Muhammad bin al-Hanafiyyah (wafat 181 H)
Namanya
adalah Muhammad Ibn al-Hanafiah, ia banyak menimba ilmu dari ‘Ali bin
Abi thalib.” pada saat Telah terjadi percekcokan antara Muhammad ibn
al-Hanafiyyah dan saudaranya al-Hasan ibn Ali, maka Ibn al-Hanafiah
mengirim surat kepada saudaranya itu, isinya, “Sesungguhnya Allah telah
memberikan kelebihan kepadamu atas diriku…Ibumu Fathimah binti Muhammad
ibn Abdullah, sedangkan ibuku seorang wanita dari Bani “Haniifah.”
Kakekmu dari garis ibu adalah utusan Allah dan makhluk pilihannya,
sedangkan kakekku dari garis ibu adalah Ja’far ibn Qais. Apabila suratku
ini sampai kepadamu, kemarilah dan berdamailah denganku, sehingga
engkau memiliki keutamaan atas diriku dalam segala hal.”
Begitu
surat itu sampai ke tangan al-Hasan…ia segera ke rumahnya dan berdamai
dengannya. Siapakah Muhammad ibn al-Hanafiyyah, seorang adib (ahli
adab/pujangga), seorang yang pandai dan berakhlak lembut ini? Marilah,
kita membuka lembaran hidupnya dari awal.
Kisah
ini bermula sejak akhir kehidupan Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalam. Pada suatu hari, Ali ibn Abi Thalib duduk bersama Nabi
Shallallahu Alaihi Wassalam, maka ia berkata, “Wahai Rasulullah…apa
pendapatmu apabila aku dikaruniani seorang anak setelah engkau
meninggal, (bolehkah) aku menamainya dengan namamu dan memberikan
kun-yah (sapaan yang biasanya diungkapkan dengan ‘Abu fulan…’) dengan
kunyah-mu?.” “Ya” jawab beliau.
Kemudian
hari-hari pun berjalan terus. Dan Nabi yang mulia Shallallahu Alaihi
Wassalam bertemu dengan ar-Rafiiqul al-A’laa (berpulang ke sisi
Allah)…dan setelah hitungan beberapa bulan Fathimah yang suci, Ibunda
al-Hasan dan al-Husain menyusul beliau (wafat).
Ali
lalu menikahi seorang wanita Bani Haniifah. Ia menikahi Khaulah binti
Ja’far ibn Qais al-Hanafiyyah, yang kemudian melahirkan seorang anak
laki-laki untuknya. Ali menamainya “Muhammad” dan memanggilnya dengan
kun-yah “Abu al-Qaasim” atas izin Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wassalam. Hanya saja orang-orang terlanjur memanggilnya Muhammad ibn
al-Hanafiyyah, untuk membedakannya dengan kedua saudaranya al-Hasan dan
al-Husain, dua putra Fathimah az-Zahra. Kemudian iapun dikenal dalam
sejarah dengan nama tersebut.
Muhammad
ibn al-Hanafiyyah lahir di akhir masa khilafah ash-Shiddiq (Abu Bakar)
RA. Ia tumbuh dan terdidik di bawah perawatan ayahnya, Ali bin Abi
Thalib, ia lulus di bawah didikannya.
Ia
belajar ibadah dan kezuhudan dari ayahnya…mewarisi kekuatan dan
keberaniannya…menerima kefasihan dan balaghoh darinya. Hingga ia menjadi
pahlawan perang di medan pertempuran…singa mimbar di perkumpulan
manusia…seorang ahli ibadah malam (Ruhbaanullail) apabila kegelapan
telah menutup tirainya ke atas alam dan saat mata-mata tertidur lelap.
Ayahnya telah mengutusnya ke dalam pertempuran-pertempuran yang ia ikuti.
Dan
ia (Ali) telah memikulkan di pudaknya beban-beban pertempuran yang
tidak ia pikulkan kepada kedua saudaranya yang lain; al-Hasan dan
al-Husain. Ia pun tidak terkalahkan dan tidak pernah melemah
keteguhannya.
Pada
suatu ketika pernah dikatakan kepadanya, “Mengapakah ayahmu
menjerumuskanmu ke dalam kebinasaan dan membebankanmu apa yang kamu
tidak mampu memikulnya dalam tempat-tempat yang sempit tanpa kedua
saudaramu al-Hasan dan al-Husain?”
Ia
menjawab, “Yang demikian itu karena kedua saudaraku menempati kedudukan
dua mata ayahku…sedangkan aku menempati kedudukan dua
tangannya…sehingga ia (Ali) menjaga kedua matanya dengan kedua
tangannya.”
Dalam
perang “Shiffin” yang berkecamuk antara Ali ibn Abi Thalib dan Muawiyah
ibn Abi Sufyan RA. Adalah Muhammad ibn al-Hanafiyyah membawa panji
ayahnya.
Dan
di saat roda peperangan berputar menggilas pasukan dari dua kelompok,
terjadilah sebuah kisah yang ia riwayatkan sendiri. Ia menuturkan,
“Sungguh aku telah melihat kami dalam perang “Shiffin”, kami bertemu
dengan para sahabat Muawiyah, kami saling membunuh hingga aku menyangka
bahwa tidak akan tersisa seorang pun dari kami dan juga dari mereka. Aku
menganggap ini adalah perbuatan keji dan besar.
Tidaklah
berselang lama hingga aku mendengar seseorang yang berteriak di
belakangku, “Wahai kaum Muslimin…(takutlah kepada) Allah, (takutlah
kepada Allah)…wahai kaum Muslimin…
Siapakah yang akan (melindungi) para wanita dan anak-anak?…
Siapakah yang akan menjaga agama dan kehormatan?…
Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami?*…
Siapakah yang akan menjaga agama dan kehormatan?…
Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami?*…
Wahai kaum Muslimin…takutlah kepada Allah, takutlah kepada Allah dan sisakan kaum muslimin, wahai ma’syarol muslimin.”
Maka sejak hari itu, aku berjanji kepada diriku untuk tidak mengangkat pedangku di wajah seorang Muslim.
Kemudian Ali mati syahid di tangan pendosa yang dzalim (di tangan Abdurrahman ibn Miljam )
Kemudian Ali mati syahid di tangan pendosa yang dzalim (di tangan Abdurrahman ibn Miljam )
Kekuasaan
pun berpindah kepada Muawiyah ibn Abi Sufyan. Maka, Muhammad ibn
al-Hanafiyyah membaiatnya untuk selalu taat dan patuh dalam keadaan suka
maupun benci karena keinginannya hanya untuk menyatukan suara dan
mengumpulkan kekuatan serta untuk menggapai izzah bagi Islam dan
Muslimin.
Muawiyah
merasakan ketulusan baiat ini dan kesuciannya. Ia merasa benar-benar
tentram kepada sahabatnya, hal mana menjadikannya mengundang Muhammad
ibn al-Hanafiyyah untuk mengunjunginya.
Maka, ia pun mengunjunginya di Damaskus lebih dari sekali…dan lebih dari satu sebab.
Di
antaranya, bahwa kaisar Romawi menulis surat kepada Muawiyah. Ia
mengatakan, “Sesungguhnya raja-raja di sini saling berkoresponden dengan
raja-raja yang lain. Sebagian mereka bersenang-senang dengan yang
lainnya dengan hal-hal aneh yang mereka miliki…sebagin mereka saling
berlomba dengan sebagian yang lain dengan keajaiban-keajaiban yang ada
di kerajaan-kerajaan mereka. Maka, apakah kamu mengizinkan aku untuk
mengadakan (perlombaan) antara aku dan kamu seperti apa yang terjadi di
antara mereka?”
Maka, Muawiyah mengiyakannya dan mengizinkannya.
Maka, Muawiyah mengiyakannya dan mengizinkannya.
Kaisar
Romawi mengirim dua orang pilih-tandingnya. Salah seorang darinya
berbadan tinggi dan besar sekali sehingga seakan-akan ia ibarat pohon
besar yang menjulang tinggi di hutan atau gedung tinggi nan kokoh.
Adapun orang yang satu lagi adalah seorang yang begitu kuat, keras dan
kokoh seakan-akan ia ibarat binatang liar yang buas. Sang kaisar
menitipkan surat bersama keduanya, ia berkata dalam suratnya, “Apakah di
kerajaanmu ada yang menandingi kedua orang ini, tingginya dan
kuatnya?.”
Muawiyah
lalu berkata kepada ‘Amr ibn al-‘Aash, “Adapun orang yang berbadan
tinggi, aku telah menemukan orang yang sepertinya bahkan lebih
darinya…ia Qais ibn Sa’d ibn ‘Ubadah. Adapun orang yang kuat, maka aku
membutuhkan pendapatmu.”
‘Amr
berkata, “Di sana ada dua orang untuk urusan ini, hanya saja keduanya
jauh darimu. Mereka adalah Muhammad ibn al-Hanafiyyah dan Abdullah ibn
az-Zubair.”
“Sesungguhnya Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidaklah jauh dari kita,” kata Muawiyyah.
“Akan
tetapi apakah engkau mengira ia akan ridla bersama kebesaran
kemuliaannya dan ketinggian kedudukannya untuk mengalahkan kekuatan
orang dari Romawi ini dengan ditonton manusia,?” tanya ‘Amr.
Muawiyah
berkata, “Sesungguhnya ia akan melakukan hal itu dan lebih banyak dari
itu, apabila ia menemukan izzah bagi Islam padanya.”
Kemudian Muawiyah memanggil keduanya, Qais ibn Sa’d dan Muhammad ibn al-Hanafiyyah.
Ketika
majelis telah dimulai, Qais ibn Sa’d berdiri dan melepaskan
sirwal-sirwal-nya (celana yang lebar) lalu melemparkannya kepada
al-‘Ilj** dari Romawi dan menyuruhnya untuk memakainya. Ia pun
memakainya…maka, sirwalnya menutupi sampai di atas kedua dadanya
sehingga orang-orang ketawa dibuatnya.
Adapun
Muhammad ibn al-Hanafiyyah, ia berkata kepada penterjemahnya, “Katakan
kepada orang Romawi ini…apabila ia mau, ia duduk dan aku berdiri, lalu
ia memberikan tangannya kepadaku. Entah aku yang akan mendirikannya atau
dia yang mendudukkanku…Dan bila ia mau, dia yang berdiri dan aku yang
duduk…”
Orang Romawi tadi memilih duduk.
Orang Romawi tadi memilih duduk.
Maka Muhammad memegang tangannya, dan (menariknya) berdiri…dan orang Romawi tersebut tidak mampu (menariknya) duduk…
Kesombongan
pun merayap dalam dada orang Romawi, ia memilih berdiri dan Muhammad
duduk. Muhammad lalu memegang tangannya dan menariknya dengan satu
hentakan hampir-hampir melepaskan lengannya dari pundaknya…dan
mendudukkannya di tanah.
Kedua orang kafir Romawi tersebut kembali kepada rajanya dalam keadaan kalah dan terhina.
Hari-hari berputar lagi…
Hari-hari berputar lagi…
Muawiyah
dan putranya Yazid serta Marwan ibn al-Hakam telah berpindah ke
rahmatullah…Kepemimpinan Bani Umayyah berpindah kepada Abdul Malik ibn
Marwan, ia mengumumkan dirinya sebagai khalifah muslimin dan penduduk
Syam membaiatnya.
Sementara penduduk Hijaz dan Irak telah membaiat Abdullah ibn az-Zubair***.
Setiap
dari keduanya mulai menyeru orang yang belum membaiatnya untuk
membaiatnya…dan mendakwakan kepada manusia bahwa ia yang paling berhak
dengan kekhalifahan daripada sahabatnya. Barisan kaum muslimin pun
terpecah lagi…
Di
sinilah Abdullah ibn az-Zubair meminta kepada Muhammad ibn
al-Hanafiyyah untuk membaiatnya sebagaimana penduduk Hijaz telah
membaiatnya.
Hanya
saja Ibn al-Hanafiyyah memahami betul bahwa baiat akan menjadikan
hak-hak yang banyak di lehernya bagi orang yang ia baiat. Di antaranya
adalah menghunus pedang untuk menolongnya dan memerangi orang-orang yang
menyelisihinya. Dan para penyelisihnya hanyalah orang-orang muslim yang
telah berijtihad, lalu membaiat orang yang tidak ia bai’at.
Tidaklah orang yang berakal sempurna lupa akan kejadian di hari “Shiffin.”
Tahun
yang panjang belum mampu menghapus suara yang menggelegar dari kedua
pendengarannya, kuat dan penuh kesedihan, dan suara itu memanggil dari
belakangnya, “Wahai kaum Muslimin…(takutlah kepada) Allah, (takutlah
kepada) Allah…wahai kaum Muslimin…
Siapakah yang akan (melindungi) para wanita dan anak-anak?…
Siapakah yang akan menjaga agama dan kehormatan?… Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami.”..
Ya, ia belum lupa sedikitpun dari itu semua.
Siapakah yang akan menjaga agama dan kehormatan?… Siapakah yang akan menjaga serangan Romawi dan ad-Dailami.”..
Ya, ia belum lupa sedikitpun dari itu semua.
Maka,
ia berkata kepada Abdullah ibn az-Zubair, “Sesungguhnya engkau
mengetahui dengan sebenar-benarnya, bahwa dalam perkara ini aku tidak
memiliki tujuan dan tidak pula permintaan…hanyalah aku ini seseorang
dari kaum muslimin. Apabila kalimat (suara) mereka berkumpul kepadamu
atau kepada Abdul Malik, maka aku akan membaiat orang yang suara mereka
berkumpul padanya. Adapun sekarang, aku tidak membaiatmu…juga tidak
membaiatnya.”
Mulailah
Abdullah mempergaulinya dan berlemah lembut kepadanya dalam satu
kesempatan. Dan dalam kesempatan yang lain ia berpaling darinya dan
bersikap keras kepadanya.
Hanya
saja, Muhammad ibn al-Hanafiyyah tidak berselang lama hingga banyak
orang yang bergabung dengannya ketika mereka mengikuti pendapatnya. Dan
mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepadanya, hingga jumlah mereka
sampai tujuh ribu orang dari orang-orang yang memilih untuk memisahkan
diri dari fitnah. Dan mereka enggan untuk menjadikan diri mereka kayu
bakar bagi apinya yang menyala.
Setiap
kalii pengikut Ibn al-Hanafiyyah bertambah jumlahnya, bertambahlah
kemarahan Ibn az-Zubair kepadanya dan ia terus mendesaknya untuk
membaiatnya.
Ketika
Ibn az-Zubair telah putus asa, ia memerintahkannya dan orang-orang yang
bersamanya dari Bani Hasyim dan yang lainnya untuk menetap di Syi’b
(celah di antara dua bukit) mereka di Mekkah, dan ia menempatkan
mata-mata untuk mengawasi mereka.
Kemudian
ia berkata kepada mereka, “Demi Allah, sungguh-sungguh kalian harus
membaiatku atau benar-benar aku akan membakar kalian dengan api…
Kemudian
ia menahan mereka di rumah-rumahnya dan mengumpulkan kayu bakar untuk
mereka, lalu mengelilingi rumah-rumah dengannya hingga sampai ujung
tembok. Sehingga seandainya ada satu kayu bakar menyala niscaya akan
membakar semuanya.
Di
saat itulah, sekelompok dari para pengikut Ibn al-Hanafiyyah berdiri
kepadanya dan berkata, “Biarkan kami membunuh Ibn az-Zubair dan
menenangkan manusia dari (perbuatan)nya.”
Ia
berkata, “Apakah kita akan menyalakan api fitnah dengan tangan-tangan
kita yang karenanya kita telah menyepi (memisahkan diri)…dan kita
membunuh seorang sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam dan
anak-anak dari sahabatnya?! Tidak, demi Allah kita tidak akan melakukan
sedikitpun apa yang manjadikan Allah dan Rasul-Nya murka.”
Berita
tentang apa yang diderita oleh Muhammad ibn al-Hanafiyah dan para
pengikutnya dari kekerasan Abdullah ibn az-Zubair sampai ke telinga
Abdul Malik ibn Marwan. Ia melihat kesempatan emas untuk menjadikan
mereka condong kepadanya.
Ia
lantas mengirim surat bersama seorang utusannya, yang seandainya ia
menulisnya untuk salah seorang anaknya tentunya ‘dialek’nya tidak akan
sehalus itu dan redaksinya tidak selembut itu.
Dan
di antara isi suratnya adalah, “Telah sampai berita kepadaku bahwa Ibn
az-Zubair telah mempersempit gerakmu dan orang-orang yang bersamamu…ia
memutus tali persaudaraanmu…dan merendahkan hakmu. Ini negeri Syam
terbuka di depanmu, siap menjemputmu dan orang-orang yang bersamamu
dengan penuh kelapangan dan keluasan…singgahlah di sana dimana engkau
mau, niscaya engkau akan menemukan penduduknya mengucapkan selamat
kepadamu dan para tetangga yang mencintaimu…dan engkau akan mendapatkan
kami orang-orang yang memahami hakmu…menghormati keutamaanmu…dan
menyambung tali persaudaraanmu Insya Allah…
Muhammad
ibn al-Hanafiyah dan orang-orang yang bersamanya berjalan menuju negeri
Syam…sesampainya di “Ublah”, mereka menetap di sana.
Penduduknya menempatkan mereka di tempat yang paling mulia dan menjamu mereka dengan baik sebaga tetangga.
Mereka
mencitai Muhammad ibn al-Hanafiyah dan mengagungkannya, karena apa yang
mereka lihat dari kedalaman (ketekunan) ibadahnya dan kejujuran
zuhudnya.
Ia
mulai menyuruh mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah mereka dari yang
munkar. Ia mendirikan syi’ar-syi’ar di antara mereka dan mengadakan
ishlah dalam perselisihan mereka. Ia tidak membiarkan seorang pun dari
manusia mendzalimi orang lain.
Di
saat berita itu sampai ke telinga Abdul Malik ibn Marwan, hal tersebut
memberatkan hatinya. Ia kemudian bermusyawarah dengan orang-orang
terdekatnya. Mereka berkata kepadanya, “Kami tidak berpendapat agar
engkau memperbolehkannya tinggal di kerajaanmu. Sedangkan sirahnya
sebagaimana yang engkau ketahui…entah ia membaiatmu…atau ia kembali ke
tempatnya semula.”
Maka,
Abdul Malik menulis surat untuknya dan berkata, “Sesungguhnya engkau
telah mendatangi negeriku dan engkau singgah di salah satu ujungnya. Dan
ini peperangan yang terjadi antara diriku dan Abdullah ibn az-Zubair.
Dan engkau adalah seseorang yang memiliki tempat dan nama di antara kaum
Muslimin. Dan aku melihat agar engkau tidak tinggal di negeriku kecuali
bila engkau membaiatku. Bila engkau membaiatku, aku akan memberimu
seratus kapal yang datang kepadaku dari “al-Qalzom” kemarin, ambillah
beserta apa yang ada padanya. Bersama itu engkau berhak atas satu juta
dirham ditambah dengan jumlah yang kamu tentukan sendiri untuk dirimu,
anak-anakmu, kerabatmu, budak-budakmu dan orang-orang yang bersamamu.
Bila engkau menolaknya maka pergilah dariku ke tempat yang aku tidak
memiliki kekuasaan atasnya.”
Muhammad
ibn al-Hanafiyah kemudian menulis balasan, “Dari Muhammad ibn Ali,
kepada Abdul Malik ibn Marwan. Assalamu ‘alaika…Sesungguhnya aku memuji
kepada Allah yang tidak ada Ilah yang berhak disembah selain Dia, (aku
berterima kasih) kepadamu. Amma ba’du…Barangkali engkau menjadi
ketakutan terhadapku. Dan aku mengira engkau adalah orang yang paham
terhadap hakikat sikapku dalam perkara ini. Aku telah singgah di Mekkah,
maka Abdullah ibn az-Zubair menginginkan aku untuk membaiatnya, dan
tatkala aku menolaknya ia pun berbuat jahat terhadap pertentanganku.
Kemudian engkau menulis surat kepadaku, memanggilku untuk tinggal di
negeri Syam, lalu aku singgah di sebuah tempat di ujung tanahmu di
karenakan harganya murah dan jauh dari markaz (pusat) pemerintahanmu.
Kemudian engkau menulis kepadaku apa yang telah engkau tuliskan. Dan
kami Insya Allah akan meninggalkanmu.”
Muhammad
ibn al-Hanafiyyah beserta orang-orangnya dan kelurganya meninggalkan
negeri Syam, dan setiap kali ia singgah di suatu tempat ia pun di usir
darinya dan diperintahkan agar pergi darinya.
Dan seakan-akan kesusahan belum cukup atasnya, hingga Allah berkehendak mengujinya dengan kesusahan lain yang lebih besar pengaruhnya dan lebih berat tekanannya…
Dan seakan-akan kesusahan belum cukup atasnya, hingga Allah berkehendak mengujinya dengan kesusahan lain yang lebih besar pengaruhnya dan lebih berat tekanannya…
Yang
demikian itu, bahwa sekelompok dari pengikutnya dari kalangan
orang-orang yang hatinya sakit dan yang lainnya dari kalangan
orang-orang lalai. Mereka mulai berkata, “Sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wassalam telah menitipkan di hati Ali dan keluarganya
banyak sekali rahasia-rahasia ilmu, qaidah-qaidah agama dan
perbendaharaan syariat. Beliau telah mengkhususkan Ahlul Bait dengan apa
yang orang lain tidak mengetahuinya.”
Orang
yang ‘alim, beramal dan mahir ini memahami betul apa yang diusung oleh
ucapan ini dari penyimpangan, serta bahaya-bahaya yang mungkin
diseretnya atas Islam dan Muslimin. Ia pun mengumpulkan manusia dan
berdiri mengkhutbahi mereka…ia memuji Allah AWJ dan menyanjungnya dan
bershalawat atas Nabi-Nya Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam…kemudian
berkata, “Sebagian orang beranggapan bahwa kami segenap Ahlul Bait
mempunyai ilmu yang Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam mengkhususkan
kami dengannya, dan tidak memberitahukan kepada siapapun selain kami.
Dan kami –demi Allah- tidaklah mewarisi dari Rasulullah melainkan apa
yang ada di antara dua lembaran ini, (dan ia menunjuk ke arah mushaf).
Dan sesungguhnya barangsiapa yang beranggapan bahwa kami mempunyai
sesuatu yang kami baca selain kitab Allah, sungguh ia telah berdusta.”
Adalah sebagian pengikutnya mengucapkan salam kepadanya, mereka berkata, “Assalamu’alaika wahai Mahdi.”
Ia
menjawab, “Ya, aku adalah Mahdi (yang mendapat petunjuk) kepada
kebaikan…dan kalian adalah para Mahdi kepada kebaikan Insya Allah…akan
tetapi apabila salah seorang dari kalian mengucapkan salam kepadaku,
maka hendaklah menyalamiku dengan namaku. Hendaklah ia berkata,
“Assalamu’alaika ya Muhammad.”
Tidak
berlangsung lama kebingungan Muhammad ibn al-Hanafiyyah tentang tempat
yang akan ia tinggali beserta orang-orang yang bersamanya…Allah telah
berkehendak agar al-Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqofi menumpas Abdullah ibn
az-Zubair…dan agar manusia seluruhnya membaiat Abdul Malik ibn Marwan.
Maka,
tidaklah yang ia lakukan kecuali menulis surat kepada Abdul Malik, ia
berkata, “Kepada Abdul Malik ibn Marwan, Amirul Mukminin, dari Muhammad
ibn Ali. Amma ba’du…Sesungguhnya setelah aku melihat perkara ini kembali
kepadamu, dan manusia membaiatmu. Maka, aku seperti orang dari mereka.
Aku membaiatmu untuk walimu di Hijaz. Aku mengirimkan baiatku ini secara
tertulis. Wassalamu’alaika.”
Ketika
Abdul Malik membacakan surat tersebut kepada para sahabatnya, mereka
berkata, “Seandainya ia ingin memecah tongkat ketaatan (baca: keluar
dari ketaatan) dan membikin perpecahan dalam perkara ini, niscaya ia
mampu melakukannya, dan niscaya engkau tidak memiliki jalan atasnya…Maka
tulislah kepadanya dengan perjanjian dan keamanan serta perjanjian
Allah dan Rasul-Nya agar ia tidak diusir dan diusik, ia dan para
sahabatnya.”
Abdul
Malik kemudian menulis hal tersebut kepadanya. Hanya saja Muhammad ibn
al-Hanafiyyah tidak hidup lama setelah itu. Allah telah memilihnya untuk
berada di sisi-Nya dalam keadaan ridla dan diridlai.
Semoga
Allah memberikan cahaya kepada Muhammad ibn al-Hanafiyah di kuburnya,
dan semoga Allah mengindahkan ruhnya di surga…ia termasuk orang yang
tidak menginginkan kerusakan di bumi tidak pula ketinggian di antara
manusia.
Sumber:
– Hilyah al-Auliyaa oleh Abu Nu’aim, III: 174, – Tahdziib at-Tahdziib,
IX:354, – Shifah ash-Shafwah oleh Ibnul Jauzi (cet. Halab), II: 77-79, –
Ath-Thabaqat al-Kubra oleh Ibnu Sa’d, V:91, – Al-Waafi bi al-Wafayaat
(terjemah): 1583, – Wafayaat al-A’yaan oleh Ibnu Kholaqan, IV:169, –
Al-Kamil, III:391 dan IV:250 pada kejadian-kejadian tahun 66 H, –
Syadzarat adz-Dzahab, I:89,- Tahdziib al-Asma Wa al-Lughaat, I:88-89, –
Al-Bad’u Wa at-Tarikh, V:75-76, – Al-Ma’arif oleh Ibnu Qutaibah: 123, –
Al-‘Iqd al-Farid oleh Ibnu Abdi Rabbih, tahqiq al-‘Urayyan, Juz II,III,V
dan VII
Tidak ada komentar:
Posting Komentar