Realitas perbedaan pendapat (iktilâf) adalah realitas yang omnipresent(ada
di mana-mana), tidak terkecuali dalam masalah-masalah fiqih. Karena
fiqih sangat dekat dengan keyakinan seseorang, maka ikhtilaf pada bidang
ini seringkali dapat dengan mudah diprovokasi untuk menjadi biang
konflik dan perpecahan di kalangan umat. Yang diperdebatkankan pun
benar-benar hanya beberpa masalah furû‘iyyah, yaitu masalah isbâl, jenggot, dan sejenisnya.
Fenomena
seperti ini kemungkinan akan terus terjadi di masa-masa yang akan
datang seperti telah terjadi juga di masa-masa yang lalu. Namun,
persoalan seperti ini sifatnya ijtihâdî-furû‘î (masalah ijtihad
dalam urusan cabang agama) yang sebenarnya tidak perlu menimbulkan
pertengkaran, apalagi perseteruan sepanjang masa. Kita memang mesti
memilih mana yang paling benar dan paling dekat dengan Sunnah, namun
tidak perlu menganggap yang berbeda dengan pilihan kita telah keluar
dari Sunnah, berbuat bid‘ah yang tercela, dan kurang keimanannya pada
Allah Swt. Sebab, mereka pun mengasaskan pendiriannya pada keterangan
dalil Al-Quran dan Sunnah, betapapun menurut kita lemah. Alhasil selama
masih memiliki sandaran dalil, berarti ini merupakan ijtihad yang
dibolehkan oleh Rasulullah Saw.
Perkara-perkara yang
ikhtilaf tentu tidak hanya ini. Banyak sekali ikhtilaf fiqih yang kita
saksikan di sekitar kita, baik dalam ibadah mahdhah maupun ghair mahdhah.
Bagi sebagian orang agak membingungkan. Apalagi bagi yang baru mengenal
Islam, seolah-olah ajaran Islam ini banyak dan di dalam Islam banyak
sekte-sekte seperti pada agama-agama lain. Sampai ada yang berkesimpulan
bahwa Islam itu ada Islam-NU, Islam-Muhammadiyah, Islam-DDII,
Islam-Persis, Islam-Liberal, Islam-Puritan, Islam-Fundamentalis, dan
istilah-istilah lain yang sungguh sangat merugikan Islam dan umat Islam
sendiri.
Ikhtilaf dan banyaknya organisasi-organisasi di
dalam Islam bukanlah sekte seperti dalam agama lain. Misalnya dalam
Kristen. Di dalam sistem kepercayaan agama Kristen, baik Katolik maupun
Protestan, tidak dapat dibendung adanya sekte-sekte. Antara satu sekte
dengan sekte yang lain hampir-hampir membentuk komunitas dan agama
sendiri yang tidak mungkin lagi dipersatukan dalam sebuah payung
“kekristenan”. Bila satu sekte beribadah di satu gereja, maka dia
selamanya hanya bisa dan boleh beribdah di gereja sektenya. Dia tidak
bisa dan tidak boleh beribadah di gereja sekte lain. Kalau di suatu
tempat tidak ada gereja yang berasal dari sektenya, dia akan memilih
untuk tidak pergi ke gereja.
Perbedaan ini bahkan menjadi
pemicu utama perpecahan di kalangan mereka. Jangan dikira mereka bersatu
dalam satu payung dan saling mengasihi. Yang ada justru perpecahan
terjadi begitu hebat. Oleh sebab itu, benarlah firman Allah Swt., Permusuhan antara sesama mereka sangat hebat.Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. (QS Al-Hasyr [59]: 14)
Di
dalam Islam hal seperti itu tidak terjadi. Sekalipun ada ikhtilaf
fiqih, tidak akan sampai terjadi pelarangan ibadah di suatu mesjid bagi
yang mazhab fiqihnya berbeda atau organisasinya berbeda. Siapapun boleh
dan bebas untuk shalat di mesjid manapun, tanpa khawatir diusir karena
perbedaan mazhab. Realitas yang paling mudah dilihat adalah
Masjdil-Haram di Mekah. Semua umat Islam dari seluruh penjuru dunia yang
tentu saja di antara mereka ada perbedaan-perbedaan pandangan mengenai
masalah fiqih, bisa shalat bersama-sama di belakang Imam Masjidil Haram
yang belum tentu sama secara mazhab fiqih dengan makmum. Kalaulah ada
satu gerakan atau satu mazhab di dalam Islam yang mengharamkan shalat di
suatu mesjid tertentu karena alasan perbedaan mazhab, para ulama di
seluruh dunia akan menyepakati bahwa pandangan semacam itu sudah keluar
dari koridor ajaran Islam alias bukan ajaran Islam. Sepanjang sejarah
fatwa para mujtahid Islam sepanjang zaman, tidak pernah tercatat ada
fatwa semacam itu. Jelas itu bukan bagian dari ajaran Islam.
Ada
upaya sengaja dari kalangan orientalis dan ilmuwan Barat yang
anti-Islam untuk mengkotak-kotakkan Islam agar sama seperti yang terjadi
di Kristen. Oleh sebab itu, dengan sengaja para peneliti Barat
mengakategorikan Islam menjadi berbagai jenis. Katakanlah sekarang kita
kenal istilah Islam Liberal dan Islam Fundamentalis; ada juga Islam
Moderat dan Islam Ekstrimis; dan lain-lain. Para peneliti itu dalam
berbagai penelitiannya sengaja ingin membuat penegasan atas
perbedaan-perbedaan di antara umat Islam. Mereka ingin agar satu sama
lain saling melihat perbedaannya, kemudian saling tidak mau bekerja
sama, hingga akhirnya bermusuhan dan berpecah belah.
Bila
sudah sampai bermusuhan dan berpecah belah, di sinilah kekuatan umat
Islam akan menjadi lemah. Oleh sebab itu, Allah dan Rasul-Nya sangat
mewanti-wanti agar tidak sampai terjadi perpecahan dan permusuhan. Allah
Swt. berfirman, Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama)
Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah
kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang
yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (QS. Âli ‘Imrân [3]:103); Dan
ta'atlah kepada Allah dan Rasulnya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
kekuatanmt dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang
sabar. (QS. Al-Anfâl [8]:46).
Perpecahan inilah yang diinginkan oleh musuh-musuh Islam. Bila telah saling bertengkar (tanâzu‘) dan berpecah-belah (tafarruq),
tidak akan ada lagi kekuatan yang bisa membentengi umat Islam dari
serangan mereka. Kekuatan umat Islam akan menjadi lemah. Tidak ada upaya
umat Islam yang berarti lagi bagi mereka. Oleh sebab itu, akan dengan
mudah musuh-musuh Islam itu menghancurkan meluluh-lantakkan bangunan
Islam, menindas umat Islam, dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan umat
Islam.
Ikhtilaf Generasi Terbaik Umat (Salaf)
Permusuhan,
pertengakaran, sampai perpecahan tidak sam dengan banyaknya ikhtilaf
fiqih dan beragamnya organisasi-organisasi Islam. Dalam hal perbedaan
pendapat telah terjadi sejak awal mula masa Islam, bahkan sejak zaman
Rasulullah Saw. Rasulullah sering berbeda pendapat dengan
sahabat-sahabatnya tentang suatu hal. Umpamanya Beliau berbeda pendapat
dengan Umar ibn Khaththab tentang tawanan perang Badar; berbeda pendapat
dengan Abu Dzar Al-Ghifari tentang strategi Perang Ahzab atau Perang
Khandaq.
Di antara para sahabat sendiri pernah terjadi
perselisihan pendapat. Bahkan di masa sahabat terkenal dua mardasah
(mazhab dan kecendurungan pemikiran), yaitu Madrasah Madinah dan
Madrasah Kufah. Madrasah Madinah dikenal sebagai Madrasah Ahlul-Hadis
tempat berkumpulnya para sahabat yang banyak mngetahui informasi hadis
langsung dari Rasulullah Saw. Sedangkan Madrasah Kufah dikenal sebagai
Madrasah Ahlur-Ra’yi, tempat berkumpul para sahabat yang jauh dari
Madinah sehingga sedikit saja mendapat informasi langsung dari
Rasulullah Saw. Sekalipun disebut Ahlur-Ra’yi (banyak menggunakan
pikiran), bukan berarti mereka tidak bersandar pada Kitab Allah dan
Sunnah Rasul-Nya. Al-Quran dan As-Sunnah tetap menjadi pegangan mereka,
namun karena informasi mengenai hadis relatif lebih sedikit dibandingkan
dengan para sahabat yang tinggal di Madinah, mereka memilih ijtihad
bila tidak menemukan jawaban mengenai masalah baru yang mereka hadapi
langusng dari Al-Quran dan hadis yang mereka ketahui. Setelah zaman
sahabat pun, para imam mujtahid seperti Imam Al-Asyafi‘i, Imam Ahmad Ibn
Hambal, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan para imam mujtahid lain
terkadang dalam beberapa hal berbeda pendapat. Perbedaan-perbedaan itu
telah sama-sama kita maklumi sekarang dan atasr-nya pun kita warisi sampai sekarang.
Ikhtilaf
dalam beberapa pandangan agama itu tidak membuat mereka menjadi saling
bermusuhan. Masing-masing tetap berpegang pada pandangan yang mereka
anggap paling benar dan paling sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah
Rasulullah, namun satu sama lain tetap saling menghormati. Di samping
itu, mereka juga tetap membuka pintu untuk berdialog dengan lapang dada
sebagai pengakuan terhadap kemungkinan salah dalam pendapat yang mereka
pegang.
Perhatikan bagaimana perilaku para salafush-shalih terdahulu dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara mereka.
Imam Abu Hanifah mengatakan, “Ini
adalah pendapatku dan pendapat terbaik menurutku; maka siapa yang
datang dengan pendapat lain yang lebih baik, kami akan menerimanya.
” Imam Malik berkata, “Aku hanyalah manusia biasa, bisa benar dan bisa salah; maka timbanglah pendapatku dengan Al-Quran dan Al-Sunnah.
Sementara Imam Syafi‘i berkata, “Apabila ada hadis shahih yang menyalahi pendapatku, maka buanglah pendapatku ke WC”; “Pendapatku benar, namun mengandung kemungkinan salah; sementara pendapat orang lain salah, namun mengandung kemungkinan benar.”
Perbedaan-perbedaan
di antara mereka yang tentu saja mereka asaskan pada Al-Quran dan
Al-Sunnah, mereka anggap sebagai hal biasa. Kalaupun harus mengubah
pendapat karena ada yang ternyata lebih argumentatif, lebih sahih, dan
lebih sesuai dengan Al-Quran dan Al-Sunnah, bagi mereka bukan perkara
yang sulit. Imam Al-Syafi’i terkenal dengan Qaul Qadîm (pendapat lama) dan Qaul Jadîd(pendapat
baru)-nya. Beliau tidak segan-segan meralat pendapat lamanya setelah
diketahui ada pendapat baru yang lebih kuat dan lebih sahih.
Mereka
mau terbuka, tidak ada sedikitpun rasa takabbur atas pikirannya sendiri
sehingga merasa hanya pendapatnyalah yang paling benar dan tidak mau
menerima pendapat orang lain. Sebagai ulama yang selalu haus akan ilmu,
tidak ada satu pun pendapat orang lain yang tidak diperhatikan. Bila
memang ada di antara pendapat orang lain yang lebih kuat dan
agumentatif, tidak segan-segan mereka mengikuti pendapat itu, tanpa ada
ganjalan apapun. Sebab, itu merupakan tanggung jawab ilmiah seorang
pencari ilmu. Tidak takut pula mereka ditinggalkan oleh para pengikutnya
karena mengikuti pendapat imam yang lain yang ternyata lebih sahih.
Agar Ikhtilâf tidak Menjadi Iftirâq
Sikap para shalafush-shalih yang patut menjadi teladan kita itu memperlihatkan dua hal saat berbeda pndapat: ikhlas dan tidak ta‘ashshub (fanatik).Ikhlas menjadi
pegangan pokok dalam segala pekerjaan mereka. Keikhlasan ini membuat
mereka tidak memiliki niat lain selain mengharap ridha Allah Swt.
Perwujudannya dalam menuntut ilmu dan memegang satu pendapat adalah
dengan benar-benar mengasaskan semua pendapatnya pada Al-Quran dan
Al-Sunnah yang benar. Kalaupun harus berijtihad, maka ijtihad iu
dilakukan dengan benar-benar memohon pertolongan Allah agar tidak
terjerumus pada pendapat yang salah, bukan didasarkan pada rasa tinggi
hati atas kemampuan dan ilmu yang dimilikinya. Sebisa mungkin hawa nafsu
ingin membantah orang lain atau hanya sekedar ingin beda dari yang lain
dihidarkan.
Di dalam hatinya tidak terbersit satupun motivasi selain ingin mencari kebenaran karena Allah Swt.
Menghindarkan diri dari ta‘ashshub (fanatik) atas mazhab atau pendapat sendiri adalah akhlak kedua yang dikedepankan oleh para salaful-ummah itu.
Mereka memang beramal atas apa yang mereka pahami dan mereka anggap
paling benar seperti kata Imam Abu Hanifah di atas. Namun demikian,
pendapat ini tidak lantas mereka bela mati-matian sampai mengabaikan
hakikat dari apa yang sedang dibelanya, apalagi sampai mengorbankan
ukhuwah, bertengkar, menimbulkan permusuhan, dan berseteru dengan
orang-orang yang berbeda pendapat. Dia tetap memberikan kemungkinan
untuk direvisinya pendapat yang dipegangnya itu, diganti dengan pendapat
lain. Bila perlu, mereka akan mengikuti pendapat yang sebelumnya
ditolak.
Kedua sikap di atas pada gilirannya membuka pintu
dialog yang seluas-luasnya di antara mereka sehingga perbedaan yang
terjadi tidak berlanjut pada pertengkaran, permusuhan, dan perpecahan
yang sangat dibenci oleh Islam. Sekalipun berbeda pendapat, namun mereka
tetap berada dalam satu payungjamâ‘atul muslimin kriterianya
berdasarkan hadis shahih adalah “orang yang mengikuti Rasulullah an para
shabatnya” atau “orang yang berpegang teguh pada warisan rasulullah
Saw., Al-Quran dan Al-Sunnah.” Selama sama-sama masih mengakui Allah dan
Rasul-Nya dan selama Al-Quran dan Al-Sunnah dijadikan landasan dalam
berpikir, berijtihad, dan mengemukakan pendapat, siapapun orangnya, dari
mazhab manapun dia, dari organisasi dan kelompok manapun, akan tetap
dihormati. Inilah landasan yang kokoh bagi persatuan seluruh komponen
umat Islam.
Perpecahan terjadi bukan karena perbedaan
pendapat fiqih dan perbedaan organisasi tempat berjuang. Pertengkaran
dan perpecahan terjadi karena tiga hal: ke-tidakikhlas-an (memperturut
hawa nafsu), ta‘ashshub (fanatik), dan kebodohan.
Ke-tidakikhlas-an atau memperturutkan hawa nafsu (ittibâ‘ al-hawâ’) dalam
berpendapat menjadi penyebab utama perbedaan pendapat berubah menjadi
pertengkaran dan kemudian perpecahan. Sebagian orang atau kelompok ada
yang mengeluarkan suatu pendapat bukan didasarkan benar-benar ingin
mencari kebenaran dengan berpegang pada Al-Quran dan Al-Sunnah secara
konsisten, melainkan hanya ingin asal berbeda dan dikenal. Lebih buruk
lagi ada yang mengeluarkan pendapat dengan mengikuti pemikiran-pemikiran
musuh-musuh Allah, mengabaikan pendapat-pendapat para ulama salafush-shalih terdahulu,
bahkan secara sengaja mengabaikan Al-Quran dan Al-Sunnah itu sendiri.
Kalau sudah muncul pendapat dengan landasan motivasi seperti ini akan
sulit untuk dicarikan titik temu dengan pandangan-pandangan lain. Bila
niat sudah bukan karena Allah Swt. akan mudah setan menggelincirkannya
pada pertengkaran dan permusuhan.
Kedua, sikap ta‘ashshub (fanatik) terhadap
pendapat yang dipegang. Dalam kasus ini, bisa jadi pendapat yang
dipegangnya dilandasi oleh niat mencari kebenaran, ikhlas karena Allah
Swt. Namun, di tengah perjalanan pencariannya itu muncul bisikan-bisikan
setan untuk memegang pendapat itu secara mutlak, seolah-olah pendapat
itu sama dengan Al-Quran dan Al-Sunnah sendiri, padahal hanya ijtihad
yang memiliki kemungkinan salah dan benar. Akibatnya, ia memaksakan
pendapat itu kepada orang lain. Semua orang harus sama dan sepandangan
dengan dirinya.
Kalau ada orang yang berbeda, dianggap bid‘ah dan
telah keluar dari ajaran Islam. Padahal, jelas orang lain pun memiliki
sandaran dalil dari Al-Quran dan Al-Sunnah yang menunjukkan bahwa mereka
pun berpegang pada Al-Quran dan Al-Sunnah yang berarti berpegang pada al-jamâ‘ah. Inilah yang disebut sebagai sikapta‘ashshub madzhabi atau ta‘ashshub hizbi yang oleh Allah disinyalir dalam Al-Quran, Kemudian
mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah
belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan
apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing). (QS. Al-Mu’minûn [23]:53).
Ketiga, kebodohan. Kebodohan
atau ketidaktahuan terhadap hakikat masalah yang diperselisihkan
seringkali mendorong pada perpecahan. Di antara orang-orang yang berbeda
pendapat itu tidak memahami bahwa sangat mungkin terjadi ikhtilâf dalam
memahami syari‘at, sehingga kemudian bersikap seolah-olah hanya ada
satu pemahaman yang benar, yaitu pemahaman yang dimilikinya. Mereka
tidak tahu bahwa Al-Quran sendiri sebagai pegangan tidak pernah berisi
pertantangan antara satu ayat dengan ayat ang lain. Bila terjadi
perbedaan pendapat, itu sama sekali bukan dari Allah, bukan Al-Quran itu
sendiri. Oleh sebab itu, orang yang mengerti akan menyadari bahwa
perbedaan pendapat itu adalah murni datang dari pikiran manusia yang
lemah dan nisbi. Kalau ini tidak disadari, maka perbedaan pendapat
sangat mudah menjerumuskan para pemegangnya ke dalam pertengkaran dan
perpecahan. Allah Swt. berfirman mengenai Al-Quran yang isinya tidak
mungkin bertentangan (ikhtilâf) sebagai berikut. Maka
apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur'an? Kalau kiranya al-Qur'an itu
bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang
banyak di dalamnya. (QS. Al-Nisâ’ [4]:82).
Di antara
hal tindakan-tindakan yang akan menggiring umat ke dalam suasana
kebodohan yang bisa menimbulkan perpecahan di antaranya:
a) Umat
dibatasi hanya boleh membaca buku-buku tertentu dari
pengarang-pengarang tertentu dengan maksud agar tidak terpengaruhi
pikiran lain. Pada gilirannya, cara ini akan membutakan mata umat bahwa
di hadapannya banyak pemikiran dan perbedaan pendapat dalam memahami
ajaran Islam. Dengan begitu, umat akan dipaksa untuk meyakini bahwa
pendapat yang benar hanya satu dan akan timbul sikap fanatik pada
pendapat itu.
b) Pemimpin suatu organisasi atau garakan
memaksakan akan pemikiran para pengikutnya sama dan seragam dalam
memahami agama. Pada gilirannya tindakan seperti ini menggiring umat
untuk bersikap taklid kepada para pemimpin. Padahal, yang paling penting
harus dijaga oleh pemimpin dalam satu organisasi atau gerakan adalah
ketaatan organisasi kepada pimpinan untuk mencapai misi bersama tegaknya
kalimat Allah di muka bumi, bukan memaksakan agar pikiran menjadi sama
dan seragam. Penyeragaman cara berpikir umat akan membuat umat menjadi
bodoh dan fanatik terhadap golongan dan organisasinya sehingga
berpotensi besar menimbulkan perpecahan di tengah-tengah umat.
c) Tidak diketahuinya fiqh aulawiyyât (fikih
tentang prioritas amal). Masing-masing gerakan dan organisasi, biasanya
mendirikan organisasi mandiri karena ada pekerjaan khusus yang digarap.
Misalnya, ada organisasi atau gerakan yang hanya bergerak di bidang
dakwah aqidah, dakwah ibdah mahdhah; ada juga yang khusus bergerak di
bidang sosial, politik, dan sebagainya. Bila tidak dipahami mana yang
mesti didahulukan saat ini dan mana yang nanti boleh diakhirkan,
masing-masing kelompok merasa bahwa bidang garapannyalah yang paling
penting. Padahal, di tempat yang berbeda sangat mungkin ada prioritas
yang berbeda yang harus dijalankan. Bila ini tidak diketahui dengan
baik, perbedaan-perbedaan jenis gerakan akan mendorong pada perpecahan
umat.
d) Kepentingan jangka pendek sesaat akan memaksa
para pemimpin untuk “membodohi umat” agar mendukungnya. Misalnya demi
kepentingan mengejar jabatan, seorang pemimpin rela membodohi umat
dengan janji-jani kosong, ketaatan semu, dan sikap ‘ashabiyah. Kepentingan
jangka pendek yang mengorbankan umat seperti ini, saat ini, sangat
berpotensi memecah belah umat. Sebab, kepentingan jangka pendek semacam
ini mudah disusupi fitnah dan cacian pada kelompok lain yang berbeda
kepentingan hanya sekedar untuk meraup suara. Dalam jangka pendek, suara
bisa saja diraih, namun umat tetap bodoh dan perpecahan di kalangan
umat akan berbekas begitu lama dan hingga sulit disembuhkan.
***
Tantangan dakwah di hadapan kita begitu besar. Cita-cita untuk menegakkan Islam di muka bumi agar menjadi rahmatan lil ‘âlamîn masih harus diperjuangkan terus
dengan sungguh-sungguh oleh seluruh komponen umat. Perjuangan itu tidak
akan pernah tercapai, bila di antara umat, satu sama lain saling
bertengkar dan berpecah belah yang akarnya adalah memperturutkan hawa
nafsu, sikap fanatik, dan kebodohan. Jangan sampai hal itu
berlarut-larut, apalagi sengaja dipelihara. Bila itu terjadi, yang akan
bersorak senang adalah musuh-musuh Islam karena kemenangan akan tetap
mereka genggam. Niatkanlah dalam diri kita masing-masing untuk bersatu
dengan komponen umat yang lain agar dakwah dan cita-cita tertinggi Islam
dapat segara terwujud. Wallâhu A‘lamu bi Al-Shawwâb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar