UTSMAN BIN MAZH'UN
MENGABAIKAN KESENANGAN HIDUP DUNIAWI
(Kisah Sahabat ke-18)
Seandainya anda hendak bermaksud menyusun
daftar nama shahabat Rasulullah saw. menurut urutan masa masuknya ke
dalam Agama Islam, maka pada urutan keempat belas tentulah da akan
tempatkan Utsman bin Mazh’un ….
Anda ketahui pula bahwa Utsman bin
Mazh’un ini seorang muhajirin yang mula pertama wafat di Madinah,
sebagaimana ia adalah orang Islam pertama yang dimakamkan di Baqi’ .. .
Dan akhirnva ketahuilah bahwa shahabat
mulia yang sedang anda tela’ah riwayat hidupnya sekarang ini, adalah
seorang suci yang agung tapi bukan dari kalangan yang suka memencilan
diri, ia seorang suci yang terjun di arena kehidupan …. ! dan
kesuciannya itu berupa amal yang tidak henti-hentinya dalam menempuh
jalan kebenaran, serta ketekunannya yang pantang menyerah dalam mencapai
kemashlahatan dan kebaikan
Tatkala Agama Islam cahayanya mulai menyinar dari kalbu Rasulullah saw. dan dari ucapan-ucapan yang disampaikannya di beberapa
majlis, baik secara diam-diam maupun terang-terang, maka Utsman bin
Mazh’un adalah salah seorang dari beberapa gelintir manusia yang segera
menerima panggilan Ilahi dan menggabungkan diri ke dalam kelompok
pengikut Rasulullah . . . . Dan ia ditempa oleh berbagai derita dan
siksa, sebagaimana dialami oleh orang-orang Mu’min lainnya, dari
golongan berhati tabah dan shabar . . .
Ketika Rasulullah saw. mengutamakan
keselamatan golongan kecil dari orang-orang beriman dan teraniaya ini,
dengan jalan menyuruh mereka berhijrah ke Habsyi, dan beliau siap
menghadapi bahaya seorang diri, maka Utsman bin Mazh’un terpilih
sebagai pemimpin rombongan pertama dari muhajirin ini. Dengan membawa
puteranya yang bernama Saib, dihadapkannya muka dan dilangkahkannya kaki
ke suatu negeri yang jauh, menghindar dari tiap daya musuh Allah Abu
Jahal, dan kebuasan orang Quraisy serta kekejaman siksa mereka ….
Dan sebagaimana muhajirin ke Habsyi
lainnya pada kedua -hijrah tersebut, yakni yang pertama dan yang kedua,
maka tekad dan kemauan Utsman untuk berpegang teguh pada Agama Islam
kian bertambah besar.
Memang, kedua hijrah ke Habsyi itu telah
menampilkan corak perjuangan tersendiri yang mantap dalam sejarah ummat
Islam. Orang-orang yang beriman dan mengakui kebenaran Rasulullah saw.
serta mengikuti Nur Ilahi yang diturunkan kepada beliau, telah merasa
muak terhadap pemujaan berhala dengan segala kesesatan dan kebodohannya.
Dalam diri mereka masing-masing telah tertanam fitrah yang benar yang
tidak bersedia lagi menyembah patung-patung yang dipahat dari batu atau
dibentuk dari tanah liat.
Dan ketika mereka berada di Habsyi, di
sana mereka menghadapi suatu agama yang teratur dan tersebar luas,
mempunyai gereja-gereja, rahib-rahib serta pendeta-pendeta. Serta agama
itu jauh dari agama berhala yang telah mereka kenal di negeri mereka,
begitu juga cara penyembahan patung-patung dengan bentuknya yang tidak
asing lagi serta dengan upacara-upacara ibadat yang biasa mereka
saksikan di kampung halaman mereka. Dan tentulah pula orang-orang gereja
di negeri Habsyi itu telah , berusaha sekuat daya untuk menarik
orang-orang muhajirin ke dalam agama mereka, dan meyakinkan kebenaran
agama Masehi.
Tetapi semua yang kita sebutkan tadi
mendorong Kaum Muhajirin berketetapan hati dan tidak beranjak dari
kecintaan mereka yang mendalam terhadap Islam dan terhadap Muhammad
,Rasulullah saw Dengan hati rindu dan gelisah mereka menunggu suatu
saat yang telah dekat, untuk dapat pulang ke kampung halaman tercinta,
untuk ber’ibadat kepada Allah yang Maha Esa dan berdiri di belakang Nabi
Besar, baik dalam mesjid
di waktu damai, maupun di medan tempur di saat mempertahankan diri dari ancaman kaum musyrikin ….
di waktu damai, maupun di medan tempur di saat mempertahankan diri dari ancaman kaum musyrikin ….
Demikianlah Kaum Muhajirin tinggal di
Habsyi dalam keadaan aman dan tenteram, termasuk di antaranya Utsman
bin Mazh’un yang dalam perantauannya itu tidak dapat melupakan
rencana-rencana jahat saudara sepupunya Umayah bin Khalaf an bencana
siksa yang ditimpakan atas dirinya.
Maka dihiburlah dirinya dengan menggubah sya’ir yang berisikan sindiran dan peringatan terhadap saudaranya itu, katanya: . .
“Kamu melengkapi panah dengan bulu-bulunya Kamu runcing ia setajam-tajamnya
Kamu perangi orang-orang yang suci lagi mulia
Kamu celakan orang-orang yang berwibawa
Ingatlah nanti saat bahaya datang menimpa
Perbuatanmu akan mendapat balasan dari rakyat jelata
Kamu perangi orang-orang yang suci lagi mulia
Kamu celakan orang-orang yang berwibawa
Ingatlah nanti saat bahaya datang menimpa
Perbuatanmu akan mendapat balasan dari rakyat jelata
Dan tatkala orang-orang muhajirin di
tempat mereka hijrah itu beribadat kepada Allah dengan tekun serta
mempelajari ayat-ayat al-Quran yang ada pada mereka, dan walaupun dalam
perantauan tapi memiliki jiwa yang hidup dan bergejolak . . . ,
tiba-tiba sampailah berita kepada mereka bahwa orang-orang Quraisy telah
menganut Islam, dan mengikuti Rasulullah bersujud kepada Allah
Maka bangkitlah orang-orang muhajirin
mengemasi barang-barang mereka, dan bagaikan terbang mereka berangkat
ke Mekah, dibawa oleh kerinduan dan didorong cinta pada kampung halaman.
. Tetapi baru Saja mereka sampai di dekat kota, ternyatalah berita
tentang masuk Islamnya orang-orang Quraisy itu hanyalah dusta belaka.
Ketika itu mereka merasa amat terpukul karena telah berlaku ceroboh dan
tergesa-gesa. Tetapi betapa mereka akan kembali, padahal kota Mekah
telah berada di hadapan mereka … ?
Dalam pada itu orang-orang musyrik di
kota Mekah telah mendengar datangnya buronan yang telah lama mereka
kejar-kejar dan pasang perangkap untuk menangkapnya. Dan sekarang . . .
datanglah sudah saat mereka, dan nasib telah membawa mereka ke tempat
ini I
Perlindungan, ketika itu merupakan suatu
tradisi di antara tradisi-tradisi Arab yang memiliki kekudusan dan
dihormati. Sekiranya ada seorang yang lemah yang beruntung masuk dalam
perlindungan salah seorang pemuka Quraisy, maka ia akan berada dalam
suatu pertahanan yang kokoh, hingga darahnya tak boleh ditumpahkan dan
keamanan dirinya dan perlu dikhawatirkan.
Sebenarnya orang-orang yang mencari
perlindungan itu tidaklah sama kemampuan mereka untuk mendapatkannya.
Itulah sebabnya hanya sebagian kecil saja yang berhasil, termasuk di
antaranya Utsman bin Mazh’un yang berada dalam perlindungan Walid bin
Mughirah. Ia masuk ke dalam kota Mekah dalam keadaan aman dan tenteram,
dan menyeberangi jalan serta gang-gangnya, menghadiri tempat-tempat
pertemuan tanpa khawatir akan kedhaliman dan marabahaya
Tetapi Ibnu Mazh’un, laki-laki yang
ditempa al-Quran dan dididik oleh Muhammad saw. ini memperhatikan
keadaan sekelilingnya. Dilihatnya saudara-saudara sesama Muslimin,
yakni golongan faqir miskin dan orang-orang yang tidak berdaya, tiada
mendapatkan perlindungan dan tidak mendapatkan orang yang sedia
melindungi mereka ….
Dilihatnya mereka diterkam bahaya dari
segala jurusan, dikejar kedhaliman dari setiap jalan. Sementara ia
sendiri aman tenteram, terhindar dari gangguan bangsanya. Maka ruhnya
yang biasa bebas itu berontak, dan perasaannya yang mulai bergejolak,
dan menyesallah is atas tindakan yang telah diambilnya.
Utsman keluar dari rumahnya dengan niat
yang bulat dan tekad yang pasti hendak menanggalkan perlindungan yang
dipikul Walid. Selama itu perlindungan tersebut telah menjadi penghalang
baginya untuk dapat meni’mati derita di jalan Allah dan kehormatan
senasib sepenanggungan bersama saudaranya Kaum Muslimin merupakan
tunas-tunas dunia beriman dan generasi alam baru yang esok pagi akan
terpancar cahaya ke seluruh penjuru, cahaya keimanan dan ketauhidan ….
Maka marilah kita dengar cerita dari saksi mata yang melukiskan bagi kita peristiwa yang telah terjadi, katanya:
“Ketika Utsman bin Mazh’un menyaksikan
penderitaan yang dialami oleh para shahabat Rasulullah saw., sementara
ia sendiri pulang pergi dengan aman dan tenteram disebabkan perlindungan
Walid bin Mughirah, katanya: ‘Demi Allah, sesungguhnya mondar-mandirku
dalam keadaan aman disebabkan perlindungan seorang tokoh golongan
musyrik, sedang teman-teman sejawat dan kawan-kawan seagama menderita
adzab dan siksa yang tidak kualami, merupakan suatu kerugian besar
bagiku …. !
Lalu ia pergi mendapatkan Walid bin
Mughirah, katanya: ‘Wahai Abu Abdi Syams, cukuplah sudah perlindungan
anda, dan sekarang ini saya melepaskan diri dari perlindungan anda. . .
“ kenapa wahai keponakanku . . . ?” ujar walid , mungkin ada salah seorang anak buahku mengganggu mu . . . ?”
“Tidak’, ujar Utsman, ‘hanya saya ingin
berlindung kepada Allah, dan tak suka lagi kepada lain-Nya … !’
Karenanya pergilah anda, ke mesjid serta umumkanlah maksudku ini secara
terbuka seperti anda, dahulu mengumumkan perlindungan terhadap diriku!’
Lalu pergilah mereka berdua ke mesjid,
maka kata Walid: ‘Utsman ini datang untuk mengembalikan kepadaku jaminan
perlindungan terhadap dirinya”.
Ulas Utsman: “Betullah kiranya apa yang
dikatakan itu . . ternyata ia seorang yang memegang teguh janjinya . “
hanya keinginan saya agar tidak lagi mencari perlindungan kecuali kepada
Allah Ta’ala
Setelah itu Utsman pun berlalulah, sedang
di salah satu gedung pertemuan kaum Quraisy, Lubaid bin Rabi’ah
menggubah sebuah sya’ir dan melagukannya di hadapan mereka,. hingga
Utsman jadi tertarik karenanya dan ikut duduk bersama mereka. Kata
Lubaid:
“Ingatlah bahwa apa juga yang terdapat di bawah kolong ini selain daripada Allah adalah hampa!”
“Benar ucapan anda itu”, kata Utsman menanggapinya. Kata Lubaid lagi:
“Dan semua kesenangan, tak dapat tiada lenyap dan sirna!” “Itu dusta!”, kata Utsman, “karena kesenangan surga takkan lenyap . . .”.
“Benar ucapan anda itu”, kata Utsman menanggapinya. Kata Lubaid lagi:
“Dan semua kesenangan, tak dapat tiada lenyap dan sirna!” “Itu dusta!”, kata Utsman, “karena kesenangan surga takkan lenyap . . .”.
Kata Lubaid: “Hai orang-orang Quraisy!
Demi Allah, tak pernah aku sebagai teman duduk kalian disakiti orang
selama ini. Bagaimana sikap kalian kalau ini terjadi?”
Maka berkatalah salah seorang di antara
mereka: “Si tolol ini telah meninggalkan agama kita . . . ! Jadi tak
usah digubris apa ucapannya!”
Utsman membalas ucapannya itu hingga di
antara mereka tejadi pertengkaran. Orang itu tiba-tiba bangkit mendekati
Utsman lalu meninjunya hingga tepat mengenai matanya, sementara Walid
bin Mughirah masih berada di dekat itu dan menyaksikan apa yang terjadi.
Maka katanya kepada Utsman: “Wahai
keponakanku, jika matamu kebal terhadap bahaya yang menimpa, maka
sungguh, benteng perlindunganmu amat tangguh … !”
Ujar Utsman: “Tidak, bahkan mataku yang
sehat ini amat membutuhkan pula pukulan yang telah dialami saudaranya di
jalan Allah . . . ! Dan sungguh wahai Abu Abdi Syamas, saya berada
dalam perlindungan Allah yang lebih kuat dan lebih mampu daripadamu I”
“Ayohlah Utsman”, kata Walid pula, “jika kamu ingin, kembalilah masuk ke dalam perlindunganku … !”
“Terima kasih . . .!” ujar Ibnu Mazh’un menolak tawaran itu.
“Ayohlah Utsman”, kata Walid pula, “jika kamu ingin, kembalilah masuk ke dalam perlindunganku … !”
“Terima kasih . . .!” ujar Ibnu Mazh’un menolak tawaran itu.
Ibnu Mazh’un meninggalkan tempat itu,
tempat terjadinya .peristiwa tersebut dengan mata yang pedih dan
kesakitan, tetapi jiwanya yang besar memancarkan keteguhan hati dan
kesejahteraan serta penuh harapan
Di tengah jalan menuju rumahnya dengan gembira ia mendendangkan pantun ini:
“Andaikata dalam mencapai ridla Ilahi
Mataku ditinju tangan jahil orang mulhidi
Maka Yang Maha Rahman telah menyediakan imbalannya
Karena siapa yang diridlai-Nya pasti berbahagia
Hai ummat, walau menurut katamu daku ini sesat
daku ‘kan tetap dalam Agama Rasul, Muhammad
Dan tujuanku tiada lain hanyalah Allah dan Agama yang haq
Walaupun lawan berbuat aniaya dan semena-mena”.
Mataku ditinju tangan jahil orang mulhidi
Maka Yang Maha Rahman telah menyediakan imbalannya
Karena siapa yang diridlai-Nya pasti berbahagia
Hai ummat, walau menurut katamu daku ini sesat
daku ‘kan tetap dalam Agama Rasul, Muhammad
Dan tujuanku tiada lain hanyalah Allah dan Agama yang haq
Walaupun lawan berbuat aniaya dan semena-mena”.
Demikian Utsman bin Mazh’un memberikan contoh dan teladan utama yang memang layak dan sewajarnya.. . . . Dan demikianlah pula lembaran kehidupan ini menyaksikan suatu pribadi utama yang telah menyemarakkan wujud ini dengan harum semerbak disebabkan pendiriannya yang luar biasa dan kata-kata bersayapnya yang abadi dan mempesona:
“Demi Allah, sesungguhnya sebelah mataku
yang sehat ini amat membutuhkan pukulan yang telah dialami saudaranya
di jalan Allah . . . ! Dan sungguh, saat ini saya berada dalam
perlindungan Allah yang lebih kuat dan lebih mampu daripadamu … !”
Dan setelah dikembalikannya perlindungan. kepada Walid, Maka Utsman
menemui siksaan dari orang-orang Quraisy. Tetapi dengan itu ia tidak
merana, sebaliknya bahagia, sungguh-sungguh bahagia … !
Siksaan itu tak ubahnya bagai api yang menyebabkan keimanannya menjadi matang dan bertambah murni ….
Demikianlah, ia maju ke depan bersama saudara-saudara yang beriman, tidak gentar oleh ancaman, dan tidak mundur oleh bahaya … !
Utsman melakukan hijrah pula ke Madinah,
hingga tidak diusik lagi oleh Abu Lahab, Umayah, ‘Utbah atau oleh
gembong-gembong lainnya yang telah sekian lama menyebabkan mereka tak
dapat menidurkan mata di malam hari, dan bergerak bebas di siang hari.
la berangkat ke Madinah bersama rombongan
shahabat-shahabat utama yang dengan keteguhan dan ketabahan hati
mereka telah lulus dalam ujian yang telah mencapai puncak kesulitan dan
kesukarannya, dan dari pintu gerbang yang luas dari kota itu nanti
mereka akan melanjutkan pengembaraan ke seluruh pelosok bumi, membawa
dan mengibarkan panji-panji Ilahi, serta menyampaikan berita gembira
dengan kalimat-kalimat dan ayat-ayat petunjuk-Nya ….
Dan di kota hijrah Madinah. al-Munawwarah
itu tersingkaplah kepribadian yang sebenarnya dari Utsman bin Mazh’un,
tak ubah bagai batu permata yang telah diasah, dan ternyatalah
kebesaran jiwanya yang istimewa. Kiranya ia seorang ahli ibadah, seorang
zahid, yang mengkhususkan diri dalam beribadah dan mendekatkan diri
kepada illahi .
Dan ternyata bahwa ia adalah orang suci
dan mulia lagi bijaksana, yang tidak mengurung diri untuk tidak menjauhi
kehidupan duniawi, tetapi orang suci luar biasa yang mengisi
kehidupannya dengan amal dan karya serta jihad dan berjuang di jalan
Allah ….
Memang, ia adalah seorang rahib di larut
malam, dan orang berkuda di waktu siang, bahkan ia adalah seorang rahib
baik di waktu siang maupun di waktu malam, dan di samping itu sekaligus
juga orang berkuda yang berjuang siang dan malam … !
Dan jika para shahabat Rasulullah saw.
apalagi di kala itu, semua berjiwa zuhud dan gemar beribadat, tetapi
Ibnu Mazh’un memiliki ciri-ciri khash. Dalam zuhud dan ibadatnya
ia amat . tekun dan mencapai puncak tertinggi, hingga corak
kehidupannya, baik siang maupun malam dialihkannya menjadi shalat yang
terus-menerus dan tasbih yang tiada henti-hentinya.
Rupanya ia setelah merasakan manisnya
keasyikan beribadat itu, ia pun bermaksud hendak memutuskan hubungan
dengan segala kesenangan dan kemewahan dunia.
Ia tak hendak memakai pakaian kecuali yang kasar, dan tak hendak makan makanan selain yang amat bersahaja.
Pada suatu hari ia masuk masjid, dengan
pakaian usang yang telah sobek-sobek yang ditambalnya dengan kulit unta,
sementara Rasulullah sedang duduk-duduk bersama para shahabatnya. Hati
Rasulullah pun bagaikan disayat melihat itu, begitu juga para shahabat,
air mata mereka mengalir karenanya. Maka tanya Rasulullah saw. kepada
mereka:
“Bagaimana pendapat kalian, bila kalian punya pakaian satu stel untuk pakaian pagi dan sore hari diganti dengan stelan lainnya. kemudian disiapkan di depan kalian suatu
perangkat wallah makanan sebagai ganti perangkat lainnya yang telah
diangkat, serta kalian dapat menutupi rumah-rumah kediaman kalian
sebagaimana Ka’bah bertutup … ?
“Kami ingin hal itu dapat terjadi, wahai Rasulullah ujar mereka, “hingga kita dapat mengalami hidup ma’mur dan bahagia … !”
Maka sabda Rasulullah saw. pula: “Sesungguhnya hal itu telah terjadi . .. ! Keadaan kalian sekarang ini lebih baik dari keadaan kalian waktu lalu …
Tetapi Ibnu Mazh’un yang turut mendengar
percakapan itu bertambah tekun menjalani kehidupan yang bersahaja dan
menghindari sejauh-jauhnya kesenangan dunia … !
Bahkan sampai-sampai kepada menggauli
isterinya ia tak hendak dan menahan diri, seandainya hal itu tidak
diketahui oleh Rasulullah saw. yang segera memanggil dan menyampaikan
kepadanya:
“Sesungguhnya keluargamu itu mempunyai hak atas dirimu …. I “
Ibnu Mazh’un amat disayangi oleh Rasulullah SAW Dan tatkala ruhnya yang suci itu berkemas-kemas hendak berangkat, hingga dengan demikian ia merupakan orang muhajirin pertama yang wafat di Madinah, dan yang mula-mula merintis jalan menuju surga, maka Rasulullah saw. berada di sisinya.
Rasulullah saw. membungkuk menciumi
kening Ibnu Mazh’un serta membasahi kedua pipinya dengan air yang
berderai dari kedua mata beliau yang diliputi santun dan duka cita
hingga di saat kematiannya. Wajah Utsman tampak bersinar
gilang-gemilang.
Dan bersabdalah Rasulullah saw. melepas shahabatnya yang tercinta itu:
“Semoga Allah memberimu rahmat,
wahai Abu Saib Kamu pergi meninggalkan dunia, tak satu keuntungan pun
yang kamu peroleh daripadanya, serta tak satu kerugian pun yang
dideritanya daripadamu.”
Dan sepeninggal shahabatnya, Rasulullah
yang amat penyantun itu tidak pernah melupakannya, selalu ingat dan
memujinya. Bahkan untuk melepas puteri beliau Rukayah, Yakni ketika
nyawanya hendak melayang, adalah kata-kata berikut:
“Pergilah susul pendahulu kita yang pilihan. Utsman bin Mazh’un … I”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar