Apa Itu Madzhab??
Madzhab artinya jalan.
Dalam masalah agama sering disebut aliran. Sebenarnya banyak sekali
aliran dan madzhab yang dikenal dalam sejarah Islam. Sejak masa sahabat
dan munculnya perbedaan pendapat dalam masalah cabang agama, setiap
pendapat lalu disebut dengan istilah madzhab, maka dahulu (pada
awalnyanya) dikenal madzhab Aisyah, madzhab Adbullah bin Umar, madzhab Abdullah bin Masud dll.
Sampai sekitar pertengahan abad keempat, ada sekitar 13 madzhab terkenal
yang pendapat mereka dikodifikasikan oleh para pengikut mereka,
termasuk di dalamnya madzhab empat, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan
Hanbali. Selanjutnya madzhab empat tersebut yang yang paling populer di
kalangan umat Islam sunni serta mendapatkan perhatian intelektual yang
sangat besar dari para pengikutnya.
Madzhab selain madzhab
empat yang juga cukup populer dan banyak pengikutnya adalah Dawud
al-hiri, Zainul Abidin (dari syiah),Ja'far Shadiq dan Jabir bin
Zaid(Ibadliyah) Sebenarnya tidak ada keharusan bermadzhab dalam agama,
demikian juga tidak ada keharusan mengikuti madzhab empat. Yang menjadi
kewajiban adalah mengikuti al-Qur'an dan Sunnah dan dalil-dalil lainnya
secara benar.
Bagi orang awam bermadzhab adalah semata
untuk memudahkan mereka mengikuti ajaran agama, sebab mereka tidak perlu
lagi mencari setiap permasalahan dari sumber aslinya yaitu al-Qur'an,
hadist, Ijma' dll., namun mereka cukup membaca ringkasan tata cara
beribadah dari madzhab-madzhab tersebut. Bisa dibayangkan bagaimana
sulitnya beragama bagi orang awam, bila harus mempelajari semua ajaran
agamanya melalui al-Qur'an dan Hadist. Betapa beratnya beragama bila
semua orang harus berijtihad.
Pada zaman sekarang ini,
pengaruhmadzhab ini sedemikian populer dan kuat di kalangan umat Islam,
sehingga tidak satu komunitas pun yang sebenarnya bebas madzhab. Ini
karena agama yang dianut oleh komunitas tertentu sudah pasti diambil
atau dipengaruhi oleh salah satu madzhab yang ada. Contohnya dalam
masyarakat kita Indonesia, meskipun ada yang mengklaim tidak menggunakan
madzhab, namun dalam praktiknya tetap saja secara ritual dan tata cara
beribadah masyarakat kita cenderung mengikuti madzhab syafi'i, karena
melalui madzhab inilah masyarakat Indonesia mengenal Islam. Masyarakat
Saudi Arabia juga demikian, meskipun diklaim tidak bermadzhab, namun
praktiknya mereka menerapkan madzhab Hanbali, karena masyarakatnya
mengenal Islam melalui madzhab Hanbali.
Dalam ilmu usuhul fiqh, terdapat istilah penting yang berkaitan dengan masalah bermadzhab, yaitu ijtihad, taqlid dan talfiq.
1. Ijtihad
Ijtihad
didefinisikan sebagai "upaya untuk menemukan hukum-hukum shariah
agama). Untuk bisa mencapai taraf ijtihad, para ulama membuat beberapa
persyaratan, yaitu :
1. Mengetahui arti ayat-ayat al-qur'an, baik dari segi bahasa maupun hukum.
2. Mengetahui hadist-hadist hukum, dan mengetahui maksudnya dari segi bahasa maupun hukum.
3. Mengetahui masalah nasikh dan mansukh (abrogasi dalam hukum qur'an dan hadist)
4. Mengetahui permasalahan-permasalahan yang telah terjadi konsensus para ulama mengenai hukumnya.
5. Mengetahui masalah analogi hukum Islam.
6. Mengetahui bahasa Arab.
7. Mengetahui methodologi pengambilan hukum islam.
8. Mengetahui maqasid shariah (filsafat hukum Islam).
Itjihad
dalam masalah-masalah agama senantiasa terbuka sampai kapan pun. Memang
sering kita dengar isu bahwa pintu ijtihad telah tertutup, tapi kalau
mau kita sadari, itu adalah isu yang menyesatkan, karena menutup pintu
ijtihad sama saja dengan melarang orang berfikir. Agama Islam adalah
agama yang mengajak kebebasan berfikir dengan logika yang benar. Imam
Baghawi pernah mengatakan bahwa mencari ilmu untuk bisa mencapai tingkat
ijtihad hukumnya fardlu kifayah. Bila dalam satu masa, tidak ada orang
yang mau mencari ilmu untuk meraih tingkat ijtihad maka, berdosalah
seluruh umat Islam yang hidup pada saat itu.
Mencari solusi hukum
islam untuk permasalahan-permasalahan baru di zaman sekarang juga
termasuk ijtihad. Ijtihad dibuka dalam segala bidang, termasuk dalam
masalah-masalah ritual dan fiqh. Hanya yang perlu diketahui di sini
adalah ijtihad dengan cara, metodologi dan etika yang benar, sesuai
dengan dalil-dalil yang ada.
2. Taqlid
Taqlid
adalah mengambil pendapat ulama dengan tanpa mengetahui dalilnya.
Mengambil satu hukum dengan referensi empat madzhab atau lainnya dengan
tanpa mempelajari dalilnya, termasuk taqlid. Taqlid boleh dilakukan oleh
orang yang pengetahuan agamanya terbatas, sehingga tidak mempunyai
kemampuan untuk bisa mengakses dalil-dalil yang ada. Taqlid boleh
dilakukan hanya kepada ulama-ulama yang benar-benar mengetahui ilmu-ilmu
agama dan taqlid yang terbaik adalah dengan disertai memperlajari
dall-dalil dari pendapat yang diikutinya. Taqlid buta, meskipun ia tahu
itu bertentangan dengan dalil yang ia ketahui, atau taqlid dengan fanatik, sehingga merasa benar seindiri,sangat dicela dalam agama.
Bidang
yang diperbolehkan taqlid, menurut sebagian besar ulama, secara
teoritis, adalah furu' (cabang-cabang fiqh), sedangkan masalah
tauhid(keyakinan) tidak boleh taqlid. Namun kalau dikaji secara empiris,
tentu sulit untuk menerapkan ketentuan seperti itu. Masyarakat yang
pengetahuannya terbatas dalam bidang apapun, pasti akan cenderung
melakukan taqlid.
Bertaqlid kepada salah satu dari empat madzhab
fiqh merupakan tindakan terpuji , karena muqallid (orang yang melakukan
taqlid) tentu telah berkeyakinan bahwa madzhab yang dianutnya adalah
yang terbaik bagi dirinya, artinya dari pertimbangan memperkecil
keraguannya. Namun fanatik dengan madzhab yang dianutnya merupakan perbuatan tercela, karena ini berarti menganggap madzhab lain salah. Muqallid harus tetap berkeyakinan bahwa di sana ada pendapat lain yang mungkin layak juga untuk dipakai.
CONTOH: Masalah peletakan tangan ketika berdiri saat sholat
Pendapat Pertama ,
kedua tangan diletakkan pada an-nahr.An-nahr adalah anggota badan
antara di atas dada dan di bawah leher. Seekor onta yang akan
disembelih, maka disembelih pada nahr-nya dengan cara ditusuk dengan
ujung pisau. Itulah sebabnya hari ke-10 Dzulhijjah, yaitu hari raya
‘Idul Adha (Qurban), disebut juga yaumun nahr -hari An-Nahr (hari
penyembelihan)-.
Pendapat Kedua , kedua
tangan diletakkan di atas dada. Ini adalah pendapat Al-Imam Asy-Syafi’iy
pada salah satu riwayat darinya, pendapat yang dipilih oleh Ibnul
Qayyim Al-Jauzy dan Asy-Syaukany, serta merupakan amalan Ishaq bin
Rahawaih. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikh Al-Albany dalam kitab
Ahkamul Jana` iz dan Sifat Shalat Nabi .
Pendapat Ketiga
,kedua tangan diletakkan di antara dada dan pusar (lambung/perut).
Pendapat ini adalah sebuah riwayat pada madzhab Malik, Asy-Syafi’i dan
Ahmad, sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Asy-Syaukany dalam Nailul
Authar . Pendapat ini dikuatkan oleh Al-Imam Nawawy dalam Madzhab
Asy-Syafi’i, dan merupakan pendapat Sa’id bin Jubair dan Daud
Azh-Zhahiry sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam An-Nawawy dalam
Al-Majmu’ (3/313).
Pendapat Keempat ,
kedua tangan diletakkan di atas pusar. Pendapat ini merupakan salah satu
riwayat dari Imam Ahmad dan dinukil dari Ali bin Abi Thalib dan Sa’id
bin Jubair.
Pendapat Kelima ,kedua tangan
diletakkan di bawah pusar. Ini adalah pendapat madzhab Al-Hanafiyah
bagi laki-laki, Asy-Syafi’iy dalam sebuah riwayat, Ahmad, Ats-Tsaury dan
Ishaq
Pendapat Keenam ,kedua tangan bebas diletakkan dimana saja: di atas pusar, di bawahnya, atau di atas dada.
Imam
Ahmad ditanya, “Dimana seseorang meletakkan tangannya apabila ia
shalat?” Beliau menjawab, “Di atas atau di bawah pusar.” Semua itu ada
keluasan menurut Imam Ahmad diletakkan di atas pusar, sebelumnya atau di
bawahnya. Lihat Bada`i’ul Fawa`id 3/91 karya Ibnul Qayyim.
Berkata
Imam Ibnul Mundzir sebagaimana dalam NailulAuthar , “Tidak ada sesuatu
pun yang tsabit (baca: shahih) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa
sallam, maka ia diberi pilihan.” Perkataan ini serupa dengan perkataan
Ibnul Qayyim sebagaimana yang dinukil dalam Hasyiah Ar-Raudh Al-Murbi’
(2/21).
Pendapat ini merupakan pendapat para ulama di kalangan shahabat, tabi’in dan setelahnya. Demikian dinukil oleh Imam At-Tirmidzy.
Ibnu Qasim, dalam Hasyiah Ar-Raudh Al-Murbi’ (2/21), menisbahkan pendapat ini kepada Imam Malik.
Pendapat
ini yang dikuatkan oleh Syaikh Al-‘Allamah Al-Muhaddits Muqbil bin Hady
Al-Wadi’iy rahimahullah karena tidak ada hadits yang shahih tentang
penempatan kedua tangan saat berdiri melaksanakan shalat.
Keuntungan
dari menggunakan satu madzhab adalah dari aspek simplifikasi
pengajaran. Orang awam tentu akan lebih mudah belajar dan diajari dengan
pendekatan satu madzhab, karena ini tidak membingungkan. Kerugiannya,
antara lain: terkadang taqlid dengan satu madzhab bisa merangsang
fanatisme madzhab, apalagi pada kalangan awam yang tidak diberi wawasan
agama yang baik. Terkadang taqlid kepada satu madzhab juga memperberat
penerapan hukum, apalagi bila kondisi tidak memungkinkan.
Sebagian
besar ulama berpendapat tidak ada ketentuan yang mewajibkan bertaqlid
kepada satu imam saja, namun boleh kepada imam lain yang diyakininya
benar. Pendapat ini juga dipakai oleh para ulama terkemuka saat ini,
karena menghembuskan nafas keterbukaan dalam menerapkan hukum agama.
3. Talfiq
Permasalahan
taqlid yang telah mengundang polemik ulama dari rentang waktu yang
cukup panjang, pada sekitar abad ke-10 hijriyah telah mengantarkan
kepada gagasan pembatasan taqlid, yaitu dengan konsep talfiq. Mereka
mengatakan bahwa taqlid sah apabila tidak mengantarkan kepada talfiq.
Talfiq didefinisikan :
mencetuskan hukum dengan mengkombinasikan berbagai madzhab, sehingga
hukum tersebut menjadi sama sekali baru, tidak ada seorang ulamapun yang
mengatakannya. Mencampur-campur madzhab
dengan sengaja dan mencetuskan hukum baru yang sama sekali tidak ada
dalilnya, itulah yang lebih tepat disebut talfiq yang dicela agama.
Adapun berpindah madzhab dalam satu masalah agama dengan berlandasan
kepada dalil atau karena kondisi tertentu, tidak lah termasuk talfiq.
Dalam menggunakan pendapat madzhab yang berbeda-beda yang perlu diperhatikan adalah sbb :
1.
Tidak dengan sengaja mencari-cari yang mudah (sengaja mencari enaknya)
dengan tujuan mempermainkan agama, apalagi yang mengantarkan kapada
hukumbaru yang sama sekali tidak dikatakan oleh salah seorang ulama.
Misalnya mengambil pendapat yang mengatakan boleh nikah tanpa wali,
kemudian mengambil pendapat kedua yang mengatakan boleh nikah tanpa
saksi, kemudian mengambil pendapat ketiga yang mengatakan sah nikah
tanpa mahar, lalu mencetuskan pendapat "boleh nikah tanpa wali, saksi
dan mahar". Pendapat ini tidak ada seorang pun ulama yang mengatakannya.
2. Tidak mengantarkan kepada pendapat baru yang sama sekali bertentangan dengan dalil.
3. Tidak memaksakan diri menggunakan pendapat yang telah diketahui atau diyakini kelemahnya.
4.
Tidak boleh dalam satu ibadah, misalnya dalam wudlu mengambil madzhab
Syafi'i dalam mengusap sebagain kepala, kemudian mengikuti madzhab
Hanafi dalam masalah tidak batal menyentuh kemaluan, padahal tanpa
mengetahui dalil masing-masing dan hanya bermadzhab buta atau taqlid.
.
Ada tiga pola atau corak hukum Islam yaitu corak salafiyah, madzhabiyah dan tajdidiyah.
Pertama, corak salafiyah yaitu pendapat yang merujuk kepada fiqih (ijtihad) yang dihasilkan oleh para sahabat.
Kedua, corak madzhabiyah yaitu fiqih yang dihasilkan oleh (merupakan ijtihad) para imam madzhab dan para pengikutnya.
Ketiga, corak tajdidiyah yaitu corak fiqih hasil ijtihad ulama masa kini untuk menjawab persoalan dan kebutuhan umat masa kini.
1. Imam Abu Sa’id al-Hasan bin Yasar al-Bashri (w. 110 H)
2. Imam Abu Hanifah al-Nu’man (w. 150 H)
3. Imam al-Auza’i Abu Amr bin Muhammad (w. 157 H)
4. Imam Sufyan bin Sa’id bin Masraq al-Tsauri (w. 160 H)
5. Imam al-Laits bin Sa’ad (w. 175 H)
6. Imam Malik bin Anas al-Asybahi (w. 179 H)
7. Imam Sufyan bin Uyainah (w. 198 H)
8. Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (w. 204 H)
9. Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar