Nuruddin Ar-Raniri adalah seorang ulama besar, penulis, ahli fikih, dan mufti yang sangat berpengaruh pada abad ke-16 Masehi.
Ia telah memberikan kontribusi yang amat berharga dalam pengembangan
pemikiran Islam di wilayah Asia Tenggara, khususnya di Kota Serambi
Mekah, Aceh.
Nama lengkapnya adalah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad bin Hamid Ar-Raniri Al-Quraisyi Asy-Syafi’i.
Ar-Raniri dilahirkan di Ranir (sekarang Rander), sebuah kota
pelabuhan tua di Pantai Gujarat, India. Tahun kelahirannya tidak
diketahui secara pasti. Namun, beberapa sumber menyebutkan, ia lahir
sekitar pertengahan kedua abad ke-16 M.
Ibunya seorang keturunan Melayu, sedangkan ayahnya berasal dari
keluarga imigran Hadramaut. Pendidikan awal dalam bidang keagamaan
diperoleh di tempat kelahirannya. Saat di Ranir, ia telah menguasai
berbagai ilmu agama.
Guru yang paling berpengaruh dalam diri Ar-Raniri adalah Abu Nafs
Sayyid Imam bin Abdullah bin Syaiban, seorang guru Tarekat Rifaiyah.
Kemudian, ia melanjutkan pendidikan ke Tarim, Hadramaut, wilayah Arab
bagian selatan, yang merupakan pusat studi agama Islam pada masa itu.
Setelah menamatkan pendidikan di Tarim, Ar-Raniri memutuskan kembali
ke Ranir. Di tanah kelahirannya, Ar-Raniri mengajarkan ilmu-ilmu yang
telah diperolehnya selama di Tarim, termasuk juga ajaran Tarekat
Rifaiyah yang dibawa oleh Syekh Ahmad Rifai.
Sebelum kembali ke India, pada tahun 1621 M, ar-Raniri sempat
mengunjungi Makkah dan Madinah untuk menunaikan ibadah haji dan
berziarah ke makam Nabi Muhammad SAW.
Di Tanah Suci inilah, dia menjalin hubungan dengan para jamaah haji
dan orang-orang yang sudah menetap dan belajar di Arab, yang kebetulan
berasal dari wilayah Nusantara. Jalinan hubungan inilah yang menjadi
awal mula bagi perjalanan intelektual Islam Ar-Raniri di kemudian hari.
Paham Wujudiyah
Meski hanya bermukim dalam waktu relatif singkat, peranan Ar-Raniri dalam perkembangan Islam di Nusantara tidak dapat diabaikan.
Dia berperan membawa tradisi besar Islam sembari mengeliminasi masuknya tradisi lokal ke dalam tradisi yang dibawanya tersebut.
Tanpa mengabaikan peran ulama lain yang lebih dulu menyebarkan Islam
di wilayah ini, Ar-Raniri berupaya menghubungkan satu mata rantai
tradisi Islam di Timur Tengah dengan tradisi Islam Nusantara.
Bahkan, Ar-Raniri merupakan ulama pertama yang membedakan penafsiran
doktrin dan praktik sufi yang salah dan benar. Pada saat Syekh ar-Raniri
tiba di Aceh, di wilayah tersebut telah berkembang luas paham
wujudiyah. Paham ini dianut dan dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin As-Sumatrani.
Azyumardi Azra dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran
Islam di Indonesia, menyatakan Ar-Raniri merupakan tokoh pembaru di
Aceh. Dengan dukungan dari para sultan di Aceh, ia memberantas aliran
wujudiyah yang dianggap sebagai aliran sesat yang bertentangan dengan
Alquran dan hadis.
Aliran wujudiyah ini berasal dari pemikiran dan ajaran panteisme Ibnu
Arabi yang kemudian dianut dan dikembangkan oleh Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin As-Sumatrani. Ajaran wujudiyah ini mengacu kepada dua hal,
yakni kesatuan wujud Tuhan dengan makhluk dan perbedaan antara syariat
dan hakikat.
Untuk menyanggah pendapat dan paham wujudiyah Hamzah Fansuri, ia
sengaja menulis beberapa kitab. Beberapa di antaranya adalah Asrar
Al-Arifin (Rahasia Orang yang Mencapai Pengetahuan Sanubari), Syarab
Al-Asyiqin (Minuman Para Kekasih), dan Al-Muntahi (Pencapai Puncak). Di
samping itu, ia juga menyanggah ajaran Hamzah melalui polemik-polemik
terbuka dengan para pengikut wujudiyah.
Terhadap masalah pertama yang menyatakan keesaan Tuhan dengan
makhluk, Syekh Ar-Raniri menjelaskan bahwa jika Tuhan dan makhluk
hakikatnya adalah satu; jadilah semua makhluk itu adalah Tuhan. Dengan
sifat-sifat ketuhanan, ia akan dapat mengetahui segala yang ada di
langit dan di bumi dan berbuat apa saja yang dikehendakinya.
Lebih lanjut, ia mengemukakan bahwa ajaran yang menyatakan ‘wujud
Allah itu adalah wujud makhluk dan wujud makhluk adalah wujud Allah’
mengandung empat kemungkinan yang mustahil terjadi pada Allah SWT.
Pertama, intiqal, artinya wujud Allah SWT berpindah kepada makhluk, seperti seseorang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
Kedua, ittihad, artinya dua wujud menjadi satu, seperti bersatunya emas dengan tembaga.
Ketiga, hulul, artinya wujud Allah SWT masuk ke
dalam makhluk, seperti air masuk ke dalam kendi. Keempat, ittisal,
artinya wujud Allah SWT berhubungan dengan makhluk, seperti manusia
dengan anggota tubuhnya.
Masalah kedua adalah syariat berbeda dengan hakikat. Menurut paham
ini, perbedaan Tuhan dengan makhluk hanya dari segi syariat, bukan dari
segi hakikat.
Syekh Ar-Raniri menolaknya dengan mengemukakan sejumlah pandangan
dari para ulama yang menyatakan kaitan yang sangat erat antara syariat
dan hakikat.
Kecakapan dan pengetahuan Syekh ar-Raniri sangat luas dan tidak
terbatas hanya dalam pengetahuan agama. Ilmunya juga mencakup berbagai
pengetahuan umum, seperti filsafat, sejarah, dan perbandingan agama.
Perjalanan hingga ke Nusantara
Sebagaimana layaknya kota-kota pelabuhan yang lain, Kota Ranir sangat
ramai dikunjungi para pendatang dari berbagai penjuru dunia. Ada yang
berasal dari Timur Tengah, Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika, dan
Eropa. Tujuan utama mereka adalah melakukan aktivitas bisnis dan mencari
sumber-sumber ekonomi baru.
Di samping itu, mereka juga berdakwah dan menyebarluaskan ilmu-ilmu
agama. Dari Ranir pula, mereka kemudian berlayar kembali menuju
pelabuhan-pelabuhan lain di Semenanjung Malaka dan Hindia untuk
keperluan yang sama.
Kehidupan para pendatang ini pada akhirnya turut memengaruhi pola
kehidupan penduduk lokal. Kemudian, jadilah orang-orang Ranir dikenal
sebagai masyarakat yang gemar merantau dari satu tempat ke tempat yang
lain.
Pola hidup yang berpindah-pindah seperti ini juga terjadi pada
keluarga besar Ar-Raniri sendiri, yaitu ketika pamannya, Syekh Muhammad
Jailani bin Hasan bin Muhammad Hamid Ar-Raniri, datang ke Aceh
(1580-1583 M) untuk berdagang sekaligus mengajar ilmu-ilmu agama.
Menurut Azyumardi Azra, kebanyakan dari para perantau ini biasanya
menetap di kota-kota pelabuhan di sepanjang pantai Samudera Hindia dan
wilayah-wilayah kepulauan Melayu-Indonesia lainnya.
Setelah beberapa tahun mengajar agama dan diangkat sebagai seorang
Syekh Tarekat Rifaiyah di India, Ar-Raniri memutuskan merantau ke
wilayah Nusantara dengan memilih Aceh sebagai tempat menetap.
Waktu kedatangan Ar-Raniri di Aceh diperkirakan pada 31 Mei 1637 M
atau bertepatan dengan 6 Muharram 1047 H. Namun, waktu kedatangan
ar-Raniri di wilayah Aceh itu hingga kini masih diragukan oleh sejumlah
pihak.
Ada dua keraguan yang menyebabkan hal itu. Pertama, jika dilihat dari
kemahirannya dalam berbahasa Melayu sebagaimana ditunjukkan dalam
kitab-kitabnya, sangat mustahil Ar-Raniri baru ke Aceh pada tahun 1637.
As-Sirat Al-Mustaqim misalnya, yang berbahasa Melayu telah disusunnya
pada tahun 1634. Keraguan kedua, jumlah karyanya yang menyampai 29 buku
tidak mungkin dapat diselesaikan hanya dalam waktu tujuh tahun selama
di Aceh (1637-1644 M).
Selain itu, hingga kini belum diketahui secara pasti sebab-sebab yang
mendorong dia memilih Aceh. Pilihan ini diduga karena Aceh ketika itu
sedang berkembang menjadi pusat perdagangan, kebudayaan, dan politik
serta pusat studi agama Islam di kawasan Asia Tenggara, menggantikan
Malaka yang telah jatuh ke tangan Portugis.
Adapun kemungkinan lainnya, Ar-Raniri mengikuti jejak pamannya yang
telah tiba di Aceh pada 1588 M. Setelah menetap di Aceh, Ar-Raniri
dikenal sebagai seorang ulama dan penulis yang produktif. Ia banyak
menulis kitab-kitab dalam berbagai cabang ilmu agama, seperti fikih,
hadis, akidah, sejarah, filsafat, perbandingan agama, dan lain-lain.
Dalam bidang fikih misalnya, bukunya yang terkenal adalah As-Sirat
Al-Mustaqim (Jalan Lurus). Buku ini membicarakan berbagai masalah
ibadah, antara lain shalat, puasa, dan zakat.
Ar-Raniri juga dikenal sebagai ulama yang berjasa dalam
menyebarluaskan bahasa Melayu di kawasan Asia Tenggara. Kitab-kitab
beliau ditulis dalam bahasa Melayu dan sangat populer serta dikenal luas
oleh umat Islam di kawasan Asia Tenggara. Karya-karyanya ini telah
membuat bahasa Melayu semakin populer dan tersebar luas sebagai lingua
franca serta menjadi bahasa Islam kedua setelah bahasa Arab. (republika.co.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar