Saat
 ini kadang dalam hal khilafiyyah/furu’iyah, meski masing-masing pihak 
punya pegangan Al Qur’an dan Hadits, pihak yang lain mencaci yang 
lainnya. Dari membid’ahkan pihak yang lain, hingga mengkafirkan. 
Berbagai caci-maki bahkan fitnah dan kebohongan pun dilontarkan. Sungguh
 jauh dari ajaran Islam.
Sesungguhnya perbedaan pendapat itu hal 
yang biasa. Di antara Suami-Istri, Kakak-Adik, para Ulama Mazhab seperti
 Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’ie, dan Imam Hambali saja biasa 
terjadi perbedaan pendapat. Bahkan para Nabi pun seperti Nabi Daud dan 
Nabi Sulayman dijelaskan Allah dalam Surat Al Anbiyaa’ ayat 78 dan 79 
berbeda pendapat. Jika kita saling menghormati, niscaya perbedaan 
pendapat itu jadi rahmat. Kita bisa hidup rukun dan damai. Tapi jika 
tidak bisa menerima bahkan mencaci-maki pihak lain, yang jadi adalah 
pertengkaran, perceraian, bahkan peperangan.
Bagaimana cara Nabi menghadapi perbedaan?
Kecuali menyangkut masalah prinsip 
akidah dan hal-hal yang sudah qoth’i, Islam dikenal sangat menghargai 
perbedaan. Nabi Muhammad mencontohkan dengan dengan sangat indah kepada 
kita semua.
Dalam Shahih al-Bukhari,
 Volume 6, hadits no.514, diceritakan bahwa Umar ibn Khattab pernah 
memarahi Hisyam ibn Hakim yang membaca Surat Al-Furqan dengan bacaan 
berbeda dari yang diajarkan Rasulullah s.a.w. kepada Umar. Setelah 
Hisyam menerangkan bahwa Rasulullah sendiri yang mengajarkan bacaan itu,
 mereka berdua menghadap Rasulullah untuk meminta konfirmasi. Rasulullah
 membenarkan kedua sahabat beliau itu dan menjelaskan bahwa Al-Qur’an 
memang diturunkan Allah SWT dengan beberapa variasi bacaan (7 bacaan). “Faqra’uu maa tayassara minhu,” sabda Rasulullah s.a.w, “maka bacalah mana yang engkau anggap mudah daripadanya.”
Lihat bagaimana Nabi tidak menyalahkan 2 pihak yang berbeda.
Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim 
meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, bahwa 
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda pada peristiwa Ahzab:
لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ 
إِلاَّ فِي بَنِي قُرَيْظَةَ. فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمُ الْعَصْرَ فِي 
الطَّرِيْقِ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ: لاَ نُصَلِّي حَتَّى نَأْتِيَهَا. 
وَقَالَ بَعْضُهُمْ: بَلْ نُصَلِّي، لَمْ يُرِدْ مِنَّا ذَلِكَ. فَذُكِرَ 
ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ 
وَاحِدًا مِنْهُمْ
“
Janganlah ada satupun 
yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Lalu ada di 
antara mereka mendapati waktu ‘Ashar di tengah jalan, maka berkatalah 
sebagian mereka: “Kita tidak shalat sampai tiba di sana.” Yang lain 
mengatakan: “Bahkan kita shalat saat ini juga. Bukan itu yang beliau 
inginkan dari kita.” Kemudian hal itu disampaikan kepada Rasulullah SAW 
namun beliau tidak mencela salah satunya.”
Sekali lagi Nabi tidak mencela
 salah satu pihak yang berlawanan pendapat itu dengan kata-kata bid’ah, 
sesat, kafir, dan sebagainya. Beliau bahkan tidak mencela salah satunya.
 Masing-masing pihak punya argumen. Yang shalat Ashar di tengah jalan 
bukan ingkar kepada Nabi. Namun mereka mencoba sholat di awal waktu 
sebagaimana diperintahkan Allah dan RasulNya. Yang shalat belakangan di 
perkampungan Bani Quraizah juga bukan melanggar perintah sholat di awal 
waktu. Namun mereka mengikuti perintah Nabi di atas.
Dari Sa’id bin 
Musayyab, ia berkata, “Suatu ketika Umar berjalan kemudian bertemu 
dengan Hassan bin Tsabit yang sedang melantunkan syair di masjid. Umar 
menegur Hassan, namun Hassan menjawab, ‘aku telah melantunkan syair di 
masjid yang di dalamnya ada seorang yang lebih mulia darimu (Nabi 
Muhammad).’ Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah. Hassan melanjutkan 
perkataannya. ‘Bukankah engkau telah mendengarkan sabda Rasulullah SAW, 
jawablah pertanyaanku, ya Allah mudah-mudahan Engkau menguatkannya 
dengan Ruh al-Qudus.’ Abu Hurairah lalu menjawab, ‘Ya Allah, benar (aku 
telah medengarnya).’ ” (HR. Abu Dawud [4360] an-Nasa’i [709] dan Ahmad 
[20928]).
Lihat saat Hassan Bin Tsabit 
sang penyair tengah melantunkan syair yang memuji-muji Allah dan 
RasulNya di Masjid sebelum waktu sholat, Nabi Muhammad tidak melarang 
atau mencelanya. Beliau bahkan diam mendengarkannya.
Beda bukan dengan sekelompok orang yang 
memvonis bid’ah orang-orang yang berdzikir atau bersholawat sebelum 
waktu sholat dengan dalih Nabi Muhammad tidak pernah melakukannya. 
Memangnya apa yang diperbuat Hassan Bin Tsabit, yaitu bersyair di Masjid
 sebelum waktu sholat itu pernah dilakukan oleh Nabi? Meski Nabi tidak 
melakukannya, namun beliau tidak mencaci dengan kata-kata buruk seperti 
Bid’ah, sesat, dan sebagainya. Bersyair saja dibolehkan oleh Nabi, 
apalagi kalau berdzikir atau bersholawat!
Saat berbeda pun dalam berpuasa di perjalanan para sahabat tidak saling cela. Ada yang berbuka, ada pula yang tetap berpuasa:
Anas bin Maalik berkata: “Kami 
sedang bermusafir bersama dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
 semasa Ramadhan dan di kalangan kami ada yang berpuasa, ada yang tidak 
berpuasa. Golongan yang berpuasa tidak menyalahkan orang yang tidak 
berpuasa dan golongan yang tidak berpuasa tidak menyalahkan orang yang 
berpuasa. [ hadist riwayat Bukhari and Muslim]
Perbedaan itu akan selalu ada. Namun 
sayangnya kelompok ekstrim seperti Salafi Wahabi menafikan adanya 
perbedaan tersebut. Orang yang berbeda pendapat dengan mereka langsung 
disebut sebagai Ahlul Bid’ah, Musyrik, Kuffar, dan sebagainya. Bahkan 
mereka mengolok-olok hadits “Perbedaan adalah Rahmat” dengan “Persatuan 
adalah laknat”.
Meski tidak bersumber ke Nabi, namun 
berasal dari  Al-Qasim bin Muhammad, cucu Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau 
lahir di masa khalifah Ali bin Abi Thalib menjadi penguasa. Beliau 
adalah seorang imam yang menjadi panutan dan wafat tahun 107 hijriyah.
Imam Al-Baihaqi menyebutkan dalam kitab Al-Madkhal bahwa
 lafadz ini adalah perkataan Al-Qasim bin Muhammad. Demikian juga 
komentar dari Al-Imam As-Suyuti sebagaimana yang kita baca dari kitab Ad-Durar Al-Mutasyirah, lafadz ini adalah perkataan Al-Qasim bin Muhammad.
Jangankan manusia biasa. Nabi yang 
dibimbing Allah pun bisa berbeda pendapat dalam memutuskan satu hal. 
Contohnya di Surat Al Anbiyaa’ ayat 78-79 dijelaskan bagaimana Nabi Daud
 dan Nabi Sulayman berbeda pendapat dalam memutuskan satu hal:
“Dan (ingatlah kisah) Daud dan 
Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, 
karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan 
adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu,
maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat)[966]; dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya.” [Al Anbiyaa' 78-79]
maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat)[966]; dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya.” [Al Anbiyaa' 78-79]
[966]. Menurut riwayat Ibnu Abbas bahwa 
sekelompok kambing telah merusak tanaman di waktu malam. maka yang 
empunya tanaman mengadukan hal ini kepada Nabi Daud a.s. Nabi Daud 
memutuskan bahwa kambing-kambing itu harus diserahkan kepada yang 
empunya tanaman sebagai ganti tanam-tanaman yang rusak. Tetapi Nabi 
Sulaiman a.s. memutuskan supaya kambing-kambing itu diserahkan sementara
 kepada yang empunya tanaman untuk diambil manfaatnya. Dan prang yang 
empunya kambing diharuskan mengganti tanaman itu dengan tanam-tanaman 
yang baru. Apabila tanaman yang baru telah dapat diambil hasilnya, 
mereka yang mepunyai kambing itu boleh mengambil kambingnya kembali. 
Putusan Nabi Sulaiman a.s. ini adalah keputusan yang tepat.
Jelas orang yang suka mencaci 
tersebut tidak membaca dan memahami Al Qur’an dan Hadits secara 
keseluruhan. Cuma sepotong-sepotong sehingga akhirnya pemikirannya jadi 
ekstrim/sempit dan membuat ribut serta memecah-belah persatuan ummat 
Islam karena kejahilannya.
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela (QS Al-Humazah: 1)
Kadang ada kelompok yang menganggap kebenaran hanya 
1, yaitu kelompoknya saja sehingga bersikap ekstrim dalam menghadapi 
perbedaan:
“Umatku akan terpecah belah menjadi tujuh puluh 
tiga golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.” Ditanyakan 
kepada beliau, “Siapakah mereka, wahai Rasul Allah?” Beliau menjawab, 
“Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku.” (HR Abu Dawud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, Ad-Darami dan Al-Hakim).
Padahal berdasarkan contoh-contoh di atas, Nabi dan 
para Sahabat sangat toleran dalam perbedaan selama belum keluar dari 
syariat Islam.
Mereka menganggap “Kebenaran hanya satu sedangkan 
kesesatan jumlahnya banyak sekali”. Hal ini berasal dari pemahaman 
terhadap hadits Rasulullah SAW :
Rasulullah SAW bersabda: “Inilah jalan Allah yang 
lurus” Lalu beliau membuat beberapa garis kesebelah kanan dan kiri, 
kemudian beliau bersabda: “Inilah jalan-jalan (yang begitu banyak) yang 
bercerai-berai, atas setiap jalan itu terdapat syaithan yang mengajak 
kearahnya” Kemudian beliau membaca ayat :
“Dan (katakanlah): ‘Sesungguhnya inilah jalanku 
yang lurus maka ikutilah dia. Dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan 
(yang lain), karena jalan-jalan itu akan mencerai-beraikan kamu dari 
jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu 
bertaqwa.” (QS Al-An’am 153).
(HR Ahmad, Ibnu Hibban dan Hakim) (Lihat Abdul Hakim bin Amir Abdat, Risalah Bid’ah, hal. 47-48).
Padahal ayat di atas jika kita lengkapi dengan 
pemahaman Surat Al Fatihah yang biasa kita baca, itu adalah Jalan Islam 
(orang-orang yang diberi nikmat Allah). Bukan jalan orang yang dimurkai 
Allah (Yahudi) dan bukan pula jalan orang yang sesat (Nasrani).
Dalam tradisi ulama Islam, perbedaan 
pendapat bukanlah hal yang baru. Tidak terhitung jumlahnya kitab-kitab 
yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus untuk merangkum masalah 
perbedaan pandangan. Kitab Al Mughni karya Imam Ibnu Qudamah, adalah 
sebuah kitab yang menyangkut berbagai pandangan dan mazhab dalam bidang 
hukum Islam. Bahkan tak hanya berlaku masalah hukum saja. Juga 
menyangkut tafsir, ulumul qur’an, syarh hadits, ulumul hadits, tauhid, 
usul fiqh, qawa’id fiqhiyah, maqashidus syariah, dan lain-lain.
Para Imam Madzhab seperti Imam Malik, 
Imam Syafi’ie, Imam Hanafie, dan Imam Hambali berbeda pendapat. Namun 
mereka tidak saling membid’ah atau menganggap sesat yang lain. Begitu 
pula para pengikutnya.
Dalam khasanah Islam, para ulama salaf 
dikenal dengan sikap kedewasaan, toleransi, dan objektivitasnya yang 
tinggi dalam menyikapi perbedaan. Ucapan Imam Imam Syafi’i yang sangat 
masyhur sebagi bentuk penghormatan perbedaan pada pihak lain adalah, 
“Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan 
pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.”
Kalau sekarang kan jangankan beda 
madzhab. Dalam satu sekte aliran itu pun saat beberapa ulamanya berbeda 
pendapat, mereka saling memaki dan menyebut yang lain sebagai “Ular” 
segala macam. Bagaimana kita bisa temukan akhlak Islam yang mulia dari 
mereka?
Adab Berbeda Pendapat dalam Islam
Khilaf (perbedaan pendapat) di mana pun 
selalu ada. Di mana pun dan sampai kapan pun. Jika tidak disikapi dengan
 tepat dan bijaksana, tidak menutup kemungkinan akan melahirkan 
perpecahan, permusuhan, dan bahkan kehancuran. Karena itu, Islam memberi
 arahan bagaimana cara menghadapi perbedaan pendapat di antara kita 
semua. Di bawah ini adalah adab-adab yang harusnya dilakukan kaum 
Muslim;
1. Ikhlas dan Lepaskan Diri dari Nafsu
Kewajiban setiap orang yang berkecimpung
 dalam ilmu dan dakwah adalah melepaskan diri dari nafsu tatkala 
mengupas masalah-masalah agama dan syariah. Mereka hendaknya tidak 
terdorong kecintaan mencari ketenaran serta menonjolkan dan memenangkan 
diri sendiri. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, orang yang 
mencari ilmu karena hendak mendebat para ulama, melecehkan orang-orang 
yang bodoh, atau untuk mengalihkan perhatian manusia pada dirinya, maka 
dia tidak akan mencium bau surga (Riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah).
2. Kembalikan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah
Ketika terjadi perbedaan pendapat, 
hendaklah dikembalikan pada Kitabullah dan Sunnah Rasul. Keduanya 
dijadikan sebagai ukuran hukum dari setiap pendapat dan pemikiran. 
“…Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka 
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Hadits).” 
(An-Nisaa’: 59).
3. Tidak Menjelekkan
Masing-masing tetap mempunyai hak yang 
tidak bisa dihilangkan dan dilanggar, hanya karena tidak sependapat 
dalam suatu masalah. Di antara haknya adalah nama baik (kehormatan) yang
 tidak boleh dinodai, meski perdebatan atau perbedaan pendapat semakin 
meruncing. Wilayah pribadi seperti itu tidak boleh dimasukkan dalam 
materi perbedaan.
4. Cara yang Baik
”…Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125).
Berdialog harus dengan cara yang baik 
(menarik) sehingga bisa mendapatkan simpati dan lawan bicara mau 
mendengarkan kebenaran yang dibawa. Cara seperti ini terhindar dari 
sikap yang keras dan kaku, jauh dari perkataan yang menyakitkan dan 
mengundang antipati.
Penyeru kebenaran adalah orang yang 
mementingkan dakwah, bukan kepentingan pribadi. Jika bersikap keras dan 
kaku, berarti telah mementingkan nafsu pribadi sehingga berakibat orang 
menjauh dari dakwahnya.
5. Mendalami Nash Syariah dan Pendapat Ulama
Agar dapat keluar dari khilaf dengan 
membawa hukum yang benar, maka semua nash syariah yang berkaitan dengan 
masalah itu harus dihimpun. Dengan demikian, persoalan yang umum bisa 
dijelaskan dengan yang khusus, yang global bisa diperjelas dengan yang 
terinci, serta yang kiasan bisa dijelaskan dengan yang gamblang.
6. Bedakan antara Masalah yang Sudah Di-Ijma’ dan yang Diperselisihkan
Masalah-masalah yang sudah di-ijma’ 
(disepakati) sudah tidak perlu lagi diperdebatkan dan dipertanyakan. 
Komitmen kepadanya merupakan keharusan agama, seperti halnya terhadap 
Al-Qur’an dan Hadits.
7. Pertimbangkan Tujuan dan Dampaknya
Orang yang mencari kebenaran kemudian 
salah, berbeda dengan orang yang memang sengaja mencari kebatilan lalu 
dia mendapatkannya. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap 
memberikan satu pahala bagi hakim yang memutuskan perkara hukum, namun 
salah, karena niat dan keinginannya untuk mendapatkan kebenaran. Dan 
Allah tidak membebankan kewajiban kepada manusia kecuali berdasarkan 
kemampuannya. (Al-Baqarah: 286). Wallahu Ta’ala a’lam.* [Sahid, 
dilengkapi cha/ www.hidayatullah.com]
Nabi saw. bersabda, “Apabila kamu 
melihat orang-orang yang ragu dalam agamanya dan ahli bidah sesudah aku 
(Rasulullah saw.) tiada, maka tunjukkanlah sikap menjauh (bebas) dari 
mereka. Perbanyaklah lontaran cerca dan tentang mereka dan kasusnya. 
Dustakanlah mereka agar mereka tidak makin merusak (citra) Islam. 
Waspadai pula orang-orang yang dikhawatirkan meniru-niru bidah mereka. 
Dengan demikian, Allah akan mencatat bagimu pahala dan akan meningkatkan
 derajat kamu di akhirat.” (HR Ath-Thahawi).
“Dikatakan kepada Nabi saw: “Ya 
Rasulullah, sesungguhnya fulanah menegakkan salat lail, berpuasa di 
siang harinya, beramal dan bersedekah (tetapi) ia menyakiti tetangganya 
dengan lisannya.” Bersabda Rasulullah saw., “Tidak ada kebaikan padanya,
 dia termasuk ahli neraka.” Berkata (perawi), “Sedangkan fulanah (yang 
lain) melakukan salat maktubah dan bersedekah dengan benaja kecil 
(tetapi) dia tidak menyakiti seseorang pun.” Maka bersabda Rasulullah 
saw., “Dia termasuk ahli surga.” (Silsilah Hadits as-Shahihah, no. 190).
Memang Allah memerintahkan kita untuk 
bersatu. Jika berselisih tentang sesuatu, hendaknya kita kembali pada Al
 Qur’an dan Hadits. Para ulama hendaknya melakukan Ijma’ untuk 
memutuskan hal yang diperselisihkan.
Namun jika terjadi perbedaan pendapat 
juga akibat beda dalam menafsirkan Al Qur’an dan Hadits, hendaknya tidak
 saling cela/hina karena itu diharamkan Allah [Al Hujuraat 11-12]. Sebab
 kadang perbedaan tak bisa dihindarkan sehingga para Nabi saja seperti 
Nabi Daud dan Nabi Sulayman bisa berbeda pendapat [Al Anbiyaa' 78-79] 
demikian pula para sahabat dan para Imam Mazhab. Mereka semua sangat 
faqih dalam memahami Kitab Suci dan Hadits.
Jika kita karena perbedaan tersebut 
mencela sesama Muslim dengan sebutan Ahlul Bid’ah, Sesat, Kuffar, 
Musyrik, dsb sementara Jumhur Ulama tak berpendapat demikian, maka 
kitalah yang sesat.
Wallahu'alam

Tidak ada komentar:
Posting Komentar