapan ini menegaskan bahwa seorang tsiqah bisa keliru dalam riwayat sebagaimana seorang dhaif bisa benar. Memang seperti itu adanya di metode kritik ahli hadits mutaqaddimin yang sangat obyektif. Seorang tsiqah tidak disyaratkan bebas dari semua kesalahan (ma'shum), sehingga kita menemui banyak sekali kritik-kritik yang ditujukan kepada perawi tsiqah di hadits-hadits tertentu tanpa mengurangi kredibilitas mereka di hadits-hadits yang lain. Imam Al-Syafii berkata untuk mengkritik gurunya, “Imam Malik keliru menyebut tiga nama…”[30] meski begitu Imam Malik tetap tsiqah menurut Imam Al-Syafii dan semua ahli hadits. Ibn Al-Madini berkata, “Semua ahli hadits pernah keliru kecuali empat orang: Yazid bin Zurai', Ibn 'Ulayyah, Bisyr bin Al-Mufadhal dan 'Abdul Warits bin Sa'id.”[31] Andai seorang tsiqat tidak boleh keliru, tidak ada perawi hadits yang tsiqat selain empat orang ini.
Begitu juga sebaliknya, karena perawi dhaif kadang benar dalam meriwayatkan hadits, kita mendapati sebagian nama-nama perawi yang dinilai dhaif terdapat di kitab-kitab yang disepakati keshahihannya oleh ahli hadits.[32] Sepeti Fulaih bin Sulaiman dan lain-lain di Shahih Al-Bukhari, Suwaid bin Said dan lain-lain di Shahih Muslim. Para ulama hadits sepakat bahwa Al-Bukhari dan Muslim memilih (intiqa) sekian banyak dari hadits-hadits yang diriwayatkan perawi-perawi dhaif ini yang terbukti benar dan sejalan dengan perawi-perawi tsiqat.
Sementara itu, jika kita beralih ke buku-buku karya ahli hadits mutaakhirin dan kontemporer kita melihat penilaian mereka terhadap seorang perawi bertumpu kepada referensi-referensi yang hanya memberikan penilaian global (al-hukm al-ijmali) kepada setiap perawi seperti “Taqrib Al-Tahdzib” dan “Tahdzib Al-Tahdzib” karya Ibn Hajar. Jika memiliki semangat lebih membara, maka rujukannya adalah kitab “Al-Jarh wa Al-Ta'dil” karya Ibn Abi Hatim. Berbekalkan penilaian global ini mereka kemudian menilai hadits-hadits yang diriwayatkan perawi tersebut, jika dia tsiqah maka haditsnya shahih, jika dhaif maka haditsnya dhaif, jika shaduq atau hasan al-hadits maka haditsnya hasan, dan seterusnya. Jadi pada fase pasca riwayah ini, penilaian terhadap perawi menentukan nilai sebuah hadits yang diriwayatkan. Konsekwensinya, kita seolah dipahamkan bahwa seorang tsiqah tidak mungkin keliru sehingga haditsnya dhaif, dan seorang dhaif tidak pernah benar sehingga haditsnya dinilai shahih.
Perbedaan paradigma ini menimbulkan masalah ketika para ulama mutaqaddimin menilai keliru sebuah hadits yang diriwayatkan perawi tsiqah, sementara ulama mutaakhirin dan kontemporer yang tidak mampu memahami kedalaman analisa mereka menolak penilaian tersebut. Ambil contoh riwayat Syu'bah bin Al-Hajjaj (seorang imam yang sangat tsiqah hingga digelari amir al-mu'minin fi al-hadits) dari Malik bin 'Urfuthah dari Abd Khair dari Ali bin Abi Thalib yang menceritakan tata cara wudhu Rasulullah Saw. Semua pakar hadits mutaqaddimin - seperti Imam Ahmad, Al-Bukhari, An-Nasai, Al-Tirmidzi, Abdullah bin Ahmad, Al-Bazzar, Ibn Hibban, Al-Hakim dan lain-lain- sepakat bahwa Syu'bah keliru dalam menyebut nama gurunya, yang benar adalah Khalid bin 'Alqamah bukan Malik bin 'Urfuthah. Alasan mereka, Za’idah bin qudamah dan lain-lain meriwayatkan hadits ini dari Khalid bin 'Alqamah.[33] Boleh jadi Syu'bah keliru membaca nama ini sebab tulisan tangan berbahasa Arab untuk Khalid bin 'Alqamah sangat mirip dengan Malik bin Urfuthah. Namun Syeikh Ahmad Syakir (semoga Allah merahmatinya) tidak setuju mengatakan Syu'bah keliru dan bersikeras menshahihkan jalur riwayat tersebut dengan alasan “Syu'bah tsiqah.”[34]
Begitu juga hadits riwayat Habib bin Abi Tsabit dari 'Urwah dari Aisyah bahwa Nabi Saw mencium salah seorang istrinya lalu keluar untuk shalat tanpa berwudhu'.[35] Hadits ini didhaifkan oleh semua huffaz mutaqaddimin - antara lain Sufyan Al-Tsauri, Yahya bin Sa'id Al-Qathan, Yahya bin Ma'in, 'Ali bin Al-Madini, Al-Syafi'i, Ahmad bin Hanbal, Abu Hatim, Al-Bukhari, Al-Tirmidzi, Abu Dawud, Abu Bakr Al-Naisaburi, Al-Daruquthni, Al-Baihaqi dan lain-lain – karena 'Urwah di dalam sanad ini adalah Al-Muzani, seorang perawi yang tidak dikenal, bukan 'Urwah bin Zubeir yang tsiqah.
Lagi pula riwayat ini tidak dikenal di hadits-hadits yang diriwayatkan oleh 'Urwah bin Zubeir (harus diingat bahwa ahli hadits telah mengumpulkan hadits-hadits 'Urwah dari 'Aisyah dalam dokumen tersendiri), yang ada hanya riwayatnya dari 'Aisyah “bahwa Nabi Saw mencium salah satu istrinya dalam keadaan puasa.” Jadi para ulama klasik ini menduga kuat telah terjadi kekeliruan dalam sanad yang diriwayatkan oleh Habib bin Abi Tsabit ini, yakni perawinya hendak meriwayatkan hukum puasa orang yang mencium istrinya, namun keliru sehingga berpindah ke hukum wudhu.[36]
Namun ulama mutaakhirin menyanggah penilaian tersebut mulai dari Ibn Al-Turkmani (w. 745 H) dan Al-Zaila'i (w. H) hingga Syeikh Ahmad Syakir dan Syeikh Nashiruddin Al-Albani (semoga Allah merahmati mereka semua).[37] Bermodalkan penilaian bahwa Habib bin Abi Tsabit tsiqah dan ia hidup semasa dengan 'Urwah bin Zubeir, jadi sesuai dengan “mazhab Muslim” riwayatnya dinyatakan bersambung [38] (padahal tidak ada pernyataan dari Imam Muslim yang menshahihkan hadits ini). Oleh karena itu mereka menilai bahwa sanad ini shahih.
Perselisihan yang terjadi antara kubu mutaqaddimin dan al-mutaakhiirin (kontemporer) ini ternyata tidak sebatas perbedaan ijtihad, namun kita dapat menemukan indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa sebagian dari tokoh-tokoh mutaakhirin dan kontemporer menyimpan prasangka buruk yang lahir akibat persepsi tertentu. Syeikh Ahmad Syakir, dalam komentarnya terhadap hadits Habib bin Abi Tsabit di atas, menuduh bahwa para ahli hadits mutaqaddimin yang menolak hadits ini membangun penilaian dhaifnya atas dasar fanatisme mazhab. Sebuah tuduhan tak mendasar yang patut disesalkan, namun sayangnya kerap diulangi oleh ulama-ulama kontemporer.
Tuduhan serupa diajukan oleh Syeikh Ahmad Al-Ghumari (ulama hadits juga “mujtahid” seperti Syeikh Ahmad Syakir yang hidup semasa dengannya) kepada Yahya bin Ma'in ketika pakar hadits dari masa riwayah ini mendhaifkan hadits riwayat Nu'aim bin Hammad dari 'Isa bin Yunus dari Huraiz bin 'Utsman dari Abdurahman bin Jubair bin Muth'im dari bapaknya dari 'Auf bin Malik bahwa Nabi Saw bersabda, “Umatku akan terpecah menjadi lebih dari tujuh puluh golongan. Kelompok terburuk dari mereka adalah orang-orang yang meng-qiyas dengan pendapat sendiri, sehingga mereka mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.”[39] Al-Ghumari menuduh penilaian Ibn Ma'in didasari oleh fanatiknya kepada mazhab Hanafi karena semua perawi hadits ini tsiqah.[40] Padahal hadits ini di-dhaif-kan juga oleh Imam Ahmad, Al-Bazzar, Ibn 'Adi, Al-Baihaqi, Ibn Abd Al-Barr, dan Al-Dzahabi. Tidak mungkin semua ulama yang berbeda-beda haluan mazhabnya ini fanatik kepada Abu Hanifah.
Fakta yang sebenarnya adalah mereka menilai hadits ini munkar karena “tidak ada yang meriwayatkan dari 'Isa bin Yunus selain Nu'aim bin Hammad.”[41] Kesendirian (tafarrud) ini menjadi indikasi kekeliruan Nu'aim bin Hammad, walaupun dia tsiqah, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Adapun mutaba'ah (dukungan riwayat) untuk Nu'aim bin Hammad yang disebutkan oleh Al-Ghumari, semuanya tidak menghapus kemunkaran hadits tersebut sebab perawi-perawinya dhaif dan terkenal sering mencuri riwayat. Oleh karena itu Al-Baihaqi mengatakan bahwa perawi-perawi yang dikatakan Al-Ghumari mendukung riwayat Nu'aim bin Hammad ini sebenarnya mendengar hadits itu dari Nua'im lalu mencurinya.[42] Hemat saya, kegagalan Al-Ghumari memahami metode mutaqaddimin ini lebih patut disalahkan, daripada mengkhayalkan fanatisme yang tak pernah wujud itu.
Setiap perselisihan yang terjadi antara dua kubu ini, kita akan selalu melihat bahwa kubu mutaqaddimin adalah kubu yang paling teliti menilai hadits. Penilaian mereka sangat mendalam dengan memperhatikan berbagai informasi yang dapat mendukung penilaian tersebut. Ahli hadits mutaqaddimin misalnya sepakat bahwa Ma'mar bin Rasyid, seorang murid Az-Zuhri asal Basrah dan menetap di Yaman, sering keliru ketika meriwayatkan hadits di Basrah. Itu karena ketika imam yang terkenal tsiqat ini datang ke Basrah untuk mengunjungi ibunya, ia tidak membawa serta buku-bukunya. Imam Ahmad dan Ya'qub bin Syaibah berkata, “Riwayat ahli Basrah dari Ma'mar semua keliru, sebab ia tidak membawa buku-bukunya.”[43] Salah satu “hadits-hadits Basrah” itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abdul Wahid bin Ziyad dan ahli Basrah lainnya dari Ma'mar dari Az-Zuhri dari Sa'id bin Al-Musayyab berkata: Ali bin Abi Thalib berkata, “Ketika aku memandikan Nabi Saw, aku mencari tanda-tanda kematiannya, tapi aku tidak menemukan (tanda-tanda tersebut). Beliau tetap wangi ketika hidup dan matinya.”[44] Hadits ini diriwayatkan oleh murid-murid Ma'mar di Yaman dengan sanad yang sama hingga ke Ibn Al-Musayyab berkata, “Ali bin Abi Thalib mencari tanda-tanda kematian Rasulullah ketika ia memandikan beliau, namun tidak menemukannya.” Seperti ini juga hadits ini diriwayatkan oleh Al-Awza'i, Shalih bin Kisan dan murid-murid Az-Zuhri lainnya dari Az-Zuhri. Jadi hadits ini mursal sebab Said bin Al-Musayyab belum lahir ketika Sayyidina Ali memandikan Nabi Saw, dan ia juga tidak menyebutkan nama orang yang memberitahukannya. Al-Daruquthni berkata, “Riwayat mursal lebih benar.”[45] Al-Dzahabi, seorang ulama mutaakhirin ketika menyanggah penilaian Al-Hakim, menyetujui ucapan Al-Daruquthni dan berkata, “Hadits ini (sanadnya) terputus.”[46]
Namun Syeikh Al-Albani (semoga Allah merahmatinya) menolak ucapan Al-Dzahabi yang sejalan dengan ahli hadits mutaqaddimin ini dengan berkata, “Ucapan ini tidak berdasar, sebab hadits ini riwayat Ma'mar dari Az-Zuhri dari Sa'id bin Al-Musayab dari 'Ali. Ini sanad yang bersambung, masing-masing perawinya terkenal mendengar dari yang lain. Adapun riwayat Ma'mar dari Az-Zuhri, dan riwayat Az-Zuhri dari Sa'id tidak perlu dipertanyakan lagi. Sementara riwayat Sa'id dari 'Ali maka (sanad ini) bersambung pula, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Hafiz (Ibn Hajar) di Tahzib. Bahkan ia menyebutkan bahwa ia mendengar dari 'Umar (bin Al-Khattab) juga.”[47] Perhatikan analisa dangkal dalam menganalisa hadits ini. Jelas sekali bahwa tugas menilai hadits memerlukan pemahaman, hafalan dan kajian yang mendalam sebagaimana yang diucapkan oleh Imam Al-Hakim.
d. Penutup
Ilmu mushthalah hadits idealnya adalah sebuah ilmu yang menjelaskan metode ahli hadits sebagaimana yang ditampilkan oleh ulama mutaqaddimin dalam praktek ilmiah mereka mengkaji dan menilai riwayat. Oleh karena itu, sikap yang harus ditampilkan oleh generasi pasca riwayah adalah belajar dari ahli hadits masa riwayah dengan memahami dengan benar dan mendalam setiap perkataan dan metode mereka, bukan menghakimi dan menentang, apalagi menyalahkan. Anehnya, sebagian besar tokoh-tokoh kontemporer yang sering kita jumpai menentang ulama-ulama hadits mutaqaddimin itu adalah para aktivis yang sangat giat mengajak kembali ke mazhab salaf. Siapakah salaf yang dimaksud jika bukan ulama-ulama mutaqaddimin itu?
Sebesar apapun upaya yang dikerahkan ulama mutaakhirin, apalagi kontemporer, untuk menilai sebuah riwayat tidak akan menyamai ketelitian metode yang diterapkan oleh ahli hadits mutaqaddimin. Hal ini ditegaskan oleh Imam Al-Dzahabi, seorang pakar hadits yang diakui oleh Ibn Hajar telah melakukan penelitian sempurna terhadap semua perawi hadits, ketika berkata, “Wahai syeikh, sayangi dirimu dan insyaflah. Janganlah kamu memandang para huffaz itu dengan pandangan remeh dan menghina. Dan jangan pula kamu mengira bahwa mereka sama dengan ahli-ahli hadits di masa kita ini. Tidak, tidak ada seorangpun tokoh-tokoh hadits di masa kita ini yang mencapai pengetahuan mereka (dalam hadits). Saya mengira -melihat dari besarnya hawa nafsumu- bahwa seolah kamu berkata, siapa Ahmad? Siapa Ibn Al-Madini? Siapa Abu Zur'ah dan Abu Dawud? Diamlah dengan bijak atau bicaralah dengan ilmu…”[48]
Dengan demikian, harus ada upaya sistematik dari para peminat kajian hadits kontemporer untuk memfokuskan studi dan riset mereka kepada upaya menggali dan menyingkap serta memahami dengan lebih mendalam metode ahli hadits mutaqaddimin agar tercipta konsepsi dan perspektif yang jitu dalam mengkaji hadits Nabi Saw. Bagaimanapun, kesalahan sekecil apapun yang terjadi ketika menilai sebuah hadits akan mempengaruhi penampilan dan wajah Islam di mata dunia, belum lagi pengaruhnya di keberagamaan masyarakat yang mempunyai implikasi serius di kehidupan akhirat mereka kelak. Wallahu A'lam.
________________________________________
[1] Pembagian fase riwayah dan pasca riwayah, lalu pembagian ahli hadits menjadi Al-Mutaqaddimin dan Al-Mutaakhirin ditegaskan oleh Dr Hamzah Al-Malyabari dalam buku-bukunya seperti Al-Muwazanah baina al-Mutaqaddimin wa Al-Mutaakhirin fi Ta'lil Al-Ahaadits wa Tashhihiha (Dar Ibn Hazm, Beirut, cet. Kedua, 2001). Di Damaskus, pembagian ini ditegaskan juga oleh guru hadits muda yang sangat cemerlang: guru saya Fadhilah Syeikh Riyadh bin Muhammad Salim Al-Khiraqi.
[2] Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Sanad adalah bagian dari agama. Tanpa sanad, setiap orang bisa berbicara sembarang keinginannya.” Sufyan Al-Tsauri berkata, “Sanad adalah senjata muslim.” “Shahih Muslim” (Dar Al-Salam, Riyadh, 1998) hal. 12.
[3] “Kitab Al-Majruhiin min al-Muhadditsin” (tahqiq Hamdi Al-Silafi, Dar Al-Shamai'i, Riyadh, cet. Pertama, 2000 ) 1/54-55.
[4] “Manaqib Al-Syafi'i” (tahqiq Al-Sayyid Ahmad Shaqr, Maktabah Dar Al-Turats, Cairo) 2/321.
[5] “'Ulum Al-Hadits” atau “Muqaddimah” Ibn Al-Shalah (tahqiq Dr Nuruddin 'Itr, Dar Al-Fikr, Damaskus, cet. Ketiga, 2002) hal. 17.
[6] “Siyar A'lam An-Nubala”, Muhammad bin Ahmad Al-Dzahabi, (tahqiq Syeikh Syuaib al-Arnauth, Muassah Al-Risalah, Beirut, cet. kesebelas, 1996) 7/431.
[7] “'Ulum Al-Hadits” Ibn Al-Shalah hal. 91.
[8] Sementara itu, kedua “istilah” ini dibedakan dengan sangat teliti oleh mutaakhirin. Mursal adalah keterputusan yang terjadi di akhir sanad, dan munqathi adalah keterputusan yang terjadi di tengah sanad.
[9] Mutaakhirin mendefiniskan munkar sebagai sebuah hadits yang diriwayatkan seorang perawi yang dinilai dhaif dan bertentangan dengan riwayat perawi lain yang dinilai lebih tsiqah darinya. Lihat “Syarh An-Nukhbah” (tahqiq Dr Nuruddin 'Itr, cet. ketiga, 2000) hal.
[10] Silahkan koleksi dan analisa kalimat munkar yang diucapkan Abu Hatim dan Abu Zur'ah dalam kitab “'Ilal Al-Hadits”, begitu juga kalimat munkar di dalam “Al-Sunan” Abu Dawud dan “Al-Sunan” Al-Nasa'i, Anda akan dapati ratusan kasus yang tidak sejalan dengan konsep munkar versi mutaakhirin. Kita dapat menyimpulkan bahwa munkar menurut para pakar hadits mutaqaddimin ini adalah hadits-hadits yang diingkari karena berbagai sebab, antara lain karena sanadnya atau matannya keliru. Sementara itu, definisi munkar yang diajukan Al-Bardiji (seorang ulama mutaqadimin) sebagai “sebuah hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu orang (yanfaridu bihi al-rajul), dan matannya tidak dikenal kecuali dari riwayat orang ini,” (muqaddimah Ibn Shalah hal. 80), ucapan ini lebih tepat dipahami sebagai pengungkapan salah satu aspek yang melahirkan pengingkaran ahli hadits, tanpa harus menutup aspek-aspek lainnya, daripada dilihat sebagai sebuah pembatasan yang mencegah masuknya sebab-sebab pengingkaran yang lain.
Ketika Imam Ibn Hajar mendefinisikan munkar dengan “perawi dhaif yang menyalahi perawi tsiqah” (Syarh An-Nukhbah hal. 73), Qasim Quthlubugha, murid cemerlang Ibn Hajar, tidak setuju dan membuktikan bahwa definisi gurunya ini tidak sejalan dengan praktek ahli hadits dengan menyebutkan contoh-contoh penggunaan kalimat ini di buku-buku hadits. Ia lalu berkesimpulan, “Agaknya ma'ruf dan munkar bukan bagian hadits tersendiri, melainkan sekedar kata-kata yang digunakan untuk melemahkan sebuah riwayat. Akan tetapi penulis (Ibn Hajar) menjadikan keduanya bagian hadits-hadits tertentu sehingga tidak sejalan dengan praktek ilmiah ahli hadits.” Hasyiah 'ala Matn An-Nukhbah hal. 68.
[11] Terkadang seorang pakar yang mumpuni dapat meyakini telah terjadi kekeliruan di dalam hadits yang dianggap ganjil meski belum mengetahui sebab kesalahannya seperti ucapan Abu Hatim ketika ditanya tentang sebuah hadits, “Kami menganggap ganjil (kunna nastaghribu) hadits ini, meski kami tidak tahu 'illah-nya kami yakin bahwa (hadits) ini keliru...” “'Ilal Al-Hadits” Abdurahman bin Abi Hatim (Dar Al-Ma'rifah, Beirut, 1985) 2/151 (1946).
[12] “'Ilal Al-Hadits” 1/377 (1122).
[13] Andai hadits 'Ikrimah bin Khalid tadi tidak keliru, Abu Hatim akan menilainya dengan “hasan shahih” sebagaimana penilaiannya untuk hadits riwayat Zaid bin Waqid dari Mughits bin Sumayy dari Abdullah bin 'Amr berkata: Mereka (para sahabat Nabi Saw) bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa manusia terbaik? Beliau menjawab, “Orang yang hatinya selalu bersedih dan lisannya selalu jujur.” Abu Hatim berkata, “Hadits ini shahih hasan. Zaid jujur (mahalluhu al-shidq) dan konon bermazhab qadariah. “'Ilal Al-Hadits” 2/127 no. (1873).
[14] “Al-Jami' li Akhlaq Ar-Rawi wa Adab As-Sami'“ Al-Khatib Al-Baghdadi (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut, cet. kedua, 2003) hal. 296.
[15] “'Ilal Al-Hadits” 1/92 no. (248).
[16] Gharib menurut Ibn Hajar adalah hadits yang hanya diriwayatkan dengan satu jalur saja. Hasan adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang hafalannya tidak mencapai derajat perawi shahih.
[17] “Syarh An-Nukhbah” hal. 47.
[18] “Ma'rifah 'Ulum Al-Hadits” Al-Hakim Al-Naisaburi (tahqiq Sayid Mu'zham Husain, Maktabah Al-Mutanabbi, Cairo) hal. 59-60. Ucapan ini menegaskan bahwa setiap hadits yang tidak tercantum di dalam As-Shahihain harus diperiksa dengan ekstra hati-hati. Al-Bukhari dan Muslim memang tidak mengumpulkan semua hadits shahih, namun kemungkinan bahwa keduanya meninggalkan sebuah hadits dengan sengaja karena terdapat 'illah tersembunyi di dalam hadits itu sangat besar. Ucapan ini disetujui oleh Ibn Abd Al-Bar sebagaimana yang dikutip oleh Ibn Hajr di “An-Nukat 'ala Kitab Ibn Al-Shalah” (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut) hal. 85. Oleh karena itu, setiap orang yang hendak menilai sebuah hadits harus takut kepada Allah dan benar-benar berhati-hati, apalagi penilaiannya terhadap hadits itu akan menentukan wajah agama Islam. Konon Imam Al-Bukhari sendiri setiap kali hendak mencantumkan sebuah hadits di dalam kitab “Shahih”-nya melakukan shalat dua rakaat terlebih dahulu.
[19] “Al-Risalah” Muhammad bin Idris Al-Syafi'i (tahqiq Syeikh Ahmad Syakir, Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut) hal. 370-371.
[20] “Ma'rifah As-Sunan wa Al-Atsar” Al-Baihaqi (tahqiq Dr Abdul Mu'thi Qal'aji, Dar Al-Qutaybah, DAmaskus, 1991) 1/133.
[21] Referensi yang sama 14/314.
[22] Lihat perdebatan tentang hal ini misalnya di “Al-Kifayah” Al-Khatib Al-Baghdadi (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut) hal. 96, “'Ulum Al-Hadits” Ibn Al-Shalah hal. 109, “At-Taqyid wa l-Idhah” Al-Iraqi (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut, 1999) hal. 117.
[23] “Al-Risalah” hal. 382.
[24] “Kitab Al-Majruhin” 1/413.
[25] Diriwayatkan oleh Abu Dawud (tahqiq Muhyiddin Abdul Hamid, Dar Al-Kitab Al-Arabi, Beirut) no. (1817), Al-Tirmidzi (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut) no. (919), dan Al-Baihaqi di “Ma'rifat Al-Sunan wa Al-Atsar” 7/268.
[26] Diriwayatkan oleh Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani di “Al-Hujjah 'ala Ahl Al-Madinah” 2/86, Al-Syafii di “Musnad” (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut) hal. 126, Ibn Abi Syaibah di “Al-Mushannaf” (tahqiq Kamal Yusuf Al-Hut, Maktanah Al-Rusyd, Riyadh, 1409 H) no. (14004), Abu Dawud no. (1817), dan Al-Baihaqi di “Ma'rifat Al-Sunan wa Al-Atsar” 7/268.
[27] “Ma'rifat Al-Sunan wa Al-Atsar” 7/268.
[28] Lihat penilaian ahli hadits di “Mizan Al-I'tidal” (Dar-Fikr, Beirut, 1999) 3/587 (8284).
[29] “Kitab Al-Majruhin” 2/10. Saya berharap ada mahasiswa jurusan hadits yang cukup rajin menerapkan logika ini untuk memeriksa semua riwayat tokoh-tokoh Syiah -seperti Zurarah bin A'yan , Jamil Al-Darraj dan lain-lain- dari Imam Ja'far Al-Shadiq dan bapaknya Muhammad Al-Baqir (semoga Allah merahmati keduanya), sehingga dapat membuktikan sendiri mengapa ahli hadits menolak sebagian besar, jika bukan semua, riwayat mereka dari kedua cucu Nabi Saw ini.
[30] “Manaqib Asy-Syafii” 1/491.
[31] “Syarh 'Ilal Al-Tirmidzi” Ibn Rajab Al-Hanbali (tahqiq Dr Nuruddin 'Itr, Dar Al-'Atha, cet. keempat, 2001) 1/161.
[32] Waliyuddin Al-'Iraqi menulis sebuah buku berjudul “Al-Bayan wa Al-Tawdhih” untuk menyebutkan nama-nama perawi yang diriwayatkan haditsnya oleh Al-Bukhari dan Muslim namun dinilai dhaif oleh ahli hadits.
[33] Lihat “Al-'Ilal wa Ma'rifat al-Rijal” Imam Ahmad (Al-Maktab Al-Islami, Beirut, 1988) no. (1210), “Sunan Al-Mujtaba” An-Nasa'i no. (93), “Sunan Al-Tirmidzi” 1/69, “Al-Bahr Al-Zakhar” atau Musnad Al-Bazzar (Muassah 'Ulum Al-Qur'an, Beirut, 1988) 2/474 no. (718), “Ma'rifat 'Ulum Al-Hadits” Al-Hakim hal. 149.
[34] Lihat komentar Syeikh Ahmad Syakir di catatan kaki “Al-Jami' Al-Shahih” Al-Tirmidzi (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut) 1/69.
[35] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di “Musnad” (tahqiq Syeikh Syu'aib Al-Arnauth, Muassasah Al-Risalah, Beirut) 6/210, Abu Dawud (179), Al-Tirmidzi (86), Ibn Majah (Tahqiq Fuad Abul Baqi, Dar Al-Rayyan) no. (502), Al-Daruquthni (Dar Al-Ma'rifah, Beirut, 2001) no. (487) (488), Al-Baihaqi di “Al-Sunan Al-Kubra” (Dar Al-Ma'rifah, Beirut) 1/126.
[36] Kekhawatiran ini dinyatakan oleh Imam Syafii, Ahmad, Al-Tirmidzi dan Abu Bakr Al-Naisaburi . Semua riwayat-riwayat yang serupa dengan hadits ini hingga ke 'Aisyah sanadnya bermasalah. Imam Al-Baihaqi mendhaifkan semua sanad itu di dalam kitab “Al-Khilafiyat”.
[37] Lihat “Al-Jawhar An-Naqiy” (dicetak di pinggir kitab “Al-Sunan Al-Baihaqi”) 1/124, “Nashb Al-Rayah” (Dar Ihya Al-Turats Al-'Arabi, Beirut, cet. ketiga, 1987) 1/37-39, “Al-Jami' Al-Shahih” tahqiq Syeikh Ahmad Syakir 1/134-140 dan “Al-Misykat” karya Al-Albani hal. 1/105.
[38] Kita akan mendiskusikan mazhab Imam Muslim yang sebenarnya di kesempatan lain, insya Allah.
[39] Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar di “Al-Bahr Al-Zakhar” 7/219 (2390), Al-Thabarani di “Al-Mu'jam Al-Kabir” (tahqiq Syeikh Hamdi Al-Salafi, Maktabah Ibn Taimiah, Cairo) 12/145 (14157) dan di “Musnad Al-Syamiyyin” (tahqiq Syeikh Hamdi Al-Salafi, Muassasah Al-Risalah, Beirut, 1989) 2/143 no. (1072), Ibn 'Adi di “Al-Kamil” (Dar Al-Fikr, Beirut) 7/17 dan dishahihkan oleh al-Hakim di “Al-Mustadrak” (tahqiq Dr Mahmud Matharji, Dar Al-Fikr, Beirut, 2002) no. (8496).
[40] “Al-Ajwibah Al-Sharifah” Ahmad bin Muhammad Al-Ghumari (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut, cet. pertama, 2002) hal. 76.
[41] Lihat “Al-Bahr Al-Zakhar” 7/219, “Al-Madkhal ila As-Sunan Al-Kubra” 1/151, “Jami' Bayan Al-'Ilm” 2/163.
[42] “Al-Madkhal ila As-Sunan Al-Kubra” 1/151.
[43] Lihat “Syarh 'Ilal Al-Tirmidzi” 2/602-603.
[44] Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar di “Al-Bahr Al-Zakhar” (486), Al-Hakim di “Al-Mustadrak” (1370), Al-Baihaqi di “Al-Sunan Al-Kubra” 3/388.
[45] “'Ilal Al-Daruquthni” (tahqiq Mahfuz Al-Rahman Zain Al-Salafi, Dar Al-Thaibah, Riyadh, 1999) 3/219 no. (371).
[46] “Talkhish Al-Mustadrak” (dicetak di pinggir kitab “Al-Mustadrak”) 1/472.
[47] “Ahkam Al-Janaiz wa Bida'uha” (Maktabah Al-Ma'arif, Riyadh, 1992) hal. 68.
[48] “Tazkirah Al-Huffaz” Muhammad bin Ahmad Al-Dzahabi, (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut) hal. 726.
Tulisan ini berusaha menampilkan sebagian dari fenomena tersebut sebagai pendahuluan untuk diskusi kita dalam mengkaji metode Imam Al-Tirmidzi di dalam kitab Sunan-nya. Apa yang saya tulis di bawah ini tidak bertendensi untuk mengecilkan peranan ulama atau tokoh tertentu. Problematika serius yang sedang dihadapi umat jauh lebih penting untuk dicari solusinya daripada membuang sia-sia energi kita untuk mendengki dan mencaci saudara sendiri.
Pendahuluan: Mutaqaddimin dan Mutaakhirin
Sejarah panjang ilmu kritik hadits sejak lahirnya hingga sekarang bisa dibagi menjadi dua fase (marhalah) besar.[1] Fase pertama disebut dengan masa riwayah. Setiap hadits pada masa ini diriwayatkan dengan sanad tersendiri yang menghubungkan penuturnya dengan pemilik perkataan tersebut (Nabi Saw, sahabat, atau tabiin) dengan untaian nama-nama perawi yang disebut sanad. Di masa yang berakhir kira-kira abad keempat/kelima hijriah ini, sanad merupakan tulang punggung yang menentukan validitas sebuah riwayat sehingga menjadi bagian penting dari agama.[2] Buku-buku yang ditulis di masa inipun sarat dengan sanad-sanad yang menghubungkan para pengarang buku dengan sumber referensinya. Hal ini kita bisa temukan misalnya pada Muwattha Imam Malik (w. 179), buku-buku Imam Asy-Syafii (w. 204 H) dan Imam Ahmad (w. 224 H), Al-Bukhari (w. 256 H), Muslim (w. 261 H), dan buku-buku lain yang ditulis hingga masa Al-Daruquthni (w. 385 H).
Urgensi sanad pada masa ini melahirkan perhatian dan upaya luar biasa yang dicurahkan ulama hadits untuk mengoleksi dan memverifikasi setiap riwayat dengan seksama demi memastikan tertutupnya semua celah yang memungkinkan penyusupan unsur asing yang dapat mengeruhkan kejernihan ajaran Islam. Upaya ini membuahkan keyakinan ilmiah di hati setiap muslim, pada saat itu hingga saat ini, bahwa Islam dengan semua aspek akidah, syariah dan etikanya tetap terjaga kemurniannya meski telah melalui ribuan tahun sejak wafat Rasulullah Saw. Ibn Hibban (w. 354 H) dengan sangat indah menjelaskan upaya luar biasa ahli hadits ini dengan berkata, “…Andai salah seorang dari ulama itu ditanya berapa jumlah huruf dalam setiap hadits niscaya dia mampu menghitungnya. Dan andai seorang perawi menambahkan alif atau wau ke dalam sebuah hadits, mereka akan menyingkapnya dengan mudah dan menjelaskannya dengan ikhlas. Tanpa mereka, atsar pasti punah dan hadits pasti hilang, dan niscaya ajaran sesat akan menyebar dan ahli bid'ah akan meraja lela.”[3] Al-Baihaqi (w. 458 H) menambahkan bahwa upaya pengumpulan hadits di masa riwayah ini telah sempurna, “maka barangsiapa pada hari ini meriwayatkan hadits yang tidak terdapat di (dalam buku-buku karangan) mereka maka hadits itu tidak dapat diterima.”[4]
Fase kedua dinamakan dengan masa pasca riwayah. Pada fase yang terbentang sejak berakhirnya fase riwayah hingga sekarang ini, hadits-hadits telah terkumpul di dalam kitab-kitab sunnah yang sangat masyhur hasil upaya keras para ulama di fase sebelumnya. Oleh karena itu, perhatian ahli hadits pada saat ini beralih dari koleksi riwayat kepada upaya memelihara warisan ilmiah itu dengan teliti agar tidak terjadi kekeliruan membaca (tashhif dan tahrif) yang dapat mereduksi makna. Sanad tidak lagi urgen, minimal tidak sepenting pada masa riwayah, dan disampaikan hanya sekedar untuk melestarikan keistimewaan umat islam yang tidak dimiliki oleh umat lain itu.[5] Pada fase ini juga, bermunculan buku-buku khusus yang menjelaskan secara seksama teori seleksi riwayat dan menafsirkan makna istilah-istilah teknis yang digunakan oleh ahli hadits dalam praktek ilmiah mereka. Buku 'Ulum Al-Hadits (dikenal juga dengan nama Muqaddimah) karya Ibn Al-Shalah (w. 643 H) tampil menjadi rujukan terpenting sebelum kemudian karya Ibn Hajar (w. 852 H), Nukhbat Al-Fikar dan Syarh-nya, merebut posisi bergengsi itu beberapa abad kemudian.
Peralihan dari fase riwayah kepada fase pasca riwayah membawa implikasi yang tidak sedikit, jelas sekali bahwa peralihan tersebut lebih tepat disebut sebagai sebuah perpindahan dari masa keemasan ilmu hadits kepada masa kemundurannya. Memang tidak semua ulama mutaakhirin (pasca riwayah) berjalan bersama arus ini, sebagian mereka, seperti Ibn Abd Al-Hadi (w. 744 H) dan Ibn Rajab (w. 795 H), sangat dekat analisanya dengan metode mutaqaddimin (ulama masa riwayah). Namun fenomena umum masa pasca riwayah ini mengindikasikan terjadinya distorsi di dalam ilmu hadits terlihat dari kajian-kajian hadits yang terkonsentrasi kepada perdebatan yang sangat teoritis dan terlepas sama sekali dari tataran praktisnya. Belum lagi fenomena pembalikan paradigma yang sangat berpengaruh dalam pendangkalan ilmu hadits sebagaimana yang akan dipaparkan di bawah ini.
a. Dari riwayah ke dirayah
Setiap santri hadits pada fase riwayah memulai studinya dengan mendatangi majlis seorang syeikh di kotanya, lalu mendengar dan mencatat hadits-hadits yang diriwayatkan sambil menghafal dan mengenali perawi-perawi yang namanya tercantum di dalam sanad. Semakin banyak jumlah hadits yang ia kumpulkan semakin besar peluangnya untuk mengkaji hadits dengan lebih baik, oleh karena itu al-rihlah fi thalab al-'ilm (belajar ke luar negeri) sangat dianjurkan bahkan sebuah keharusan. Al-Khalil bin Ahmad (w. 160 H) berkata, “Seseorang tidak mengetahui kekeliruan gurunya sebelum ia belajar dari orang lain.”[6] Ali bin Al-Madini (w. 234 H) berkata, “Sebuah hadits jika tidak dikumpulkan semua jalur periwayatannya tidak akan diketahui illah-nya.”[7] Praktek riwayah ini akan membuat pelajar hadits itu mengerti dengan sendirinya sifat-sifat hadits yang harus diterima atau ditolak serta memahami istilah-istilah ilmiah yang digunakan ahli hadits. Singkat kata, pada fase ini praktek riwayah membawa kepada pemahaman dirayah.
Karena berangkat dari praktek ke teori, sifat ilmu hadits pada fase riwayah sangat induktif, aplikatif dan tidak bertendensi mendefinisikan istilah. Bahkan apa yang kemudian dianggap istilah oleh ulama mutaakhirin (seperti hasan, munkar, ma'ruf, mahfuz, 'aziz, gharib, syaz, ma'lul dan lain-lain) serta didefinisikan dengan batasan-batasan tertentu, pada fase ini “istilah-istilah ilmiah” tersebut lebih dekat untuk dimaknai secara bahasa. Oleh karena itu, jika kita perhatikan dengan seksama hampir tidak ada perbedaan makna di kalangan ulama fase riwayah, atau mutaqaddimin, antara mursal dan munqathi', sebab kedua kata ini sama-sama menunjukkan “keterputusan” (makna bahasa bagi mursal dan munqathi') yang terdapat di dalam sebuah sanad.[8]
Perhatikan juga penggunaan “istilah” munkar oleh dua orang pakar hadits kenamaan di masa riwayah, Abu Zur'ah (w. 264 H) dan Abu Hatim (w. 277 H), yang lebih dekat kepada makna harfiahnya, yaitu “sesuatu yang tidak dikenal sehingga melahirkan pengingkaran” daripada harus dibatasi dengan definisi tertentu.[9] Dengan kata lain, kata munkar di praktek ahli hadits mutaqaddimin menunjukkan keganjilan dan kekeliruan yang terdapat di dalam suatu riwayat.[10]
Seperti kata gharib dan hasan, makna munkar ini akan lebih jelas kita pahami setelah mengetahui karakter penulisan dan koleksi hadits fase riwayah yang sangat mirip dengan metode pengarsipan modern. Semua hadits-hadits yang diriwayatkan oleh 'Ubaidullah bin 'Umar dari Nafi' misalnya mereka jadikan file tersendiri yang terpisah dari hadits-hadits riwayat 'Abdullah bin 'Umar dari Nafi'. 'Ubaidullah (عبيد الله) tsiqah sementara Abdullah (عبد الله) dhaif, dan perbedaan keduanya di dalam penulisan hanya huruf ya. Jika seseorang keliru hafalan atau bacaannya sehingga menyebutkan sebuah hadits yang seharusnya diriwayatkan oleh Abdullah bin 'Umar, menjadi riwayat 'Ubaidullah bin Umar, sehingga hadits yang sebenarnya dhaif menjadi shahih, seorang pakar hadits yang teliti akan mempertanyakan riwayat tersebut dengan mengatakan, “Hadits ini ganjil (gharib).” Sebagaimana mereka meng-gharib-kan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh hanya satu orang dari 'Ubaidullah dari Nafi' tanpa ada orang lain yang mendukung riwayatnya.
Keganjilan itu berubah menjadi pengingkaran jika ditemukan indikasi (qarinah) yang menunjukkan telah terjadi kekeliruan dalam membaca nama (tashhif) misalnya. Kata-kata pengingkaran itu bahkan berubah menjadi lebih keras seperti keliru (khatha') atau salah (wahm).[11] Namun jika tidak ada indikasi yang menunjukkan kekeliruan, ditambah lagi orang yang meriwayatkan sanad itu jarang melakukan kesalahan, pelan-pelan pengganjilan itu berubah menjadi penerimaan, bahkan riwayat ini dianggap bagus (hasan) karena keunikannya. Hal ini mirip dengan seorang kolektor barang seni yang menemukan sebuah karya seni bernilai tinggi yang belum pernah ia temukan sebelumnya. Jika setelah diteliti ternyata karya itu palsu, ia akan meng-ingkari-nya. Namun jika ternyata original, ia akan membanggakannya. Antara keganjilan dengan keunikan memang sangat dekat secara bahasa, dan perbedaan antara keduanya pun sangat tipis.
Perhatikan ucapan Abu Hatim mengomentari hadits riwayat Qatadah dan Hammad bin Salamah dari 'Ikrimah bin Khalid dari Ibn 'Umar bahwa Nabi Saw bersabda, “Barangsiapa membeli pohon kurma yang telah diserbuki, maka buahnya milik penjual”, ia berkata, “Semula saya menganggap bagus (astahsinu) hadits ini dari jalur ini hingga saya menemukan beberapa orang terpercaya meriwayatkannya dari 'Ikrimah bin Khalid dari Az-Zuhri dari Ibn 'Umar dari Nabi Saw. Ternyata hadits itu kembali lagi ke jalur Az-Zuhri dari Salim dari Ibn 'Umar.”[12]
Semula Abu Hatim meng-hasan-kan hadits 'Ikrimah bin Khalid dari Ibn 'Umar ini karena keunikannya. Matan hadits ini masyhur diriwayatkan oleh Az-Zuhri dari Salim dari Ibn 'Umar, oleh karena itu ketika menemukan hadits ini diriwayatkan oleh Ikrimah bin Khalid dari Ibn 'Umar dengan perawi-perawi terpercaya, Abu Hatim sangat bergembira karena menemukan sesuatu yang baru dengan sanad yang shahih. Tapi kegembiraan itu berubah menjadi kekecewaan segera setelah mengetahui bahwa ternyata 'Ikrimahpun meriwayatkannya dari Az-Zuhri. Abu Hatim berkata, “Ternyata hadits itu kembali lagi ke jalur Az-Zuhri dari Salim dari Ibn 'Umar.” Sebab sanad ini lumrah dan dimiliki semua orang, maka tidak ada lagi yang harus di-hasan-kan.[13]
Karena tipisnya pemisah antara hasan dan munkar, ahli hadits kadang menyebut hadits-hadits munkar dengan kata hasan. Ibrahim An-Nakha'i (w. 195 H) berkata, “Mereka (ulama sebelumnya) tidak suka, jika mereka bertemu, seseorang dari mereka menyebutkan hadits ter-hasan yang ia miliki.” Al-Khathib (w. 463 H) mengomentari ucapan ini, “Ibrahim bermaksud dengan hasan di sini adalah gharib, sebab gharib yang tidak dikenal lebih dianggap hasan daripada masyhur yang dikenal. Ahli hadits sering menggunakan ungkapan ini untuk hadits-hadits munkar. Oleh karena itu Syu'bah berkata (ketika ditanya: mengapa kamu enggan menulis hadits dari Abdul Malik bin Abi Sulaiman, padahal hadits-haditsnya hasan?), “Dari (hadits) hasan-ya itulah saya menghindar.”[14] Syu'bah juga berkata, “Ismail bin Raja seperti setan karena hadits-hadits hasan-nya.”[15]
Dengan penafsiran makna seperti di atas, silahkan mencerna ucapan Sulaiman Al-A'masy (w. 148 H), “Mereka (para ulama sebelumnya) membenci hadits dan ucapan yang gharib.” Dan ucapan Imam Malik (w. 179 H), “Ilmu terburuk adalah (ilmu) yang gharib, sedangkan ilmu yang terbaik adalah ilmu yang sangat jelas (karena) diriwayatkan banyak orang.” Abu Yusuf (w. 193 H) berkata, “Barangsiapa yang mencari hadits gharib, ia akan jatuh dalam kedustaan.” Imam Ahmad (w. 244 H) berkata, “Janganlah kamu menulis hadits-hadits yang gharib ini, sebab (hadits-hadits itu) munkar, dan kebanyakannya diriwayatkan oleh orang-orang lemah (dhu'afa).” Lalu bandingkan jika Anda memahami “istilah-istilah” tersebut dengan cara mutaakhirin.[16]
Sementara itu, di masa pasca riwayah seorang santri hadits diwajibkan menghafal kaidah-kaidah dan istilah-istilah ushul hadits terlebih dahulu sebelum terjun ke praktek mengumpulkan sanad. Setiap istilah teknis dihafalkan definisinya beserta contoh-contoh secukupnya sehingga terbentuk konsep final untuk setiap istilah tertentu yang sangat ketat dan tidak bisa diganggu gugat. Bahasan ilmu hadits pada fase ini bersifat deduktif, bertumpu kepada logika, berbaur dengan kaidah-kaidah fiqih dan terlalu teoritis sehingga kadang kehilangan landasan praktisnya. Perhatikan konsep 'Aziz Ibn Hajar (w. 852 H) di matan An-Nukhbah yang mengilustrasikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh dua orang perawi di setiap jenjang sanadnya. Konsep yang ia ajukan ini sangat sulit, bahkan tidak mungkin, ditemukan dukungan praktisnya di dunia riwayat. Menyadari kekurangan konsep ini dari segi praktisnya, Ibn Hajar merubahnya dengan “sebuah hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang tidak kurang dari dua orang dari dua orang (aqallu 'an itsnain 'an itsnain).”[17] Namun benarkah ahli hadits menggunakan istilah ‘aziz dengan makna yang diajukan Ibn Hajar? Masih memerlukan pembuktian lebih lanjut.
Dominasi kitab-kitab mushthalah di kajian-kajian hadits kontemporer bahkan telah mendangkalkan ilmu hadist sehingga membuatnya sangat mirip dengan ilmu hitung. Sebuah hadits dihukumkan shahih karena perawinya tsiqah, dihukumkan hasan karena perawinya shaduq atau hasan al-hadits, dan dhaif karena perawinya dhaif. Jika sebuah hadits didukung oleh mutaba'ah atau syahid, maka nilainya terangkat menjadi hasan atau shahih li ghairihi, begitu seterusnya. Praktek ini mengesankan mudahnya menilai sebuah hadits semudah menjumlah angka-angka. Siapapun dapat melakukannya segera setelah dia membaca buku-buku mushthalah. Padahal tugas ini di fase riwayah merupakan pekerjaan berat yang menuntut ketelitian yang sangat luar biasa sehingga Al-Hakim (w. 405 H) berkata, “Hadits shahih tidak bisa diketahui dengan hanya melihat riwayatnya saja, tetapi hanya bisa diketahui dengan pemahaman, hafalan dan sering mengkaji (hadits). Satu hal yang paling membantu mengetahui ilmu ini adalah dengan banyak ber-muzakarah (diskusi) dengan pakarnya agar tersingkap 'illah hadits tersebut. Maka jika ditemukan sebuah hadits dengan sanad shahih, namun tidak dicantumkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, maka ahli hadits harus bersungguh-sungguh mencari 'illah-nya dan mendiskusikannya dengan para pakar hadits.”[18]
Tentu saja sikap sembrono dalam menilai hadits ini sangat berbahaya mengingat pentingnya posisi hadits di dalam struktur akidah, syariah dan etika seorang muslim. Pandangan “cetek (dangkal)” ini membuka peluang sangat lebar bagi orang-orang yang menyimpan niat tertentu – seperti Mahmud Abu Rayyah dan para pengikutnya- untuk menggunakan kaidah-kaidah ilmu hadits versi mutaakhirin dan kontemporer ini untuk menyerang warisan ulama hadits sendiri. Orang-orang yang sebenarnya tidak mengerti hadits sama sekali ini berani berbicara tentang hadits, bahkan berpolemik dengan pakar hadits klasik dan mengkritik buku-buku referensi hadits dengan alasan “sebagaimana yang tercantum di buku-buku mushthalah”.
Dengan demikian, harus ada upaya sistematik dari para peminat kajian hadits kontemporer untuk memfokuskan studi dan riset mereka kepada upaya menggali dan menyingkap serta memahami dengan lebih mendalam metode ahli hadits mutaqaddimin agar tercipta konsepsi dan perspektif yang jitu dalam mengkaji hadits Nabi Saw. Bagaimanapun, kesalahan sekecil apapun yang terjadi ketika menilai sebuah hadits akan mempengaruhi penampilan dan wajah Islam di mata dunia, belum lagi pengaruhnya di keberagamaan masyarakat yang mempunyai implikasi serius di kehidupan akhirat mereka kelak. Wallahu A'lam.
b. Status Perawi ditentukan Riwayatnya
Telah menjadi kesepakatan ulama sejak masa sahabat hingga saat ini bahwa seorang perawi yang haditsnya dinyatakan valid (shahih) dan argumentatif (hujjah) harus memenuhi syarat-syarat kepribadian yang disebutkan pakar hadits dan fiqih abad ketiga hijriah Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Al-Syafi'i (w. 204 H) dalam kitab Al-Risalah, yaitu orang tersebut harus terpercaya keberagamaannya, terkenal jujur ucapannya, mengerti apa yang diriwayatkan, sadar akan kata-kata yang dapat merubah makna, menghafal haditsnya jika ia meriwayatkan dari hafalannya, menjaga catatannya jika ia meriwayatkan dari catatannya, tidak mudallis (meriwayatkan dari orang yang dijumpai hadits yang tidak didengar daripadanya) dan tidak menyalahi riwayat orang yang lebih terpercaya darinya.[19] Al-Baihaqi berkata, “Syarat-syarat yang disebutkan Asy-Syafii ini disepakati oleh semua ahli hadits.”[20] Para ulama kemudian menyimpulkan syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang perawi ini menjadi dua, yaitu 'adalah (kepribadian terpuji) dan dhabth (sistem dokumentasi yang akurat). Seorang perawi yang memenuhi dua syarat ini diberikan predikat tsiqah.
Secara umum, semua kaum muslimin tidak dipertanyakan kepribadiannya selama tingkah lakunya sejalan dengan aturan dan etika agama. Imam Al-Syafii berkata, “Tidak ada seorang pun yang mentaati perintah Allah sehingga tak pernah berdosa. Dan tidak ada pula yang bermaksiat sehingga tidak pernah mentaati Allah. Oleh karena itu, jika sebagian besar amal seseorang dihiasi dengan ketaatan maka ia dianggap berkepribadian terpuji ('adl).[21] Setiap orang, dengan demikian, mampu menilai kepribadian orang lain apakah ia layak disebut 'adl atau tidak, meski sebagian ahli hadits mensyaratkan kesaksian dua orang untuk menyatakan penilaian tersebut.[22]
Sementara itu, dhabth seorang perawi hanya bisa dinilai oleh pakar hadits yang telah mengumpulkan semua hadits yang diriwayatkan orang tersebut sehingga mengetahui dengan pasti prosentase kesalahan dari keseluruhan riwayatnya. Jika kesalahan yang dilakukan dalam praktek riwayatnya sangat sedikit, maka orang tersebut dinilai tsiqah. Semakin sedikit kesalahannya, semakin tinggi nilai ke-tsiqah-annya sehingga ia digelari hujjah, hafiz bahkan amir al-mu'minin fi al-hadits. Sebaliknya, jika kesalahannya dalam riwayat lebih mendominasi, maka orang yang bersangkutan dinilai dhaif, bahkan jika kesalahannya dinilai sangat fatal orang itu bisa dilabel matruk (riwayatnya harus ditinggalkan sama sekali). Imam Al-Syafii berkata, “Ahli hadits yang banyak melakukan kekeliruan dan tidak memiliki buku catatan tidak kami terima haditsnya, sebagaimana orang yang terlalu banyak melakukan kesalahan dalam bersaksi tidak kami terima kesaksiannya.”[23]
Dalam tugasnya, seorang pakar hadits memeriksa setiap kata, bahkan setiap huruf, yang disampaikan perawi yang hendak dinilai kadar dhabth-nya itu, kemudian membandingkan riwayatnya dengan riwayat-riwayat orang lain sehingga kesalahan satu hurufpun akan dicatat bersama bioghrafinya. Siapa saja yang menelaah buku-buku yang ditulis khusus untuk menyebutkan nama-nama perawi yang “bermasalah” seperti Al-Dhu'afa karya Al-'Uqaili (w. 322 H), Kitab Al-Majruhin karya Ibn Hibban (w. 354 H) dan Al-Kamil fi Al-Dhu'afa milik Ibn 'Adi (w. 365 H), akan mendapati bahwa setiap perawi yang dinyatakan dhaif oleh ahli hadits disebutkan juga bersamanya bukti-bukti riwayah yang mendukung penilaian tersebut. Ini menunjukkan bahwa penilaian ahli hadits sangat obyektif, tidak pandang bulu dan selalu mengedepankan bukti. Ibn Hibban berkata, “Saya berlindung kepada Allah dari menilai buruk (jarh) seorang muslim tanpa bukti dan (tanpa) meyakini bahwa ia memang pantas (dinilai seperti itu).”[24]
Kesalahan-kesalahan dalam riwayat yang dapat memberikan nilai buruk bagi reputasi seorang perawi sangat banyak, antara lain me-rafa' sanad hadits yang seharusnya mawquf, me-musnad-kan sanad yang seharusnya mursal, keliru menyebut nama di sanad atau kata-kata di matan, menambah walau satu kata di dalam sanad atau matan, dan kesalahan-kesalahan lainnya. Ambil sebuah contoh seorang perawi yang bernama Muhammad bin Abdurahman bin Abi Laila imam ahli Kufah. Ia meriwayatkan dari Atha bin Abi Rabah (seorang ulama tabiin asal Mekah) dari Ibn Abbas bahwa Nabi Saw ketika 'umrah melafalkan talbiah hingga mengusap rukun Ka'bah.[25] Riwayat ini menyalahi riwayat ulama-ulama Mekah yang lebih dekat dengan Atha seperti Ibn Juraij, Hammam dan Abdul Malik bin Abi Sulaiman bahwa Atha meriwayatkannya dari Ibn Abbas tanpa menyebut Nabi Saw, begitu juga riwayat Mujahid dan Said bin Jubair dari Ibn Abbas.[26] Jadi hadits ini mawquf bukan marfu'. Ini membuktikan bahwa Abdurahman bin Abi Laila keliru sebab menyalahi riwayat orang-orang yang lebih banyak darinya. Al-Baihaqi berkata, “Me-rafa' hadits ini keliru. Ibn Abi Laila memang sering salah meriwayatkan hadits.”[27] Karena sering melakukan kesalahan seperti ini, beserta kesalahan-kesalahan lainnya, Ibn Abi Laila dinilai dhaif oleh para ulama.[28]
Kesalahan yang paling fatal di mata ahli hadits adalah ketika seseorang meriwayatkan hadits dari tokoh besar yang memiliki banyak murid, namun hadits tersebut tidak pernah dikenal dan diriwayatkan selain oleh perawi itu. Ahli hadits menilai orang yang sering melakukan hal ini dengan label “munkar al-hadits”. Misalnya, Furat bin Zuhair yang meriwayatkan dari Imam Malik bin Anas dari ibunya dari Umm 'Alqamah dari 'Aisyah bahwa Nabi Saw telah bersabda, “Pencuri adalah orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya, maka bunuhlah ia.” Imam Malik seorang tokoh besar yang memiliki ribuan murid, setiap hadits yang diriwayatkan dicatat dan dikumpulkan oleh murid-muridnya. Ketika tidak ada seorangpun dari murid-murid Imam Malik yang meriwayatkan hadits ini selain Furat, juga ia tidak dikenal sebagai murid Malik, ini menjadi indikasi kuat bahwa Furat telah berdusta atas nama imam besar ini. Maka tak heran jika Ibn Hibban mendustakannya dan berkata, “Tidak halal meriwayatkan haditsnya atau berargumentasi dengannya.”[29]
Jadi, di fase riwayah hadits-hadits yang diriwayatkan menentukan nilai seorang perawi. Saya sadar ketika mengatakan bahwa seorang perawi tsiqah adalah orang yang kesalahannya dalam riwayah sangat sedikit, dan perawi dhaif adalah orang yang kesalahannya sangat - bahkan terlalu - banyak, bahwa ucapan ini menegaskan bahwa seorang tsiqah bisa keliru dalam riwayat sebagaimana seorang dhaif bisa benar. Memang seperti itu adanya di metode kritik ahli hadits mutaqaddimin yang sangat obyektif. Seorang tsiqah tidak disyaratkan bebas dari semua kesalahan (ma'shum), sehingga kita menemui banyak sekali kritik-kritik yang ditujukan kepada perawi tsiqah di hadits-hadits tertentu tanpa mengurangi kredibilitas mereka di hadits-hadits yang lain. Imam Al-Syafii berkata untuk mengkritik gurunya, “Imam Malik keliru menyebut tiga nama…”[30] meski begitu Imam Malik tetap tsiqah menurut Imam Al-Syafii dan semua ahli hadits. Ibn Al-Madini berkata, “Semua ahli hadits pernah keliru kecuali empat orang: Yazid bin Zurai', Ibn 'Ulayyah, Bisyr bin Al-Mufadhal dan 'Abdul Warits bin Sa'id.”[31] Andai seorang tsiqat tidak boleh keliru, tidak ada perawi hadits yang tsiqat selain empat orang ini.
Begitu juga sebaliknya, karena perawi dhaif kadang benar dalam meriwayatkan hadits, kita mendapati sebagian nama-nama perawi yang dinilai dhaif terdapat di kitab-kitab yang disepakati keshahihannya oleh ahli hadits.[32] Sepeti Fulaih bin Sulaiman dan lain-lain di Shahih Al-Bukhari, Suwaid bin Said dan lain-lain di Shahih Muslim. Para ulama hadits sepakat bahwa Al-Bukhari dan Muslim memilih (intiqa) sekian banyak dari hadits-hadits yang diriwayatkan perawi-perawi dhaif ini yang terbukti benar dan sejalan dengan perawi-perawi tsiqat.
Sementara itu, jika kita beralih ke buku-buku karya ahli hadits mutaakhirin dan kontemporer kita melihat penilaian mereka terhadap seorang perawi bertumpu kepada referensi-referensi yang hanya memberikan penilaian global (al-hukm al-ijmali) kepada setiap perawi seperti “Taqrib Al-Tahdzib” dan “Tahdzib Al-Tahdzib” karya Ibn Hajar. Jika memiliki semangat lebih membara, maka rujukannya adalah kitab “Al-Jarh wa Al-Ta'dil” karya Ibn Abi Hatim. Berbekalkan penilaian global ini mereka kemudian menilai hadits-hadits yang diriwayatkan perawi tersebut, jika dia tsiqah maka haditsnya shahih, jika dhaif maka haditsnya dhaif, jika shaduq atau hasan al-hadits maka haditsnya hasan, dan seterusnya. Jadi pada fase pasca riwayah ini, penilaian terhadap perawi menentukan nilai sebuah hadits yang diriwayatkan. Konsekwensinya, kita seolah dipahamkan bahwa seorang tsiqah tidak mungkin keliru sehingga haditsnya dhaif, dan seorang dhaif tidak pernah benar sehingga haditsnya dinilai shahih.
Perbedaan paradigma ini menimbulkan masalah ketika para ulama mutaqaddimin menilai keliru sebuah hadits yang diriwayatkan perawi tsiqah, sementara ulama mutaakhirin dan kontemporer yang tidak mampu memahami kedalaman analisa mereka menolak penilaian tersebut. Ambil contoh riwayat Syu'bah bin Al-Hajjaj (seorang imam yang sangat tsiqah hingga digelari amir al-mu'minin fi al-hadits) dari Malik bin 'Urfuthah dari Abd Khair dari Ali bin Abi Thalib yang menceritakan tata cara wudhu Rasulullah Saw. Semua pakar hadits mutaqaddimin - seperti Imam Ahmad, Al-Bukhari, An-Nasai, Al-Tirmidzi, Abdullah bin Ahmad, Al-Bazzar, Ibn Hibban, Al-Hakim dan lain-lain- sepakat bahwa Syu'bah keliru dalam menyebut nama gurunya, yang benar adalah Khalid bin 'Alqamah bukan Malik bin 'Urfuthah. Alasan mereka, Za’idah bin qudamah dan lain-lain meriwayatkan hadits ini dari Khalid bin 'Alqamah.[33] Boleh jadi Syu'bah keliru membaca nama ini sebab tulisan tangan berbahasa Arab untuk Khalid bin 'Alqamah sangat mirip dengan Malik bin Urfuthah. Namun Syeikh Ahmad Syakir (semoga Allah merahmatinya) tidak setuju mengatakan Syu'bah keliru dan bersikeras menshahihkan jalur riwayat tersebut dengan alasan “Syu'bah tsiqah.”[34]
Begitu juga hadits riwayat Habib bin Abi Tsabit dari 'Urwah dari Aisyah bahwa Nabi Saw mencium salah seorang istrinya lalu keluar untuk shalat tanpa berwudhu'.[35] Hadits ini didhaifkan oleh semua huffaz mutaqaddimin - antara lain Sufyan Al-Tsauri, Yahya bin Sa'id Al-Qathan, Yahya bin Ma'in, 'Ali bin Al-Madini, Al-Syafi'i, Ahmad bin Hanbal, Abu Hatim, Al-Bukhari, Al-Tirmidzi, Abu Dawud, Abu Bakr Al-Naisaburi, Al-Daruquthni, Al-Baihaqi dan lain-lain – karena 'Urwah di dalam sanad ini adalah Al-Muzani, seorang perawi yang tidak dikenal, bukan 'Urwah bin Zubeir yang tsiqah.
Lagi pula riwayat ini tidak dikenal di hadits-hadits yang diriwayatkan oleh 'Urwah bin Zubeir (harus diingat bahwa ahli hadits telah mengumpulkan hadits-hadits 'Urwah dari 'Aisyah dalam dokumen tersendiri), yang ada hanya riwayatnya dari 'Aisyah “bahwa Nabi Saw mencium salah satu istrinya dalam keadaan puasa.” Jadi para ulama klasik ini menduga kuat telah terjadi kekeliruan dalam sanad yang diriwayatkan oleh Habib bin Abi Tsabit ini, yakni perawinya hendak meriwayatkan hukum puasa orang yang mencium istrinya, namun keliru sehingga berpindah ke hukum wudhu.[36]
Namun ulama mutaakhirin menyanggah penilaian tersebut mulai dari Ibn Al-Turkmani (w. 745 H) dan Al-Zaila'i (w. H) hingga Syeikh Ahmad Syakir dan Syeikh Nashiruddin Al-Albani (semoga Allah merahmati mereka semua).[37] Bermodalkan penilaian bahwa Habib bin Abi Tsabit tsiqah dan ia hidup semasa dengan 'Urwah bin Zubeir, jadi sesuai dengan “mazhab Muslim” riwayatnya dinyatakan bersambung [38] (padahal tidak ada pernyataan dari Imam Muslim yang menshahihkan hadits ini). Oleh karena itu mereka menilai bahwa sanad ini shahih.
Perselisihan yang terjadi antara kubu mutaqaddimin dan al-mutaakhiirin (kontemporer) ini ternyata tidak sebatas perbedaan ijtihad, namun kita dapat menemukan indikasi-indikasi yang menunjukkan bahwa sebagian dari tokoh-tokoh mutaakhirin dan kontemporer menyimpan prasangka buruk yang lahir akibat persepsi tertentu. Syeikh Ahmad Syakir, dalam komentarnya terhadap hadits Habib bin Abi Tsabit di atas, menuduh bahwa para ahli hadits mutaqaddimin yang menolak hadits ini membangun penilaian dhaifnya atas dasar fanatisme mazhab. Sebuah tuduhan tak mendasar yang patut disesalkan, namun sayangnya kerap diulangi oleh ulama-ulama kontemporer.
Tuduhan serupa diajukan oleh Syeikh Ahmad Al-Ghumari (ulama hadits juga “mujtahid” seperti Syeikh Ahmad Syakir yang hidup semasa dengannya) kepada Yahya bin Ma'in ketika pakar hadits dari masa riwayah ini mendhaifkan hadits riwayat Nu'aim bin Hammad dari 'Isa bin Yunus dari Huraiz bin 'Utsman dari Abdurahman bin Jubair bin Muth'im dari bapaknya dari 'Auf bin Malik bahwa Nabi Saw bersabda, “Umatku akan terpecah menjadi lebih dari tujuh puluh golongan. Kelompok terburuk dari mereka adalah orang-orang yang meng-qiyas dengan pendapat sendiri, sehingga mereka mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.”[39] Al-Ghumari menuduh penilaian Ibn Ma'in didasari oleh fanatiknya kepada mazhab Hanafi karena semua perawi hadits ini tsiqah.[40] Padahal hadits ini di-dhaif-kan juga oleh Imam Ahmad, Al-Bazzar, Ibn 'Adi, Al-Baihaqi, Ibn Abd Al-Barr, dan Al-Dzahabi. Tidak mungkin semua ulama yang berbeda-beda haluan mazhabnya ini fanatik kepada Abu Hanifah.
Fakta yang sebenarnya adalah mereka menilai hadits ini munkar karena “tidak ada yang meriwayatkan dari 'Isa bin Yunus selain Nu'aim bin Hammad.”[41] Kesendirian (tafarrud) ini menjadi indikasi kekeliruan Nu'aim bin Hammad, walaupun dia tsiqah, sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Adapun mutaba'ah (dukungan riwayat) untuk Nu'aim bin Hammad yang disebutkan oleh Al-Ghumari, semuanya tidak menghapus kemunkaran hadits tersebut sebab perawi-perawinya dhaif dan terkenal sering mencuri riwayat. Oleh karena itu Al-Baihaqi mengatakan bahwa perawi-perawi yang dikatakan Al-Ghumari mendukung riwayat Nu'aim bin Hammad ini sebenarnya mendengar hadits itu dari Nua'im lalu mencurinya.[42] Hemat saya, kegagalan Al-Ghumari memahami metode mutaqaddimin ini lebih patut disalahkan, daripada mengkhayalkan fanatisme yang tak pernah wujud itu.
Setiap perselisihan yang terjadi antara dua kubu ini, kita akan selalu melihat bahwa kubu mutaqaddimin adalah kubu yang paling teliti menilai hadits. Penilaian mereka sangat mendalam dengan memperhatikan berbagai informasi yang dapat mendukung penilaian tersebut. Ahli hadits mutaqaddimin misalnya sepakat bahwa Ma'mar bin Rasyid, seorang murid Az-Zuhri asal Basrah dan menetap di Yaman, sering keliru ketika meriwayatkan hadits di Basrah. Itu karena ketika imam yang terkenal tsiqat ini datang ke Basrah untuk mengunjungi ibunya, ia tidak membawa serta buku-bukunya. Imam Ahmad dan Ya'qub bin Syaibah berkata, “Riwayat ahli Basrah dari Ma'mar semua keliru, sebab ia tidak membawa buku-bukunya.”[43] Salah satu “hadits-hadits Basrah” itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abdul Wahid bin Ziyad dan ahli Basrah lainnya dari Ma'mar dari Az-Zuhri dari Sa'id bin Al-Musayyab berkata: Ali bin Abi Thalib berkata, “Ketika aku memandikan Nabi Saw, aku mencari tanda-tanda kematiannya, tapi aku tidak menemukan (tanda-tanda tersebut). Beliau tetap wangi ketika hidup dan matinya.”[44] Hadits ini diriwayatkan oleh murid-murid Ma'mar di Yaman dengan sanad yang sama hingga ke Ibn Al-Musayyab berkata, “Ali bin Abi Thalib mencari tanda-tanda kematian Rasulullah ketika ia memandikan beliau, namun tidak menemukannya.” Seperti ini juga hadits ini diriwayatkan oleh Al-Awza'i, Shalih bin Kisan dan murid-murid Az-Zuhri lainnya dari Az-Zuhri. Jadi hadits ini mursal sebab Said bin Al-Musayyab belum lahir ketika Sayyidina Ali memandikan Nabi Saw, dan ia juga tidak menyebutkan nama orang yang memberitahukannya. Al-Daruquthni berkata, “Riwayat mursal lebih benar.”[45] Al-Dzahabi, seorang ulama mutaakhirin ketika menyanggah penilaian Al-Hakim, menyetujui ucapan Al-Daruquthni dan berkata, “Hadits ini (sanadnya) terputus.”[46]
Namun Syeikh Al-Albani (semoga Allah merahmatinya) menolak ucapan Al-Dzahabi yang sejalan dengan ahli hadits mutaqaddimin ini dengan berkata, “Ucapan ini tidak berdasar, sebab hadits ini riwayat Ma'mar dari Az-Zuhri dari Sa'id bin Al-Musayab dari 'Ali. Ini sanad yang bersambung, masing-masing perawinya terkenal mendengar dari yang lain. Adapun riwayat Ma'mar dari Az-Zuhri, dan riwayat Az-Zuhri dari Sa'id tidak perlu dipertanyakan lagi. Sementara riwayat Sa'id dari 'Ali maka (sanad ini) bersambung pula, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Al-Hafiz (Ibn Hajar) di Tahzib. Bahkan ia menyebutkan bahwa ia mendengar dari 'Umar (bin Al-Khattab) juga.”[47] Perhatikan analisa dangkal dalam menganalisa hadits ini. Jelas sekali bahwa tugas menilai hadits memerlukan pemahaman, hafalan dan kajian yang mendalam sebagaimana yang diucapkan oleh Imam Al-Hakim.
d. Penutup
Ilmu mushthalah hadits idealnya adalah sebuah ilmu yang menjelaskan metode ahli hadits sebagaimana yang ditampilkan oleh ulama mutaqaddimin dalam praktek ilmiah mereka mengkaji dan menilai riwayat. Oleh karena itu, sikap yang harus ditampilkan oleh generasi pasca riwayah adalah belajar dari ahli hadits masa riwayah dengan memahami dengan benar dan mendalam setiap perkataan dan metode mereka, bukan menghakimi dan menentang, apalagi menyalahkan. Anehnya, sebagian besar tokoh-tokoh kontemporer yang sering kita jumpai menentang ulama-ulama hadits mutaqaddimin itu adalah para aktivis yang sangat giat mengajak kembali ke mazhab salaf. Siapakah salaf yang dimaksud jika bukan ulama-ulama mutaqaddimin itu?
Sebesar apapun upaya yang dikerahkan ulama mutaakhirin, apalagi kontemporer, untuk menilai sebuah riwayat tidak akan menyamai ketelitian metode yang diterapkan oleh ahli hadits mutaqaddimin. Hal ini ditegaskan oleh Imam Al-Dzahabi, seorang pakar hadits yang diakui oleh Ibn Hajar telah melakukan penelitian sempurna terhadap semua perawi hadits, ketika berkata, “Wahai syeikh, sayangi dirimu dan insyaflah. Janganlah kamu memandang para huffaz itu dengan pandangan remeh dan menghina. Dan jangan pula kamu mengira bahwa mereka sama dengan ahli-ahli hadits di masa kita ini. Tidak, tidak ada seorangpun tokoh-tokoh hadits di masa kita ini yang mencapai pengetahuan mereka (dalam hadits). Saya mengira -melihat dari besarnya hawa nafsumu- bahwa seolah kamu berkata, siapa Ahmad? Siapa Ibn Al-Madini? Siapa Abu Zur'ah dan Abu Dawud? Diamlah dengan bijak atau bicaralah dengan ilmu…”[48]
Dengan demikian, harus ada upaya sistematik dari para peminat kajian hadits kontemporer untuk memfokuskan studi dan riset mereka kepada upaya menggali dan menyingkap serta memahami dengan lebih mendalam metode ahli hadits mutaqaddimin agar tercipta konsepsi dan perspektif yang jitu dalam mengkaji hadits Nabi Saw. Bagaimanapun, kesalahan sekecil apapun yang terjadi ketika menilai sebuah hadits akan mempengaruhi penampilan dan wajah Islam di mata dunia, belum lagi pengaruhnya di keberagamaan masyarakat yang mempunyai implikasi serius di kehidupan akhirat mereka kelak. Wallahu A'lam.
________________________________________
[1] Pembagian fase riwayah dan pasca riwayah, lalu pembagian ahli hadits menjadi Al-Mutaqaddimin dan Al-Mutaakhirin ditegaskan oleh Dr Hamzah Al-Malyabari dalam buku-bukunya seperti Al-Muwazanah baina al-Mutaqaddimin wa Al-Mutaakhirin fi Ta'lil Al-Ahaadits wa Tashhihiha (Dar Ibn Hazm, Beirut, cet. Kedua, 2001). Di Damaskus, pembagian ini ditegaskan juga oleh guru hadits muda yang sangat cemerlang: guru saya Fadhilah Syeikh Riyadh bin Muhammad Salim Al-Khiraqi.
[2] Abdullah bin Al-Mubarak berkata, “Sanad adalah bagian dari agama. Tanpa sanad, setiap orang bisa berbicara sembarang keinginannya.” Sufyan Al-Tsauri berkata, “Sanad adalah senjata muslim.” “Shahih Muslim” (Dar Al-Salam, Riyadh, 1998) hal. 12.
[3] “Kitab Al-Majruhiin min al-Muhadditsin” (tahqiq Hamdi Al-Silafi, Dar Al-Shamai'i, Riyadh, cet. Pertama, 2000 ) 1/54-55.
[4] “Manaqib Al-Syafi'i” (tahqiq Al-Sayyid Ahmad Shaqr, Maktabah Dar Al-Turats, Cairo) 2/321.
[5] “'Ulum Al-Hadits” atau “Muqaddimah” Ibn Al-Shalah (tahqiq Dr Nuruddin 'Itr, Dar Al-Fikr, Damaskus, cet. Ketiga, 2002) hal. 17.
[6] “Siyar A'lam An-Nubala”, Muhammad bin Ahmad Al-Dzahabi, (tahqiq Syeikh Syuaib al-Arnauth, Muassah Al-Risalah, Beirut, cet. kesebelas, 1996) 7/431.
[7] “'Ulum Al-Hadits” Ibn Al-Shalah hal. 91.
[8] Sementara itu, kedua “istilah” ini dibedakan dengan sangat teliti oleh mutaakhirin. Mursal adalah keterputusan yang terjadi di akhir sanad, dan munqathi adalah keterputusan yang terjadi di tengah sanad.
[9] Mutaakhirin mendefiniskan munkar sebagai sebuah hadits yang diriwayatkan seorang perawi yang dinilai dhaif dan bertentangan dengan riwayat perawi lain yang dinilai lebih tsiqah darinya. Lihat “Syarh An-Nukhbah” (tahqiq Dr Nuruddin 'Itr, cet. ketiga, 2000) hal.
[10] Silahkan koleksi dan analisa kalimat munkar yang diucapkan Abu Hatim dan Abu Zur'ah dalam kitab “'Ilal Al-Hadits”, begitu juga kalimat munkar di dalam “Al-Sunan” Abu Dawud dan “Al-Sunan” Al-Nasa'i, Anda akan dapati ratusan kasus yang tidak sejalan dengan konsep munkar versi mutaakhirin. Kita dapat menyimpulkan bahwa munkar menurut para pakar hadits mutaqaddimin ini adalah hadits-hadits yang diingkari karena berbagai sebab, antara lain karena sanadnya atau matannya keliru. Sementara itu, definisi munkar yang diajukan Al-Bardiji (seorang ulama mutaqadimin) sebagai “sebuah hadits yang hanya diriwayatkan oleh satu orang (yanfaridu bihi al-rajul), dan matannya tidak dikenal kecuali dari riwayat orang ini,” (muqaddimah Ibn Shalah hal. 80), ucapan ini lebih tepat dipahami sebagai pengungkapan salah satu aspek yang melahirkan pengingkaran ahli hadits, tanpa harus menutup aspek-aspek lainnya, daripada dilihat sebagai sebuah pembatasan yang mencegah masuknya sebab-sebab pengingkaran yang lain.
Ketika Imam Ibn Hajar mendefinisikan munkar dengan “perawi dhaif yang menyalahi perawi tsiqah” (Syarh An-Nukhbah hal. 73), Qasim Quthlubugha, murid cemerlang Ibn Hajar, tidak setuju dan membuktikan bahwa definisi gurunya ini tidak sejalan dengan praktek ahli hadits dengan menyebutkan contoh-contoh penggunaan kalimat ini di buku-buku hadits. Ia lalu berkesimpulan, “Agaknya ma'ruf dan munkar bukan bagian hadits tersendiri, melainkan sekedar kata-kata yang digunakan untuk melemahkan sebuah riwayat. Akan tetapi penulis (Ibn Hajar) menjadikan keduanya bagian hadits-hadits tertentu sehingga tidak sejalan dengan praktek ilmiah ahli hadits.” Hasyiah 'ala Matn An-Nukhbah hal. 68.
[11] Terkadang seorang pakar yang mumpuni dapat meyakini telah terjadi kekeliruan di dalam hadits yang dianggap ganjil meski belum mengetahui sebab kesalahannya seperti ucapan Abu Hatim ketika ditanya tentang sebuah hadits, “Kami menganggap ganjil (kunna nastaghribu) hadits ini, meski kami tidak tahu 'illah-nya kami yakin bahwa (hadits) ini keliru...” “'Ilal Al-Hadits” Abdurahman bin Abi Hatim (Dar Al-Ma'rifah, Beirut, 1985) 2/151 (1946).
[12] “'Ilal Al-Hadits” 1/377 (1122).
[13] Andai hadits 'Ikrimah bin Khalid tadi tidak keliru, Abu Hatim akan menilainya dengan “hasan shahih” sebagaimana penilaiannya untuk hadits riwayat Zaid bin Waqid dari Mughits bin Sumayy dari Abdullah bin 'Amr berkata: Mereka (para sahabat Nabi Saw) bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa manusia terbaik? Beliau menjawab, “Orang yang hatinya selalu bersedih dan lisannya selalu jujur.” Abu Hatim berkata, “Hadits ini shahih hasan. Zaid jujur (mahalluhu al-shidq) dan konon bermazhab qadariah. “'Ilal Al-Hadits” 2/127 no. (1873).
[14] “Al-Jami' li Akhlaq Ar-Rawi wa Adab As-Sami'“ Al-Khatib Al-Baghdadi (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut, cet. kedua, 2003) hal. 296.
[15] “'Ilal Al-Hadits” 1/92 no. (248).
[16] Gharib menurut Ibn Hajar adalah hadits yang hanya diriwayatkan dengan satu jalur saja. Hasan adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang hafalannya tidak mencapai derajat perawi shahih.
[17] “Syarh An-Nukhbah” hal. 47.
[18] “Ma'rifah 'Ulum Al-Hadits” Al-Hakim Al-Naisaburi (tahqiq Sayid Mu'zham Husain, Maktabah Al-Mutanabbi, Cairo) hal. 59-60. Ucapan ini menegaskan bahwa setiap hadits yang tidak tercantum di dalam As-Shahihain harus diperiksa dengan ekstra hati-hati. Al-Bukhari dan Muslim memang tidak mengumpulkan semua hadits shahih, namun kemungkinan bahwa keduanya meninggalkan sebuah hadits dengan sengaja karena terdapat 'illah tersembunyi di dalam hadits itu sangat besar. Ucapan ini disetujui oleh Ibn Abd Al-Bar sebagaimana yang dikutip oleh Ibn Hajr di “An-Nukat 'ala Kitab Ibn Al-Shalah” (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut) hal. 85. Oleh karena itu, setiap orang yang hendak menilai sebuah hadits harus takut kepada Allah dan benar-benar berhati-hati, apalagi penilaiannya terhadap hadits itu akan menentukan wajah agama Islam. Konon Imam Al-Bukhari sendiri setiap kali hendak mencantumkan sebuah hadits di dalam kitab “Shahih”-nya melakukan shalat dua rakaat terlebih dahulu.
[19] “Al-Risalah” Muhammad bin Idris Al-Syafi'i (tahqiq Syeikh Ahmad Syakir, Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut) hal. 370-371.
[20] “Ma'rifah As-Sunan wa Al-Atsar” Al-Baihaqi (tahqiq Dr Abdul Mu'thi Qal'aji, Dar Al-Qutaybah, DAmaskus, 1991) 1/133.
[21] Referensi yang sama 14/314.
[22] Lihat perdebatan tentang hal ini misalnya di “Al-Kifayah” Al-Khatib Al-Baghdadi (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut) hal. 96, “'Ulum Al-Hadits” Ibn Al-Shalah hal. 109, “At-Taqyid wa l-Idhah” Al-Iraqi (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut, 1999) hal. 117.
[23] “Al-Risalah” hal. 382.
[24] “Kitab Al-Majruhin” 1/413.
[25] Diriwayatkan oleh Abu Dawud (tahqiq Muhyiddin Abdul Hamid, Dar Al-Kitab Al-Arabi, Beirut) no. (1817), Al-Tirmidzi (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut) no. (919), dan Al-Baihaqi di “Ma'rifat Al-Sunan wa Al-Atsar” 7/268.
[26] Diriwayatkan oleh Muhammad bin Al-Hasan Al-Syaibani di “Al-Hujjah 'ala Ahl Al-Madinah” 2/86, Al-Syafii di “Musnad” (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut) hal. 126, Ibn Abi Syaibah di “Al-Mushannaf” (tahqiq Kamal Yusuf Al-Hut, Maktanah Al-Rusyd, Riyadh, 1409 H) no. (14004), Abu Dawud no. (1817), dan Al-Baihaqi di “Ma'rifat Al-Sunan wa Al-Atsar” 7/268.
[27] “Ma'rifat Al-Sunan wa Al-Atsar” 7/268.
[28] Lihat penilaian ahli hadits di “Mizan Al-I'tidal” (Dar-Fikr, Beirut, 1999) 3/587 (8284).
[29] “Kitab Al-Majruhin” 2/10. Saya berharap ada mahasiswa jurusan hadits yang cukup rajin menerapkan logika ini untuk memeriksa semua riwayat tokoh-tokoh Syiah -seperti Zurarah bin A'yan , Jamil Al-Darraj dan lain-lain- dari Imam Ja'far Al-Shadiq dan bapaknya Muhammad Al-Baqir (semoga Allah merahmati keduanya), sehingga dapat membuktikan sendiri mengapa ahli hadits menolak sebagian besar, jika bukan semua, riwayat mereka dari kedua cucu Nabi Saw ini.
[30] “Manaqib Asy-Syafii” 1/491.
[31] “Syarh 'Ilal Al-Tirmidzi” Ibn Rajab Al-Hanbali (tahqiq Dr Nuruddin 'Itr, Dar Al-'Atha, cet. keempat, 2001) 1/161.
[32] Waliyuddin Al-'Iraqi menulis sebuah buku berjudul “Al-Bayan wa Al-Tawdhih” untuk menyebutkan nama-nama perawi yang diriwayatkan haditsnya oleh Al-Bukhari dan Muslim namun dinilai dhaif oleh ahli hadits.
[33] Lihat “Al-'Ilal wa Ma'rifat al-Rijal” Imam Ahmad (Al-Maktab Al-Islami, Beirut, 1988) no. (1210), “Sunan Al-Mujtaba” An-Nasa'i no. (93), “Sunan Al-Tirmidzi” 1/69, “Al-Bahr Al-Zakhar” atau Musnad Al-Bazzar (Muassah 'Ulum Al-Qur'an, Beirut, 1988) 2/474 no. (718), “Ma'rifat 'Ulum Al-Hadits” Al-Hakim hal. 149.
[34] Lihat komentar Syeikh Ahmad Syakir di catatan kaki “Al-Jami' Al-Shahih” Al-Tirmidzi (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut) 1/69.
[35] Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di “Musnad” (tahqiq Syeikh Syu'aib Al-Arnauth, Muassasah Al-Risalah, Beirut) 6/210, Abu Dawud (179), Al-Tirmidzi (86), Ibn Majah (Tahqiq Fuad Abul Baqi, Dar Al-Rayyan) no. (502), Al-Daruquthni (Dar Al-Ma'rifah, Beirut, 2001) no. (487) (488), Al-Baihaqi di “Al-Sunan Al-Kubra” (Dar Al-Ma'rifah, Beirut) 1/126.
[36] Kekhawatiran ini dinyatakan oleh Imam Syafii, Ahmad, Al-Tirmidzi dan Abu Bakr Al-Naisaburi . Semua riwayat-riwayat yang serupa dengan hadits ini hingga ke 'Aisyah sanadnya bermasalah. Imam Al-Baihaqi mendhaifkan semua sanad itu di dalam kitab “Al-Khilafiyat”.
[37] Lihat “Al-Jawhar An-Naqiy” (dicetak di pinggir kitab “Al-Sunan Al-Baihaqi”) 1/124, “Nashb Al-Rayah” (Dar Ihya Al-Turats Al-'Arabi, Beirut, cet. ketiga, 1987) 1/37-39, “Al-Jami' Al-Shahih” tahqiq Syeikh Ahmad Syakir 1/134-140 dan “Al-Misykat” karya Al-Albani hal. 1/105.
[38] Kita akan mendiskusikan mazhab Imam Muslim yang sebenarnya di kesempatan lain, insya Allah.
[39] Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar di “Al-Bahr Al-Zakhar” 7/219 (2390), Al-Thabarani di “Al-Mu'jam Al-Kabir” (tahqiq Syeikh Hamdi Al-Salafi, Maktabah Ibn Taimiah, Cairo) 12/145 (14157) dan di “Musnad Al-Syamiyyin” (tahqiq Syeikh Hamdi Al-Salafi, Muassasah Al-Risalah, Beirut, 1989) 2/143 no. (1072), Ibn 'Adi di “Al-Kamil” (Dar Al-Fikr, Beirut) 7/17 dan dishahihkan oleh al-Hakim di “Al-Mustadrak” (tahqiq Dr Mahmud Matharji, Dar Al-Fikr, Beirut, 2002) no. (8496).
[40] “Al-Ajwibah Al-Sharifah” Ahmad bin Muhammad Al-Ghumari (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut, cet. pertama, 2002) hal. 76.
[41] Lihat “Al-Bahr Al-Zakhar” 7/219, “Al-Madkhal ila As-Sunan Al-Kubra” 1/151, “Jami' Bayan Al-'Ilm” 2/163.
[42] “Al-Madkhal ila As-Sunan Al-Kubra” 1/151.
[43] Lihat “Syarh 'Ilal Al-Tirmidzi” 2/602-603.
[44] Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar di “Al-Bahr Al-Zakhar” (486), Al-Hakim di “Al-Mustadrak” (1370), Al-Baihaqi di “Al-Sunan Al-Kubra” 3/388.
[45] “'Ilal Al-Daruquthni” (tahqiq Mahfuz Al-Rahman Zain Al-Salafi, Dar Al-Thaibah, Riyadh, 1999) 3/219 no. (371).
[46] “Talkhish Al-Mustadrak” (dicetak di pinggir kitab “Al-Mustadrak”) 1/472.
[47] “Ahkam Al-Janaiz wa Bida'uha” (Maktabah Al-Ma'arif, Riyadh, 1992) hal. 68.
[48] “Tazkirah Al-Huffaz” Muhammad bin Ahmad Al-Dzahabi, (Dar Al-Kutub Al-'Ilmiah, Beirut) hal. 726.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar