Riba: Definisi, Hukum, dan Macamnya
Definisi Riba 
Secara literal, riba bermakna tambahan (al-ziyadah)[1]. Sedangkan menurut istilah; Imam Ibnu al-‘Arabiy mendefinisikan riba dengan; semua tambahan yang tidak disertai dengan adanya pertukaran kompensasi.[2] Imam Suyuthiy dalam Tafsir Jalalain menyatakan, riba adalah tambahan yang dikenakan di dalam mu’amalah, uang, maupun makanan, baik dalam kadar maupun waktunya[3]. Di dalam kitab al-Mabsuuth, Imam Sarkhasiy menyatakan bahwa riba adalah al-fadllu al-khaaliy ‘an al-‘iwadl al-masyruuth fi al-bai’ (kelebihan atau tambahan yang tidak disertai kompensasi yang disyaratkan di dalam jual beli). Di dalam jual beli yang halal terjadi pertukaran antara harta dengan harta. Sedangkan
 jika di dalam jual beli terdapat tambahan (kelebihan) yang tidak 
disertai kompensasi, maka hal itu bertentangan dengan perkara yang 
menjadi konsekuensi sebuah jual beli, dan hal semacam itu haram menurut 
syariat.[4] Dalam Kitab al-Jauharah al-Naiyyirah,
 disebutkan; menurut syariat, riba adalah aqad bathil dengan sifat 
tertentu, sama saja apakah di dalamnya ada tambahan maupun tidak. Perhatikanlah,
 anda memahami bahwa jual beli dirham dengan dirham yang pembayarannya 
ditunda adalah riba; dan di dalamnya tidak ada tambahan[5]. 
Di dalam Kitab Nihayat al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaaj, disebutkan; menurut syariat, riba adalah ‘aqd
 ‘ala ‘iwadl makhshuush ghairu ma’luum al-tamaatsul fi mi’yaar al-syar’ 
haalat al-‘aqd au ma ta`khiir fi al-badalain au ahadihimaa” (aqad 
atas sebuah kompensasi tertentu yang tidak diketahui kesesuaiannya dalam
 timbangan syariat, baik ketika aqad itu berlangsung maupun ketika ada 
penundaan salah satu barang yang ditukarkan)[6].
Dalam Kitab Hasyiyyah al-Bajairamiy ‘ala al-Khathiib disebutkan; menurut syariat, riba adalah ‘aqd
 ‘ala ‘iwadl makhshuush ghairu ma’luum al-tamaatsul fi mi’yaar al-syar’ 
haalat al-‘aqd au ma ta`khiir fi al-badalain au ahadihimaa” (aqad 
atas sebuah kompensasi tertentu yang tidak diketahui kesesuaiannya dalam
 timbangan syariat, baik ketika aqad itu berlangsung maupun ketika ada 
penundaan salah satu barang yang ditukarkan, maupun keduanya)”. Riba 
dibagi menjadi tiga macam; riba fadlal, riba yadd, riba nasaa`[7]. Pengertian riba semacam ini juga disebutkan di dalam Kitab Mughniy al-Muhtaaj ila Ma’rifat al-Faadz al-Minhaaj.[8]
Hukum Riba
Seluruh ‘ulama sepakat mengenai keharaman riba, baik yang dipungut sedikit maupun banyak. Seseorang
 tidak boleh menguasai harta riba; dan harta itu harus dikembalikan 
kepada pemiliknya, jika pemiliknya sudah diketahui, dan ia hanya berhak 
atas pokok hartanya saja. 
Al-Quran dan Sunnah dengan sharih telah menjelaskan keharaman riba dalam berbagai bentuknya; dan seberapun banyak ia dipungut. Allah swt berfirman;
الَّذِينَ
 يَأْكُلُونَ الرِّبا لا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي 
يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا 
إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ 
الرِّبا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا 
سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ 
النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ 
“Orang-orang
 yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti 
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila
 keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata 
(berpendapat), “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,” padahal 
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang 
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti 
(dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu 
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang 
yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni 
neraka; mereka kekal di dalamnya”. [TQS Al Baqarah (2): 275].
يَا أَيُّهَا
 الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبا 
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ، فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ 
مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ 
لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ 
Hai
 orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa 
riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika
 kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa
 Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari 
pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan 
tidak (pula) dianiaya”. [TQS Al Baqarah (2): 279].
 Di dalam Sunnah, Nabiyullah Mohammad saw 
دِرْهَمُ رِبَا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتٍّ وَثَلَاثِيْنَ زِنْيَةً
“Satu
 dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui (bahwa itu 
adalah riba), maka itu lebih berat daripada enam puluh kali zina”. (HR Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah).
الرِبَا
 ثَلاثَةٌَ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ 
الرَّجُلُ أُمَّهُ, وَإِنَّ أَرْبَى الرِّبَا عَرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمَ
“Riba
 itu mempunyai 73 pintu, sedang yang paling ringan seperti seorang 
laki-laki yang menzinai ibunya, dan sejahat-jahatnya riba adalah 
mengganggu kehormatan seorang muslim”. (HR Ibn Majah).
لَعَنَ
 رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّباَ 
وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ 
“Rasulullah
 saw melaknat orang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya, 
dan dua orang saksinya. Belia bersabda; Mereka semua sama”. (HR Muslim)
Di dalam Kitab al-Mughniy, Ibnu Qudamah mengatakan, “Riba diharamkan berdasarkan Kitab, Sunnah, dan Ijma’. Adapun
 Kitab, pengharamannya didasarkan pada firman Allah swt,”Wa harrama 
al-riba” (dan Allah swt telah mengharamkan riba) (Al-Baqarah:275) dan 
ayat-ayat berikutnya. Sedangkan Sunnah; telah diriwayatkan 
dari Nabi saw bahwasanya beliau bersabda, “Jauhilah oleh kalian 7 
perkara yang membinasakan”. Para shahabat bertanya, “Apa itu, Ya Rasulullah?”. Rasulullah
 saw menjawab, “Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan
 Allah kecuali dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari 
dari peperangan, menuduh wanita-wanita Mukmin yang baik-baik berbuat 
zina”. Juga didasarkan pada sebuah riwayat, bahwa Nabi saw telah 
melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]…Dan umat Islam telah berkonsensus mengenai keharaman riba.”[9]
Imam al-Syiraaziy di dalam Kitab al-Muhadzdzab menyatakan; riba merupakan perkara yang diharamkan. Keharamannya didasarkan pada firman Allah swt, “Wa ahall al-Allahu al-bai` wa harrama al-riba” (Allah swt telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba)[Al-Baqarah:275], dan juga firmanNya, “al-ladziina
 ya`kuluuna al-riba laa yaquumuuna illa yaquumu al-ladziy 
yatakhabbathuhu al-syaithaan min al-mass” (orang yang memakan riba tidak
 bisa berdiri, kecuali seperti berdirinya orang yang kerasukan setan)”. [al-Baqarah:275]…..Ibnu
 Mas’ud meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw melaknat 
orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya”. [HR. Imam 
Bukhari dan Muslim][10] 
Imam al-Shan’aniy di dalam Kitab Subul al-Salaam mengatakan; seluruh umat telah bersepakat atas haramnya riba secara global[11]. 
Di dalam Kitab I’aanat al-Thaalibiin disebutkan; riba termasuk dosa besar, bahkan termasuk sebesar-besarnya dosa besar (min akbar al-kabaair). Pasalnya, Rasulullah saw telah melaknat orang yang memakan riba, wakil, saksi, dan penulisnya. Selain itu, Allah swt dan RasulNya telah memaklumkan perang terhadap pelaku riba. Di dalam Kitab al-Nihayah dituturkan bahwasanya dosa riba itu lebih besar dibandingkan dosa zina, mencuri, dan minum khamer.[12] Imam Syarbiniy di dalam Kitab al-Iqna’ juga menyatakan hal yang sama[13].Mohammad bin Ali bin Mohammad al-Syaukaniy menyatakan; kaum Muslim sepakat bahwa riba termasuk dosa besar.[14]
Imam Nawawiy di dalam Syarh Shahih Muslim juga menyatakan bahwa kaum Muslim telah sepakat mengenai keharaman riba jahiliyyah secara global[15]. Mohammad Ali al-Saayis di dalam Tafsiir Ayaat Ahkaam menyatakan, telah terjadi kesepakatan atas keharaman riba di dalam dua jenis ini (riba nasii’ah dan riba fadlal). Keharaman
 riba jenis pertama ditetapkan berdasarkan al-Quran; sedangkan keharaman
 riba jenis kedua ditetapkan berdasarkan hadits shahih[16]. Abu Ishaq di dalam Kitab al-Mubadda’ menyatakan; keharaman riba telah menjadi konsensus, berdasarkan al-Quran dan Sunnah[17].
Jenis-jenis Riba
Riba terbagi menjadi empat macam; (1) riba nasiiah (riba jahiliyyah); (2) riba fadlal; (3) riba qaradl; (4) riba yadd. 
Riba Nasii`ah. Riba
 Nasii`ah adalah tambahan yang diambil karena penundaan pembayaran utang
 untuk dibayarkan pada tempo yang baru, sama saja apakah tambahan itu 
merupakan sanksi atas keterlambatan pembayaran hutang, atau sebagai 
tambahan hutang baru. Misalnya, si A meminjamkan uang sebanyak 200 juta 
kepada si B; dengan perjanjian si B harus mengembalikan hutang tersebut 
pada tanggal 1 Januari 2009; dan jika si B menunda pembayaran hutangnya 
dari waktu yang telah ditentukan (1 Januari 2009), maka si B wajib 
membayar tambahan atas keterlambatannya; misalnya 10% dari total hutang. Tambahan
 pembayaran di sini bisa saja sebagai bentuk sanksi atas keterlambatan 
si B dalam melunasi hutangnya, atau sebagai tambahan hutang baru karena 
pemberian tenggat waktu baru oleh si A kepada si B. Tambahan inilah yang disebut dengan riba nasii’ah.
Adapun dalil pelarangannya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim;
الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ
 ” Riba itu dalam nasi’ah”.[HR Muslim dari Ibnu Abbas]
Ibnu Abbas berkata: Usamah bin Zaid telah menyampaikan kepadaku bahwa Rasulullah saw bersabda: 
آلاَ إِنَّمَا الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ
 “Ingatlah, sesungguhnya riba itu dalam nasi’ah”. (HR Muslim). 
Riba Fadlal. Riba fadlal adalah riba yang diambil dari kelebihan pertukaran barang yang sejenis. Dalil pelarangannya adalah hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim. 
الذَّهَبُ
 بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ 
وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ 
بِالْمِلْحِ مِثْلًا بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا 
اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ 
يَدًا بِيَدٍ
“Emas
 dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan 
sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, semisal, setara, dan 
kontan. Apabila jenisnya berbeda, juallah sesuka hatimu jika dilakukan 
dengan kontan”.HR Muslim dari Ubadah bin Shamit ra).
الذَّهَبُ
 بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ
 وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَهُوَ 
رِبًا
“Emas
 dengan emas, setimbang dan semisal; perak dengan perak, setimbang dan 
semisal; barang siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka 
(tambahannya) itu adalah riba”. (HR Muslim dari Abu Hurairah). 
عن
 فضالة قال: اشتريت يوم خيبر قلادة باثني عشر دينارًا فيها ذهب وخرز، 
ففصّلتها فوجدت فيها أكثر من اثني عشر ديناراً، فذكرت ذلك للنبي صلّى الله 
عليه وسلّم فقال: ”لا تباع حتى تفصل“
“Dari
 Fudhalah berkata: Saya membeli kalung pada perang Khaibar seharga dua 
belas dinar. Di dalamnya ada emas dan merjan. Setelah aku pisahkan 
(antara emas dan merjan), aku mendapatinya lebih dari dua belas dinar. 
Hal itu saya sampaikan kepada Nabi saw. Beliau pun bersabda, “Jangan 
dijual hingga dipisahkan (antara emas dengan lainnya)”. (HR Muslim dari Fudhalah)
Dari Said bin Musayyab bahwa Abu Hurairah dan Abu Said:
أن
 رسول الله صلّى الله عليه وسلّم بعث أخا بني عدي الأنصاري فاستعمله على 
خيبر، فقدم بتمر جنيب [نوع من التمر من أعلاه وأجوده] فقال رسول الله صلّى 
الله عليه وسلّم: ”أكلّ تمر خيبر هكذا“؟ قال: لا والله يا رسول الله، إنا 
لنشتري الصاع بالصاعين من الجمع [نوع من التمر الرديء وقد فسر بأنه الخليط 
من التمر]، فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: ”لا تفعلوا ولكن مثلاً 
بمثل أو بيعوا هذا واشتروا بثمنه من هذا، وكذلك الميزان“
“Sesungguhnya
 Rasulullah saw mengutus saudara Bani Adi al-Anshari untuk dipekerjakan 
di Khaibar. Kamudia dia datang dengan membawa kurma Janib (salah satu 
jenis kurma yang berkualitas tinggi dan bagus). Rasulullah saw bersabda,
 “Apakah semua kurma Khaibar seperti itu?” Dia menjawab, “Tidak, wahai 
Rasulullah . Sesunguhnya kami membeli satu sha’ dengan dua sha’ dari 
al-jam’ (salah satu jenis kurma yang jelek, ditafsirkan juga campuran 
kurma). Rasulullah saw bersabda, “Jangan kamu lakukan itu, tapi 
(tukarlah) yang setara atau juallah kurma (yang jelek itu) dan belilah 
(kurma yang bagus) dengan uang hasil penjualan itu. Demikianlah 
timbangan itu”. (HR Muslim).
Riba al-Yadd. Riba yang disebabkan karena penundaan pembayaran dalam pertukaran barang-barang. Dengan
 kata lain, kedua belah pihak yang melakukan pertukaran uang atau barang
 telah berpisah dari tempat aqad sebelum diadakan serah terima. Larangan riba yadd ditetapkan berdasarkan hadits-hadits berikut ini;
الذَّهَبُ
 بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا 
إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ 
وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
“Emas
 dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum
 riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali 
dengan dibayarkan kontan; kismis dengan kismis riba, kecuali dengan 
dibayarkan kontan (HR al-Bukhari dari Umar bin al-Khaththab)
الْوَرِقُ
 بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا 
إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ 
وَهَاءَ وَالتَّمْرُِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ 
“Perak dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan; gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan“. [Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz IV, hal. 13]
Riba Qardl. Riba
 qaradl adalah meminjam uang kepada seseorang dengan syarat ada 
kelebihan atau keuntungan yang harus diberikan oleh peminjam kepada 
pemberi pinjaman. Riba semacam ini dilarang di dalam Islam berdasarkan hadits-hadits berikut ini;
Imam Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Burdah bin Musa; ia berkata, ““Suatu ketika, aku mengunjungi Madinah. Lalu aku berjumpa dengan Abdullah bin Salam. Lantas orang ini berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya engkau berada di suatu tempat yang di sana praktek riba telah merajalela. Apabila
 engkau memberikan pinjaman kepada seseorang lalu ia memberikan hadiah 
kepadamu berupa rumput kering, gandum atau makanan ternak, maka 
janganlah diterima. Sebab, pemberian tersebut adalah riba”. [HR. Imam Bukhari] 
Juga, Imam Bukhari dalam “Kitab Tarikh”nya, meriwayatkan sebuah Hadits dari Anas ra bahwa Rasulullah SAW telah bersabda, “Bila ada yang memberikan pinjaman (uang maupun barang), maka janganlah ia menerima hadiah (dari yang meminjamkannya)”.[HR. Imam Bukhari]
Hadits
 di atas menunjukkan bahwa peminjam tidak boleh memberikan hadiah kepada
 pemberi pinjaman dalam bentuk apapun, lebih-lebih lagi jika si peminjam
 menetapkan adanya tambahan atas pinjamannya. Tentunya ini lebih dilarang lagi. 
Pelarangan riba qardl juga sejalan dengan kaedah ushul fiqh, “Kullu qardl jarra manfa’atan fahuwa riba”. (Setiap pinjaman yang menarik keuntungan (membuahkan bunga) adalah riba”.[Sayyid Saabiq, Fiqh al-Sunnah, (edisi terjemahan); jilid xii, hal. 113]
Praktek-praktek
 riba yang sering dilakukan oleh bank adalah riba nasii’ah, dan riba 
qardl; dan kadang-kadang dalam transaksi-transaksi lainnya, terjadi riba
 yadd maupun riba fadlal. Seorang Muslim wajib menjauhi sejauh-jauhnya praktek riba, apapun jenis riba itu, dan berapapun kuantitas riba yang diambilnya. Seluruhnya adalah haram dilakukan oleh seorang Muslim. [Syamsuddin Ramadhan An Nawiy- Lajnah Tsaqafiyyah]
[1] Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 6, hal. 7; Ibnu al-‘Arabiy, Ahkaam al-Quraan, juz 1, hal. 320; Mohammad Ali As-Saayis, Tafsiir Ayaat al-Ahkaam, juz 1, hal. 16; Subulus Salam, juz 3, 16; al-Mabsuuth, juz 14, hal. 461; Abu Ishaq, Al-Mubadda’, juz 4, hal. 127; al-‘Inayah Syarh al-Hidayah, juz 9, hal. 291; al-Jauharah al-Nayyiirah, juz 2, hal. 298; Mughniy al-Muhtaaj ila Syarh al-Faadz al-Minhaaj, juz 6, hal. 309; Kitab Hasyiyyah al-Bajiiramiy ‘ala al-Khathiib, juz 7, hal.328; Syarh Muntahiy al-Idaraat, juz 5, hal. 10; Imam al-Jashshash, Ahkaam al-Quran, juz 2, hal. 183; Imam al-Jurjaniy, al-Ta’riifaat, juz 1, hal. 146; Imam al-Manawiy, al-Ta’aariif, juz 1, hal. 354; Abu Ishaq, Al-Mubadda’, juz 4, hal. 127;  al-Bahutiy, al-Raudl al-Murbi’, juz 2, hal. 106; Kasyaaf al-Qanaa’, juz 3, hal. 251; Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz 4, hal. 25; Imam Al-Dimyathiy, I’anat al-Thaalibiin, juz 3, hal. 16; Imam Syaukaniy, Nail al-Authar, juz 5, 273; 
[2]  Imam Ibnu al-‘Arabiy, Ahkaam al-Quran, juz 1, hal. 321
[3] Imam Suyuthiy, Tafsir Jalalain, surat al-Baqarah:275
[4]  al-Mabsuuth, juz 14, hal. 461; Fath al-Qadiir,juz 15, hal. 289
[5] Kitab al-Jauharah al-Naiyyirah, juz 2, hal. 298
[6] Kitab Nihayat al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaaj, juz 11, hal. 309; lihat juga Asniy al-Mathaalib, juz 7, hal. 471.
[7] Kitab Hasyiyyah al-Bajiiramiy ‘ala al-Khathiib, juz 7, hal.328
[8]  Mughniy al-Muhtaaj ila Syarh al-Faadz al-Minhaaj, juz 6, hal. 309
[9]  Imam Ibnu Qudamah, Al-Mughniy, juz 4, hal. 25 
[10]  Imam al-Syiraaziy, al-Muhadzdzab, juz 1, hal. 270
[11]  Imam al-Shan’aaniy, Subul al-Salaam, juz 3, hal. 36
[12]  Imam Al-Dimyathiy, I’anat al-Thaalibiin, juz 3, hal. 16
[13] Imam Syarbiniy, Kitab al-Iqna’, juz 2, hal. 633. 
[14]  Imam Syaukaniy, Sail al-Jiraar, juz 3, hal. 74
[15] Imam Nawawiy, Syarh Shahih Muslim, juz 11, hal. 9
[16]  Mohammad Ali al-Saayis, Tafsiir Ayat al-Ahkaam, juz 1, hal. 162
[17]  Abu Ishaq, al-Mubadda’, juz 4, hal. 127

Tidak ada komentar:
Posting Komentar