Teriring salam dan shalawatku buat Rasulullah SAW yang mana Allah menetapkan beliau Penghulunya Para Nabi. Di pedang beliau terpisah antara yang haq dan yang batil, yang meletakan kalimat Tauhid pada tempat yang sebenar-benarnya. Dialah Panglima Perang Allah.
Beberapa isi dari artikel ini saya ambil dari beberapa sumber sebagai bahan acuan untuk membandingkan apa-apa yang saya ketahui tentang permasalahan ini tentunya saya akan memasang link dari sumber tersebut. Dengan demikian tiga atau empat orang pendapat lebih baik dari satu orang.
Tujuan saya membahas artikel ini adalah, agar umat islam terjerumus dalam analoginya, bahwa Rasulullah SAW bukanlah seorang nabi dan rasul melainkan seorang pembohong. Sebab sesuai dengan kisah ini, bahwa beliau mati karena racun, itu artinya beliau Rasulullah SAW bukan seorang nabi. Agar kisah ini bisa di nikmati khidmat maka saya akan memuali dengan sejarah Perang Khaibar.
SEJARAH PERANG KHAIBAR
Dalam beberapa peperangan antara kaum muslimin dengan yahudi selalu saja yahudi menderita kekalahan. Kekalahan demi kekalahan tak juga menyurutkan upaya makar Yahudi terhadap kaum muslimin. Kedengkian mereka pun memicu peperangan baru, Perang Khaibar. Dendam kesumat dalam dada orang-orang Yahudi di Madinah, semakin memuncak. Terlebih melihat semakin berkembangnya Islam di jazirah ‘Arab. Dendam dan kedengkian ini membuat mereka gelap mata. Lupa bahwa mereka pernah mengikat perjanjian dengan Rasulullah SAW dan kaum muslimin.
SEBAB-SEBAB PEPERANGAN
Selesai sudah gangguan dan ancaman musyrikin Quraisy melalui kesepakatan-kesepakatan perjanjian Hudaibiyah yang lalu. Penyampaian risalah mulai berjalan lancar dan kehidupan kaum muslimin mulai tenang. Tapi belum sempurna.
Bagaimanapun juga masih ada ancaman yang cukup berbahaya bagi kelangsungan dakwah dan kehidupan kaum muslimin. Dendam kesumat serta kedengkian yang bersemayam di dada-dada mereka begitu menyala-nyala untuk menumpas Islam dan kaum muslimin. Mereka tidak rela sampai kaum muslimin mau mengikuti agama dan keyakinan mereka yang rusak. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (Al-Baqarah: 120)
Kita tidak lupa, bagaimana pengkhianatan mereka terhadap kesepakatan yang mereka buat bersama Rasulullah SAW beberapa saat setelah beliau tiba di Madinah. Juga kekejian dan kebusukan ucapan serta makar mereka terhadap Rasulullah SAW dan kaum muslimin.
Beberapa tokoh mereka yang sangat hebat gangguannya terhadap SAW telah mati terbunuh. Tapi itu tidak membuat mereka jera. Dendam mereka semakin memuncak.
Lebih kurang 20 hari sepulangnya dari Hudaibiyah, Rasulullah SAW mulai memobilisasi kaum muslimin untuk menyerang Khaibar. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun telah menjanjikannya kepada beliau saat beliau masih di Hudaibiyah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Miswar bin Makhramah dan Marwan bin Al-Hakam, bahwa ketika Rasulullah SAW masih di Hudaibiyah dan mulai bertolak menuju ke Madinah, turunlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu.” (Al-Fath: 20)
Yang dimaksud yaitu Khaibar. Semua itu sebagai sebuah ayat (tanda) bagi hal-hal yang terjadi sesudahnya, sekaligus pahala atas kesabaran para sahabat dan keridhaan mereka menerima segala keputusan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Hudaibiyah serta kesiapan mereka untuk tidak lari meninggalkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itulah, ghanimah yang ada dari Khaibar itu dikhususkan bagi mereka yang ikut serta dalam peristiwa Hudaibiyah.
Khaibar, adalah sebuah kota besar sekitar delapan barid atau sepuluh barid (sekitar 80 mil sebagian mengatakan 100 mil) dari Madinah ke arah Syam (utara). Kota ini memiliki benteng-benteng pertahanan cukup kuat, yang merupakan markas besar segala siasat keji yang diarahkan kepada Islam dan kaum muslimin. Dari sinilah upaya mendatangkan pasukan gabungan (Al-Ahzab) untuk menumpas kaum muslimin. Mereka menghasut Bani Quraizhah, mengkhianati perjanjian mereka, selalu berhubungan dengan munafikin Madinah dan beberapa kabilah ‘Arab lainnya yang benci kepada Islam dan muslimin. Akibatnya, kaum muslimin selalu mengalami berbagai ujian dan cobaan silih berganti.
Akhirnya, setelah berhasil menahan bahkan menghentikan gangguan dan ancaman serangan dari musyrikin Quraisy, mulailah diupayakan menghentikan gangguan dan ancaman dari orang-orang Yahudi tersebut.
MENYIAPKAN PASUKAN
Ketika orang-orang yang lemah iman dan kaum munafikin mendengar banyaknya ghanimah (rampasan perang) yang dijanjikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka berusaha untuk ikut serta dalam perang ini. Padahal sebelumnya mereka tidak mau menyertai beliau di Hudaibiyah. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, menerangkan kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam perihal ini:
“Orang-orang Badui yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan: ‘Biarkanlah kami, niscaya kami mengikuti kamu; mereka hendak mengubah janji Allah.’ Katakanlah: ‘Kamu sekali-kali tidak (boleh) mengikuti kami: demikian Allah telah menetapkan sebelumnya’; mereka akan mengatakan: ‘Sebenarnya kamu dengki kepada kami.’ Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali.” (Al-Fath: 15)
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan agar tidak ada yang ikut kecuali yang benar-benar ingin berjihad, bukan mengharap ghanimah. Akhirnya, di awal tahun ke-7 Hijriyah, berangkatlah sekitar 1.400 orang pasukan, semuanya adalah yang dahulu ikut dalam Bai’atur Ridhwan di Hudaibiyah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat Siba’ bin ‘Urfuthah sebagai pengganti beliau di Madinah.
Setelah beliau berangkat, datanglah Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu masuk Islam. Beliau ikut shalat shubuh bersama Siba’ dan mendengarnya membaca surat Al-Muthaffifin. Dalam hati, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Celaka Abu Fulan, dia punya dua takaran. Kalau membeli, dia minta disempurnakan takarannya, tapi kalau dia menjual (menakar buat orang lain) dia menguranginya.”
Selesai shalat, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menemui Siba’ dan beliaupun memberinya bekal untuk berangkat menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
ULAH MUNAFIQIN MADINAH
Kabar keberangkatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat ini menurut sebagian ahli sejarah telah sampai kepada Yahudi Khaibar. Tak pelak lagi, kaum munafikinlah yang berulah. Diceritakan, bahwa ‘Abdullah bin Ubai bin Salul –gembong munafikin Madinah– menyampaikan berita ini kepada para pemimpin Yahudi Khaibar. Mereka pun mengutus beberapa orang Yahudi, di antaranya Kinanah bin Abil Huqaiq dan Haudzah bin Qais, ke Ghathafan meminta bantuan, karena mereka adalah sekutu Yahudi Khaibar. Tapi mereka meminta syarat, kalau berhasil maka separuh hasil kurma Khaibar buat mereka.
Sebagian orang Yahudi yang tinggal di Madinah meremehkan kaum muslimin. Bagaimana mungkin mereka menembus Khaibar, karena wilayah itu dikelilingi benteng-benteng kokoh di puncak-puncak bukit. Juga jumlah pasukan dan perlengkapan mereka sangat banyak, demikian juga perbekalan mereka. Seandainyapun mereka bertahan di dalam benteng itu selama setahun, masih cukup.
Tapi keyakinan para sahabat akan janji Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat yang sudah disebutkan tidak luntur. Mereka tetap menyertai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keimanan sejati, karena kemenangan bukan dinilai dari kekuatan dan perlengkapan pasukan. Kemenangan adalah karunia dan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak akan diperoleh dengan kemaksiatan.
Sementara orang-orang Yahudi Khaibar sendiri yakin, tidak mungkin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu menaklukkan mereka. Karena mereka berada dalam benteng yang kokoh, persenjataan dan logitistik yang memadai. Setiap hari ribuan orang prajurit keluar dari benteng itu dalam keadaan berbaris.
MENUJU KHAIBAR
Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu bercerita: Kami berangkat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuju Khaibar, berjalan di malam hari. Lalu ada yang berkata kepada ‘Amir: “Mengapa tidak engkau perdengarkan kepada kami dendangmu?” Dahulu, ‘Amir dikenal sebagai penyair. Diapun turun lalu bersyair:
Demi Allah, kalau tidak karena Allah, niscaya kami tidak mendapat petunjuk
Tidak bersedekah, tidak pula shalat
Kami tidak merasa cukup dari karunia-Mu
Maka teguhkan kaki kami jika bertemu (dengan musuh)
Dan turunkanlah ketenangan kepada kami
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Siapa penggiring ini?” “Amir,” kata para sahabat. Beliaupun berkata: “Semoga Allah merahmatinya.” Berkatalah seseorang: “Pasti, wahai Rasulullah, mengapakah tidak engkau biarkan kami bersenang-senang dengan dia?”
Menurut mereka, kalau Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah menyatakan demikian, tentulah orang yang didoakan itu mati syahid. Kenyataannya memang demikian. ‘Amir gugur sebagai syahid terkena pedangnya sendiri ketika menghadapi Marhab, pemuka Yahudi yang menantang adu tanding (duel satu lawan satu). (Lihat Shahih Muslim Kitabul Jihad was Siyar dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu-red)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan rombongan tetap berjalan hingga tiba di Ar-Raji’, sebuah lembah antara Khaibar dan Ghathafan. Beliau sengaja melintasi wilayah ini, untuk berjaga-jaga jika Ghathafan mengirimkan bala bantuan kepada Khaibar sehingga beliau mendahului untuk memutus jalur hubungan mereka.
Ketika Ghathafan mendengar keberangkatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, segera pula mereka mempersiapkan diri untuk membantu Khaibar. Tetapi, belum jauh mereka berjalan meninggalkan perkampungan mereka, ketakutan mulai merayapi hati mereka: jangan-jangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukannya akan menyerang harta dan keluarga mereka. Akhirnya, mereka mengurungkan niatnya membantu Khaibar dan membiarkan Yahudi Khaibar sendiri menghadapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
TIBA DI KHAIBAR
Setelah berjalan beberapa malam, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Khaibar. Beliaupun shalat subuh di sana, dan kemudian kaum muslimin mulai bertolak. Kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak menyerang satu kaum, beliau menunggu sampai shubuh tiba. Kalau beliau mendengar adzan dikumandangkan, beliau menahan diri. Kalau tidak, beliau mulai menyerang. Ketika subuh itu tidak terdengar suara adzan, beliau mulai naik kendaraan, kamipun menaiki kendaraan.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan, ketika itu dia berboncengan dengan Abu Thalhah (suami ibunya), dan kaki beliau menyentuh kaki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan sampai tersingkap sarung Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga kelihatan putih sebagian paha beliau.
Sementara itu, penduduk Khaibar seperti biasa berangkat ke tempat kerja mereka, tanpa menyadari kehadiran pasukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika mereka melihat pasukan tersebut, mereka berteriak: “(Itu) Muhammad, demi Allah. Muhammad dan pasukannya.” Merekapun berlari ketakutan masuk ke benteng mereka.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
”Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Hancurlah Khaibar. Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Hancurlah Khaibar. Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Hancurlah Khaibar. Sesungguhnya bila kami tiba di pelataran satu kaum, maka amat buruklah pagi hari yang dialami oleh orang-orang yang diperingatkan itu.” (HR. Al Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendekati dan mengamati perkampungan mereka, beliau berkata: قِفُوا “Berhentilah.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berdoa:
“Ya Allah, Rabb (Pencipta, Penguasa, dan Pengatur) langit-langit dan semua yang dinaunginya. Rabb bumi dan semua yang ditopangnya. Rabb para setan dan semua yang disesatkannya, dan Rabb angin serta semua yang diterbangkannya. Sesungguhnya kami mohon kepada Engkau, kebaikan negeri ini dan kebaikan penduduknya, serta kebaikan yang ada padanya. Kami berlindung dengan-Mu dari kejahatannya, dan kejahatan penduduknya serta kejahatan yang ada padanya. Majulah dengan nama Allah.”
Doa ini sering diucapkan beliau setiap kali tiba di suatu wilayah.
BENTENG PERTAHANAN KHAIBAR
Wilayah Khaibar terbagi menjadi dua. Yang pertama mempunyai lima benteng:
1. Benteng Na’im
2. Benteng Ash-Sha’b bin Mu’adz
3. Qal’atu Az-Zubair
4. Benteng Ubai
5. Benteng An-Nizar
Tiga benteng pertama di daerah An-Nithah, sedangkan dua lainnya di daerah Syaq.
Wilayah kedua, dikenal dengan Katibah, terdapat tiga benteng yang kokoh, yaitu:
1. Benteng Qamush (benteng anak cucu Abul Huqaiq dari Bani Nadhir)
2. Benteng Wathih, dan
3. As-Sullam
Masih banyak benteng lain, tetapi kecil-kecil dan tidak sekuat delapan benteng ini. Adapun pertempuran terjadi di wilayah pertama.
PEPERANGAN DIMULAI
Ketika penduduk Khaibar mulai menyadari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin sudah tiba di dekat benteng mereka, mereka pun berlari ketakutan, masuk kembali ke dalam benteng tersebut.
Benteng pertama yang diserang oleh kaum muslimin adalah Na’im. Dari benteng ini keluarlah pemimpin mereka Marhab, yang kekuatannya setara dengan seribu prajurit.
Khaibar tahu aku adalah Marhab
Senjata ampuh pahlawan kawakan
Jika perang telah mulai, diapun berkobar
Mendengar ini, ‘Amir paman Salamah bin Al-Akwa’ turun ke gelanggang menyambut tantangan Marhab perang tanding.
Khaibar tahu aku adalah ‘Amir
Senjata ampuh pahlawan di medan laga
Kemudian keduanya saling serang beberapa kali. Suatu ketika pedang Marhab menebas tapi mengenai perisai di tangan ‘Amir dan terjepit. ‘Amir menunduk menebas ke arah kaki Marhab, namun sayang pedang pendeknya tidak mengenai sasaran dan berbalik mengenai urat nadi di lengannya. ‘Amir terluka dan gugur seketika itu juga. Ternyata sebagian sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengomentari bahwa ‘Amir telah gugur amalannya karena bunuh diri.
Kata Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu: Aku menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menangis sambil berkata: “Wahai Rasulullah, amalan ‘Amir telah gugur.” Beliau bersabda: مَنْ قَالَ ذَلِكَ؟ “Siapa yang mengatakan begitu?” “Sebagian sahabat anda,” kataku. Beliau bersabda pula: “Salah orang yang mengatakan begitu. Bahkan dia memperoleh dua pahala.” Demikian diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullahu dalam hadits yang panjang dalam Shahih-nya, Kitab Al-Jihad was Siyar dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiyallahu ‘anhu.
Yahudi keluar dari Khaibar secara bertahap. Pengusiran mereka selesai pada masa Khalifah ‘Umar bin Al Khattab Rodhiallahu ‘anhu.
Arogansi Yahudi Khaibar akhirnya lumat sudah. Satu persatu benteng mereka berhasil dikuasai kaum muslimin.
Jatuhnya Benteng Khaibar
Benteng Na’im adalah benteng pertama yang diserang kaum muslimin. Dari benteng inilah keluar Marhab, jagoan Yahudi yang kekuatannya sebanding dengan seribu orang. Setelah ‘Amir bin Al-Akwa’ gugur sebagai syahid, Marhab keluar lagi dan menantang. Dalam peristiwa inilah Mahmud, saudara Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu terbunuh karena dilempar dengan batu gilingan.
Ibnu Hisyam rahimahullahu dalam Sirah-nya menyebutkan akhirnya Muhammad bin Maslamah keluar menyambut tantangannya untuk menuntut balas atas kematian saudaranya Mahmud. Setelah saling serang beberapa kali, keduanya masuk ke dalam barisan pepohonan. Sekarang, mereka bertempur di balik sebatang pohon. Pada satu kesempatan, Marhab menebas, tapi ditangkis oleh Muhammad, sehingga pedangnya terjepit. Melihat ini, Muhammad menunduk dan menebas kaki Marhab hingga putus. Marhab minta agar segera dibunuh saja, namun tetap dibiarkannya sekarat.
Setelah itu, datanglah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu membunuhnya. Kemudian keduanya mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang rampasannya. Kata Muhammad: “Wahai Rasulullah, tidaklah aku putuskan kakinya lalu aku biarkan dia, melainkan agar dia merasakan kematian, padahal aku mampu membunuhnya saat itu.”
Kata ‘Ali: “Dia benar. Saya menebas lehernya sesudah Muhammad memotong kedua kakinya.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyerahkan barang-barang milik Marhab kepada Muhammad bin Maslamah, yaitu pedang, tombak, dan topi besinya serta gadanya. Pedang itu masih tersimpan di keluarga Muhammad bin Maslamah dan di situ tertulis kalimat yang hanya bisa dibaca oleh seorang Yahudi, isinya: “Ini pedang Marhab, siapa yang terkena pasti binasa.”Sementara yang lain mengisahkan bahwa yang membunuh Marhab adalah ‘Ali bin Abi Thalib, demikian kata Al-Hakim dalam Mustadrak-nya. Tapi menurut Ibnu Katsir rahimahullahu susunannya aneh (gharib) dan munkar, bahkan dalam sanadnya terdapat rawi yang tertuduh tasyayyu’ (cenderung kepada Syi’ah).
Ketika itu, ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu yang sedang sakit mata, dipanggil oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebelumnya beliau bersabda:
“Sungguh, besok betul-betul akan saya serahkan bendera perang ini kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah akan memberi kemenangan lewat tangannya.”
Para sahabat bermalam sambil bertanya-tanya siapa orang yang akan diserahi bendera tersebut? Bahkan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu mengatakan: “Belum pernah aku berambisi untuk menjadi pemimpin kecuali pada malam itu.”
Keesokan harinya, mereka datang pagi-pagi kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tapi beliau berkata:
“Di mana ‘Ali bin Abi Thalib?”
Para sahabat menyahut: “Dia sakit mata, wahai Rasulullah.” Beliau perintahkan supaya dia dibawa ke hadapan beliau, lalu beliau ludahi kedua matanya dan mendoakannya. Akhirnya kedua mata itu sembuh seolah-olah tidak pernah sakit. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan bendera itu kepadanya.
Kata ‘Ali radhiyallahu ‘anhu: “Wahai Rasulullah, apakah saya perangi mereka agar mereka jadi sama seperti kita (muslim)?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Teruslah, jalan pelan-pelan hingga tiba di pekarangan mereka. Kemudian ajaklah mereka kepada Islam. Terangkan apa yang wajib atas mereka tentang hak Allah dalam Islam. Demi Allah, seandainya Allah beri petunjuk satu orang saja lewat dirimu, maka itu lebih baik bagimu daripada unta merah.” (HR. Al-Bukhari (7/365) dan Muslim (1807) dan Ahmad (4/52) dari hadits Salamah bin Al-Akwa’)
Ketika Marhab keluar dan menantang, ‘Ali radhiyallahu ‘anhu pun membalas:
Akulah yang dinamai ibuku Haidarah (singa kecil)
Bak singa rimba yang menakutkan
Aku sempurnakan mereka dengan sha’ sebanyak cidukan
‘Ali radhiyallahu ‘anhu pun berjalan mendekati benteng. Tiba-tiba salah seorang Yahudi melihat dari atas benteng, lalu bertanya: “Siapa engkau?” Kata ‘Ali: “Aku ‘Ali bin Abi Thalib.” Yahudi itu berseru: “Kamu menang, demi yang diturunkan kepada Musa.”
Setelah Marhab tewas, keluarlah saudaranya, Yasir sambil berkata: “Siapa yang berani bertanding?”
Lalu majulah Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu menyambut tantangannya. Shafiyyah ibunya berkata: “Wahai Rasulullah, (apakah) dia akan membunuh anakku?” Kata beliau: “Bahkan putramulah yang akan membunuhnya, insya Allah.” Az-Zubair radhiyallahu ‘anhu pun berhasil membunuhnya.
Kemudian orang-orang Yahudi lari masuk ke dalam bentengnya yang bernama Al-Qamush. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengepung benteng ini hampir 20 malam. Daerah ini tanahnya buruk dan panas. Kaum muslimin pun merasakan lapar yang berat. Mereka mulai menyembelih keledai jinak, tapi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mereka memakannya.
Sementara di dalam benteng Khaibar, seorang budak Habsyi melihat persiapan orang-orang Yahudi begitu hebat. Dia tertarik dengan pernyataan mereka ketika dia tanya siapa yang akan mereka hadapi itu? Orang-orang Yahudi itu mengatakan bahwa mereka akan menghadapi seseorang yang mengaku nabi. Muncul tanda tanya dalam hatinya ketika mendengar mereka menyebut nabi. Lalu diapun menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya: “Kepada apa yang engkau berdakwah?”
Beliau menjawab: “Saya ajak engkau kepada Islam; agar engkau bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan saya adalah Rasulullah serta tidak menyembah kecuali hanya Allah.”
Budak itu bertanya lagi: “Apa yang saya peroleh jika saya bersaksi dan beriman kepada Allah?”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Jannah (surga), kalau engkau mati di atas persaksian tersebut.”
Budak itupun masuk Islam lalu berkata: “Wahai Nabi Allah, kambing-kambing ini adalah amanah pada saya.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Keluarkan dia dari pasukan kita dan lemparlah dengan kerikil, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menunaikan amanahmu ini.”
Budak itu melaksanakannya, maka pulanglah kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Melihat kambing-kambingnya pulang tanpa gembala, orang Yahudi majikan si budak itu pun mengerti bahwa budaknya telah masuk Islam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai berdiri di hadapan barisan muslimin, menasihati mereka dan mendorong mereka berjihad. Setelah kedua pasukan bertemu, dan terbunuhlah sebagian di antara mereka, termasuk budak hitam tersebut. Pasukan muslimin membawanya ke markas dan memasukkannya ke dalam tenda. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya setelah dia terbunuh, lalu bersabda:
“Sungguh Allah sudah membuat wajahmu menjadi baik, mengharumkan tubuhmu dan memperbanyak hartamu. Dan sungguh aku lihat dua istrinya dari kalangan bidadari surga menanggalkan jubahnya dan masuk ke dalam antara kulit dan jubahnya.” (Hadits ini disahihkan oleh Adz-Dzahabi dalam Tarikhul Islam.)
Diriwayatkan pula oleh An-Nasa`i, Ath-Thahawi, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi dengan sanad yang sahih, bahwa Syaddad bin Al-Hadi radhiyallahu ‘anhu mengatakan:
“Datang seorang Arab dusun kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beriman dan mengikuti beliau. Dia berkata: “Saya akan hijrah bersamamu.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mewasiatkan dia kepada sebagian sahabat. Lalu ketika terjadi perang Khaibar dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memperoleh ghanimah, beliau pun membagi-bagikannya, termasuk kepada si Arab dusun tersebut. Ketika menerimanya, dia bertanya: “Apa ini?” Sahabat yang menyerahkan berkata: “Ini bagianmu yang diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untukmu.” Diapun mengambilnya lalu datang membawanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian katanya: “Apa ini, wahai Rasulullah?”
Beliau berkata: “Bagian yang aku berikan untukmu.”
Dia berkata: “Bukan untuk ini saya mengikuti engkau. Tapi saya mengikuti engkau agar aku dipanah di sini -dia menunjuk ke arah tenggorokannya-, lalu aku mati dan masuk surga.”
Kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Kalau engkau jujur, Allah pasti membenarkanmu.”
Kemudian diapun bangkit menyerbu musuh. Tak lama, dia dibawa ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan terbunuh tepat di tempat yang ditunjuknya. Beliau bertanya: “Diakah ini?”
Kata mereka: “Ya.”
Beliau berkata: “Dia jujur kepada Allah, maka Allah benarkan dia.” Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengafaninya dengan jubahnya lalu meletakkannya di depan, kemudian menyalatkannya. Di antara doa beliau untuknya ialah: “Ya Allah, ini adalah hamba-Mu, dia keluar sebagai muhajir di jalan Engkau lalu terbunuh sebagai syahid, dan aku jadi saksi atasnya.”
Setelah itu, orang Yahudi pindah ke benteng Az-Zubair, di atas bukit Qullah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengepungnya selama tiga malam. Lalu datanglah seorang lelaki Yahudi bernama ‘Azaal dan berkata: “Wahai Abul Qasim (kunyah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), sebetulnya, walaupun engkau kepung selama sebulan, mereka tidak peduli. Mereka punya mata air untuk minum di bawah tanah. Mereka bisa keluar di malam hari lalu minum dari telaga itu lalu pulang ke benteng mereka dan bertahan dari engkau. Kalau engkau putus jalur air minum mereka, tentu mereka akan menyerah.”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai memutus jalur minum mereka. Setelah persediaan air mereka putus, mereka keluar dan menyerang hebat. Terbunuhlah beberapa orang dari muslimin, sedangkan di pihak Yahudi ada puluhan orang tewas. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berhasil menaklukkannya.
Setelah itu, beliau menuju Kutaibah dan Wathih serta Sulalim, benteng Ibnu Abil Huqaiq. Para penghuni benteng ini bertahan sehebat-hebatnya. Akhirnya datang kepada mereka semua orang yang sudah kalah dari Nithah dan Syaq. Ketika mereka tidak keluar dari benteng, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkeinginan untuk menyerang mereka dengan manjaniq (semacam ketapel yang besar). Melihat hal ini, mereka yakin akan binasa kalau diteruskan. Akhirnya mereka menyerah dan minta damai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah pengepungan selama 24 hari.
Akhirnya, turunlah Ibnu Abil Huqaiq berunding dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian disepakati bahwa orang Yahudi harus keluar dari Khaibar membawa anak-anak mereka dan meninggalkan harta mereka kecuali pakaian yang melekat pada tubuh mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam mereka bila mereka menyembunyikan sesuatu dari beliau.
Tapi mereka menyembunyikan kekayaan Huyai bin Akhthab yang dahulu dibawanya pindah dari Madinah (dalam peristiwa pengusiran Bani Nadhir). Beliau bertanya: “Mana kantung kulit yang dibawa Huyai dari Bani Nadhir?”
Katanya: “Habis untuk belanja dan perang.”
Kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Masanya begitu singkat, sedangkan harta itu sangat banyak?” Lalu beliau menyerahkannya kepada Az-Zubair, lalu diapun disiksa sampai mengaku. Akhirnya dia berkata: “Saya pernah melihat dia mengitari reruntuhan di sini.”
Merekapun mendatanginya dan mengitarinya, akhirnya mereka temukan kulit itu di dalam puing-puing. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghukum mati dua putra Ibnu Abil Huqaiq, yang salah satunya adalah suami Shafiyyah bintu Huyai bin Akhthab. Setelah itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menawan wanita dan anak-anak mereka serta membagi-bagi harta mereka. Bahkan beliau ingin pula mengusir mereka dari Khaibar.
Kata mereka: “Wahai Muhammad , biarkan kami di sini mengolah tanah ini, karena kami lebih tahu daripada kalian.”
Hal ini disepakati oleh beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan syarat separuh hasil tanah Khaibar untuk beliau. Demikian diriwayatkan oleh Abu Dawud rahimahullahu di Kitab Al-Kharaj dalam Sunan-nya.
Dalam peristiwa ini, tidak ada yang dibunuh beliau sesudah perdamaian selain kedua putra Ibnu Abil Huqaiq. Itupun karena pelanggaran yang mereka lakukan, dengan menyembunyikan sebagian harta milik Huyai.
Setelah memilih Shafiyyah, beliau perintahkan Bilal membawanya ke kendaraan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan sengaja Bilal membawa mereka melewati bangkai suami dan saudara serta bapak-bapak mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka melihatnya, lalu menegur Bilal:
“Sudah hilangkah kasih sayang darimu, wahai Bilal?”
Kemudian beliau menawarkan Islam kepada Shafiyyah, dan diapun masuk Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memilihnya untuk beliau, lalu membebaskannya dan menjadikan kebebasannya itu sebagai mahar. (HR. Al-Bukhari (7/360) dan Muslim (2/1043) dari hadits Anas radhiyallahu ‘anhu)
Beliau mengadakan walimahan dan masuk kepadanya di perjalanan menuju ke Madinah. Ketika melihat warna hijau di pipi Shafiyyah, beliau bertanya: “Apa ini?”
Kata Shafiyyah: “Wahai Rasulullah, sebelum kedatanganmu kepada kami, saya bermimpi seolah-olah bulan lepas dari tempatnya dan jatuh di pangkuanku. Padahal demi Allah, saya tidak pernah mengingat engkau sedikitpun. Lalu saya ceritakan kepada suami saya, tapi dia menamparku dan berkata: ‘Engkau mengangankan raja yang di Madinah itu (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudnya –ed)’.” (Al-Haitsami dalam Al-Majma’ (9/251), lihat Az-Zaad (3/327).)
Di malam harinya, Abu Ayyub berjaga malam di sekitar tenda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai subuh. Ketika dia melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diapun bertakbir. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya: “Ada apa, wahai Abu Ayyub?”
Katanya: “Saya berjaga malam, ketika engkau masuk kepada wanita ini. Saya teringat engkau telah membunuh bapak dan suaminya, saudara serta kerabatnya. Maka saya khawatir dia membunuhmu diam-diam.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tertawa mendengarnya dan mendoakan kebaikan baginya.
Buah Perang Khaibar
Dua puluh orang muslim menemui syahid.
Sembilan puluh Yahudi terbunuh.
Muslimin mendapatkan rampasan perang yang banyak. Dan muslimin berhasil menghilangkan bahaya Yahudi. Karena selama ini Yahudi merupakan ancaman bagi kaum muslimin.
Penduduk Fadak, di utara Khaibar, segera mengikat perjanjian dengan muslimin. Daerah itu dikhususkan untuk Rasulullah.
Dari Abu Hurairah r.a., katanya: Setelah Khaibar diduduki, ada orang yang menghadiahkan daging kambing yang beracun kepada Nabi saw. Lalu beliau bersabda: “saya hendak bertanya kepadamu tentang satu hal! Adakah kamu mau memberikan keterangan yang sebenarnya kepada saya!”. Mereka menjawab: “Ya” Nabi SAW bertanya kepada mereka :”Siapa ayahmu?” mereka itu menjawab :”Si Anu !” Lalu beliau bersabda :” kamu dusta, akan tetapi ayah kamu si “Anu”. Mereka itu berkata:” Benar Tuan!” Beliau bertanya :” Adakah kamu mau menjawab dengan benar kepada saya tentang sesuatu yang saya tanyakan ?” Ya, hai Abu Qasim! Sekiranya kami berdusta, tuan ketahui dusta kami sebagaimana tuan ketahui tentang ayah kami”. Beliau menanyakan kepada mereka: “Siapa ahli neraka”?” Mereka itu menjawab: “Kami berada didalamnya dalam masa yang singkat, kemudian kamu gantikan kami didalamnya”. Nabi saw lalu bersabda :”Kamu akan tetap disika dalam neraka itu, demi Allah! Kami tidak akan pernah menggantikan kamu didalam neraka itu”.
Kemudian beliau bersabda lagi: “Adakah kamu mau menjawab dengan benar kepada saya tentang sesuatu yang saya tanyakan?” Jawab mereka: “Ya, hai Abu Qasim!” Beliau bertanya: “Adakah kamu isikan racun dalam daging kambing ini?” Jawab mereka: ”Ya”. Tanya beliau : “ Apakah yang mendorong kamu berbuat demikian?” Jawab mereka: ”Maksud kami ialah, kalau sekiranya tuan seorang pendusta, kami akan senang. Dan kalau sekiranya tuan seorang Nabi, racun itu tidak akan membahayakan tuan.” (HR. Bukhari 1412)
Pembuktian bahwa nabi Muhammad selamat dari racun yang diberikan oleh wanita Yahudi Zainab binti Hârits, istri Salâm bin Misykam, salah seorang pembesar Yahudi adalah:
1. Perang Khaibar terjadi pada tahun 628 M (tahun ke 7 H) dan pada bulan February 629 M – Zul Qa’dah 7 H) Nabi dan kaum Muslimin melaksanakan Umratul Qadha’.
2. Setelah perang Khaibar dapat ditaklukkan, Rasulullah menikah dengan Shafiyah binti Huyaiy bin Akhtab. Pada tahun yang sama.
3. Bulan January 630 M (Ramadhan 8 H) Nabi Muhammad pun masih SEHAT WAL ‘AFIAT. Beliau membuka kota Makkah dan menghancurkan semua berhala-behrhala yang ada disekitar Ka’bah. Peristiwa ini dikenal dengan “FATHUL MAKKAH”. Nabi masuk dengan jaminan penuh dari beliau bahwa tidak ada satu tetespun darah yang jatuh. Padahal kalau beliau mau kehancuran dan kebinasaan kota Makkah bertengger di bibir beliau. Hanya dengan satu sekali perintah tentara yang berjumlah 12.000 personil dalam sekejab akan membinasakan kota Makkah dalam seketika.
4. 4 (Empat tahun) dari peristiwa Khaibar Rasulullah masih HIDUP!! Dan pada bulan maret 632 M, atau tepatnya Dzulhijjah 10 H) Rasulullah melaksanakan Haji Wada’ bersama-sama dengan kira-kira 114.000,- orang kaum muslimin untuk menunaikan ibadah haji.
5. Pada bulan Mei 632M, atau bulan safar 11 H, Rasulullah menyiapakan Tentara Usamah
untuk pergi ke Negri Syam.
6. Pada tgl 7 Juni 632 M atau pada hari senin12 Rabi’ul awal (bertepatan dengan hari
kelahiran beliau) Nabi Muhammad wafat.
Nabi Muhammad wafat karena sakit biasa dan bukan karena racun:
Sebelum beliau wafat, Rasulullah SAW tetap melaksanakan Dak’wah :
Dari Aisyah ra., katanya :”Ketika sakit Nabi bertambah berat, beliau meminta kepada semua istri beliau, supaya ia diizinkan selama sakit ia dirawat dirumahku, dan mereka semua mengizinkannya. Lalu Nabi pergi ke rumah Aisyah dipapah oleh dua orang laki-laki, sedangkan kedua belah kaki beliau tercecah menggaris tanah dinatara kedua orang laki-laki itu, yaitu Abbas dan seorang lagi.”
Kata Ubaidillah, “Cerita Aisyah itu kuceritakan kepada Abbas, lalu dia menanyakan kepadaku, tahukah engkau siapa laki-laki yang seorang lagi itu?”
Jawabku, “Tidak!” Katanya, “Dia adalah Ali”.
Selanjutnya Aisyah menceritakan juga, bahwa setelah Rasulullah SAW berada dirumahnya, sedangkan sakit Rasul bertambah keras juga, maka beliau bersabda, “Siramkanlah kepadaku tujuh girbag air yang masih utuh, mudah-mudahan aku segera dapat melaksanakan da’wah kembali kepada orang banyak.”
Lalu Nabi didudukkan kedalam sebuah bak mandi terbuat dari kuningan, kepunyaan hafshah, istri nabi saw, kemudian beliau kami sirami dengan air yang disuruhkan Nabi, sampai beliau memberi isyarat kepada kami, ‘Sudah cukup.”
Sesudah itu beliau pergi ke Mesjid menemui jamaah”
(HR Bukhari 135)
Kesimpulan:
Beberapa sahabat Rasulullah SAW yang ikut makan daging kambing dengan Rasul ketika itu tewas saat itu juga, apa bila dia bukan seorang Rasul maka dapat di pastikan akan ikut tewas.
Itu artinya racun yang di bawah oleh wanita yahudi sangat mematikan. Jadi tidak benar Rasulullah SAW wafat karena racun.
Selamatnya Rasul dari racun merupakan salah satu Mukjizat yang di berikan Allah SWT kepada beliau.
Wallahu'alam bishowab
0 comments:
Posting Komentar