Searching...
21/08/12

ANTARA AL-BUKHARI DAN AL-SYAFI'I

ANTARA AL-BUKHARI DAN AL-SYAFI'I

Meski semua ulama hadits sepakat menilai lemah [dha’if] setiap sanad yang terputus, namun mereka berselisih pendapat tentang sanad yang terdapat dua orang perawi yang hidup semasa (mu’asharah) namun tidak pernah terbukti. Imam Muslim berpendapat bahwa “hidup semasa (al-mu'asharah)” yang disokong oleh peluang perjumpaan dan bebas dari sifat tadlis sudah cukup untuk menilai sanad itu bersambung. Sementara hal itu menurut Imam Al-Bukhari tidak cukup. Ia tetap menuntut bukti yang menunjukkan perjumpaan (liqa) keduanya agar riwayat mereka dinilai bersambung. Karena pendiriannya ini, para ulama menilai metode penerimaan hadits yang diterapkan Al-Bukhari lebih ketat dibandingkan Muslim, sehingga menempatkan kitab Shahih al-Bukhari di tempat yang lebih tinggi daripada Shahih Muslim.

Menariknya, metode ketat yang diterapkan Al-Bukhari dalam penerimaan hadits ini ternyata telah dipraktekkan jauh sebelumnya oleh Imam Muhammad bin Idris Al-Syafii (150-204 H). Fakta ini menunjukkan beberapa perkara penting, salah satunya: kenyataan bahawa Al-Syafii seorang pakar ilmu hadits. Bukan hanya itu, kes ini juga bahkan menunjukkan bahawa kemampuannya dalam menilai hadits tidak kurang teliti daripada pakar hadits terbaik sepanjang sejarah, iaitu Imam Al-Bukhari. Dan karena kehadiran Al-Syafii mendahului Al-Bukhari, menurut saya tidak salah jika kita berani berkata bahwa metode kritik hadits Al-Syafii telah mengilhami, jika tidak menjadi panutan, Al-Bukhari dan para ahli hadits setelahnya.

Di bawah ini adalah ringkasan dari salah satu bahasan di dalam thesis yang saya yang bertajuk “Manhaj Al-Imam Al-Syafi’I fi Ta’lil Al-Hadits” untuk meraih gelar sarjana [masters] di jurusan Al-Sunnah wa ‘Ulumil Hadits Univ. Om Durman Sudan pada tahun 2007.

Sebelum membuktikan kesamaan metode yang diterapkan Al-Syafii dan Al-Bukhari, ada baiknya jika kita mengkaji latar belakang ilmu hadits yang dimiliki Al-Syafii.

Al-Syafii dan Hadits

Meski terjadi perselisihan riwayat tentang masa kedatangan Al-Syafii ke Mekah untuk pertama kali, namun semua sepakat bahwa ia datang ke Mekah ketika kota ini dipenuhi ulama-ulama hadits yang ternama. Di antara sekian banyak ulama pada saat itu, Sufyan bin ‘Uyainah menempati posisi yang paling terhormat karena keluasan ilmu dan banyak haditsnya. Oleh karena itu, sejak remaja Al-Syafii telah bersungguh-sungguh menghadiri majlis riwayatnya sehingga terjalin hubungan personal yang sangat kuat antara guru dan murid ini. Selain dari Ibn ‘Uyainah, Al-Syafii menimba ilmu dari ulama-ulama lain di Mekah seperti Muslim Al-Zinji, Sa’id Al-Qaddah dan lain-lain.

Perjalanan ilmiah Al-Syafii menuntut hadits dilanjutkan ke Madinah ketika pada usia 23 tahun (sesuai pendapat Al-Dzahabi) ia datang ke kota ini dan berjumpa dengan Malik bin Anas, Ibrahim bin Muhammad Ibn Abi Yahya, Abd Al-'Aziz bin Muhammad Al-Darawardi, Ibrahim bin Sa'ad, Anas bin 'Iyadh dan lain-lain. Semua orang ini boleh dikata merupakan tiang-tiang penyangga hadits dan fiqh di Madinah kala itu.

Dengan begitu, Al-Syafii telah berhasil mengumpulkan perbendaharaan hadits ahli Hijaz yang terkenal bersih dari ‘illat dan sangat kuat untuk dijadikan dalil. Ketinggian mutu hadits ahli Hijaz ini dijelaskan Sufyan Ibn 'Uyainah, “Barangsiapa yang menginginkan sanad dan hadits yang meyakinkan dan hati tenang menerimanya maka carilah hadits ahli Hijaz.” [“Al-Tamhid” 1/79] Al-Khathib Al-Baghdadi juga berkata, “Jalur Sunnah yang paling sahih adalah yang diriwayatkan oleh ahli Haramain: Mekah dan Madinah. Sebab tadlis dalam riwayat mereka sedikit, hadits-hadits dusta dan palsu jarang sekali terjadi.” [Lihat “Tadrib Al-Rawi” hal 63]

Syeikhul Islam Ibn Taymiah mendukung pendapat ini dengan berkata, “Barangsiapa yang memperhatikan bab-bab Shahih Al-Bukhari, ia akan melihat bahwa Imam Al-Bukhari selalu berusaha menyebutkan hadits ahli Hijaz di awal bab jika ia temukan, sebelum ia menyebutkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh ulama-ulama dari berbagai kota yang lain.” [Tafdhil Madzhab Malik wa Ahl Al-Madinah wa Shihat Ushulih”, Ibn Taymiah, hal. 56]

Sebenarnya, memiliki perbendaharaan hadits ahli Hijaz yang sangat luas ini sudah cukup untuk menjadi modal berijtihad. Namun ternyata Al-Syafii melanjutkan perjalanan intelektualnya dengan pergi ke Yaman, Baghdad dan Mesir untuk mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat di semua kota ini dan berdiskusi dengan para tokoh ulamanya. Hasilnya: jangkauan riwayatnya semakin luas dan ijtihadnya semakin matang. Kematangan itu misalnya telihat sebagai berikut: selama di Mekah dan Madinah, Al-Syafii hanyut bersama metode ijtihad ahli Hijaz serta memandang negatif hadits-hadits yang diriwayatkan ahli Irak. Ulama-ulama Hijaz pada masanya, seperti Ibn Syihab Al-Zuhri dan Imam Malik, sering berkata, “Jika hadits telah keluar dari Hijaz maka hilang wibawanya.” [“Al-Tamhid” 1/80, “Tadrib Al-Rawi” hal. 63]. Sebagai pemuda Hijaz, Al-Syafii setuju dengan pendapat ini sehingga ia juga berkata, “Demi Allah, jika sanad hadits yang berasal dari Irak sesahih apapun, namun jika aku tidak menemukan hadits yang mendukung maknanya di negeri kami (Hijaz), maka aku tidak mengindahkan hadits tersebut.” [Adab Al-Syafi'i wa Manaqibuh, hal. 153, Manaqib Al-Syafi'i, al-Baihaqi, 1/526, Ma'rifat Al-Sunan wa Al-Atsar 1/150.]

Setelah berkesempatan berjumpa dengan ulama-ulama Irak seperti Ismail bin ‘Ulayyah dan Waki’ bin Al-Jarrah, juga pemuda-pemuda cerdas seperti Ahmad bin Hanbal dan ‘Ali bin Al-Madini, persepsi Al-Syafii terhadap hadits ahli Irak berubah. Cara berpikirnya lebih obyektif sehingga ia berani berkata kepada Ahmad bin Hanbal dan pemuda-pemuda pakar hadits di Irak, “Kalian lebih menguasai hadits dan rijal (nama-nama perawi) daripada diriku. Maka jika ada sebuah hadits yang sahih, maka beritahulah aku. Aku akan menerimanya walaupun hadits itu berasal dari Kufah, Basrah atau Syam jika ia benar-benar sahih.” [Adab Al-Syafi'i wa Manaqibuh, hal. 70]. Al-Baihaqi berkata, “Al-Syafi'i tidak menyebut Hijaz, sebab ia lebih mengetahui hadits-hadits ahli Hijaz dan tokoh-tokoh perawinya daripada mereka.”

Hingga akhir hayatnya, Al-Syafii berpegang kepada prinsip ini sebagaimana yang diceritakan muridnya di Mesir Bahr bin Nashr, “Al-Syafi'i mendiktekan [imlakkan] kepada kami kata-katanya: barangsiapa yang dikenal jujur dan hafal dari ahli Irak atau negeri kita (Hijaz), kami menerima haditsnya. Dan barangsiapa yang terkenal sering keliru dari ahli Irak atau negeri kita, maka kami menolak haditsnya. Kami tidak fanatik kepada siapapun dan kami tidak mendeskriminasikan siapapun.” [Manaqib Al-Syafi'i, 1/528]

Semua ini juga menunjukkan bahwa sebelum Al-Syafii berpindah ke Mesir dan wafat di kota ini, ia telah mengusai perbendaharaan hadits yang sangat kaya. Ia telah mengusai hadits-hadits yang terdapat di pusat-pusat hadits kala itu, yakni: Mekah, Madinah, Yaman, Baghdad lalu Mesir. Kekayaan hadits ini membuat Al-Syafii menjadi seorang ahli hadits yang mahir dalam menilai hadits juga status perawinya. Berkenaan dengan perawi hadits, kita dapat menemukan ucapan Al-Syafii tentang para perawi terpercaya (tsiqah) seperti: Abd Al-Wahab Al-Tsaqafi, 'Amr bin Al-Haitsam, Dawud bin Syabur, Dawud bin Qais Al-Dabbagh, Yahya bin Sulaim, Zam'ah bin Shalih, Usamah bin Zaid Al-Laitsi dan Muhammad bin Abi Humaid. Perawi-perawi lain yang dinilainya lemah (dhaif) antara lain: Mujalid bin Sa’id, Al-Jild bin Ayyub, Jabir Al-Ju’fi, Laits bin Abi Sulaim dan Ikrimah maula Ibn ‘Abbas.

Al-Syafii bahkan melontarkan kata-kata keras terhadap para perawi tertentu yang dinilainya telah berdusta seperti katanya, “Meriwayatkan (hadits) dari Haram bin Utsman (hukumnya) haram.” Ia juga berkata, “Barang siapa meriwayatkan hadits dari Abu Jabir Al-Bayadhi, semoga Allah memutihkan matanya.” Katanya lagi, “Katsir bin 'Abdillah Al-Muzani, ia seorang rukun kedustaan.” Al-Syafii menilai ketiga orang ini matruk (harus ditinggalkan haditsnya), sehingga tak satupun kita menemukan hadits-hadits mereka di buku-buku Al-Syafii.

Penilaian Al-Syafii kepada perawi hadits tidak dilakukan dengan sembarangan, melainkan sesuai dengan sebuah mekanisme penelitian yang sangat teliti. Ia berkata di Al-Risalah [hal 383], “Dinilai hafalan seorang perawi hadits dengan (cara): jika beberapa orang meriwayatkan (sebuah hadits yang sama) dari seorang guru, jika salah seorang dari mereka sesuai riwayatnya dengan riwayat mereka maka ia dinilai hafal. Dan ia tidak dinilai hafal jika riwayatnya tidak sesuai dengan riwayat mereka."

Artinya, jika kita hendak menilai status ketsiqatan Muhammad bin Ishaq bin Yasar misalnya, kita harus mengumpulkan semua hadits yang ia riwayatkan dari guru-gurunya seperti Al-Zuhri, Fatimah binti Al-Munzir dan lain-lain. Setelah itu, kita harus memeriksa setiap hadits tersebut dengan membandingkannya dengan riwayat perawi-perawi lain dari Al-Zuhri, seperti Malik bin Anas, ‘Uqail bin Khalid, Yunus bin Yazid dan lain-lain. Jika kita dapati riwayatnya berbeda dengan riwayat mereka, walau hanya satu kata, maka hal itu dicatat sebagai kesalahan. Semakin banyak kesalahan itu berulang, semakin lemah statusnya dalam periwayatan. Al-Syafii berkata, "Seorang perawi yang sering keliru dan tidak memiliki buku catatan haditsnya tidak kami terima. Sebagaimana orang yang sering keliru dalam persaksian maka persaksiannya kami tolak." [Al-Risalah, hal. 382]

Sebaliknya, jika ternyata kesalahannya sangat sedikit dibandingkan keseluruhan riwayat-riwayatnya, tidak ada seorangpun yang berhak menilai dirinya lemah. Metode ini bukan hanya milik Al-Syafii, melainkan dijelaskan pula oleh Imam Muslim di mukaddimah kitab Shahih-nya ketika ia berbicara tentang hadits munkar. Metode ini juga kemudian menjadi pegangan Ibn Al-Shalah dan semua ulama yang menulis tentang ilmu hadits setelahnya. Tanpa menerapkan metode ini, diskusi panjang lebar tentang status seorang perawi hanya perdebatan kosong belaka.

Karena berlandaskan metode penilaian yang diakui keabsahannya, tak heran jika tokoh-tokoh hadits kenamaan seperti Imam Muslim, Ibn 'Adi, Ibn Hibban, Al-Dzahabi dan Al-Sakhawi sepakat menjadikan Al-Syafii sebagai rujukan muktamad dalam ilmu al-jarh wa al-ta'dil.

Metode Al-Syafii

Kini saatnya membuktikan ucapannya saya di muka tentang kesamaan metode Al-Syafii dengan Al-Bukhari. Al-Syafi'i berkata di Kitab Al-Risalah [hal. 379], "Ucapan perawi: [aku mendengar fulan berkata: telah memberitahuku fulan] dan ucapannya: [telah memberitahuku si fulan dari fulan]; sama menurut ahli hadits. Ia hanya meriwayatkan dari orang yang dijumpai sesuatu yang didengar. Maka siapa saja yang kami tahu berpendirian seperti ini kami terima (ucapannya): telah memberitahuku si fulan dari fulan jika ia tidak mudallis.

Al-Hafiz Ibn Hajar berkata, “Al-Syafi'i menyebutkan bahwa ia hanya menerima (ucapan) “dari” ('an) jika perawinya tidak mudallis dan menggunakan kalimat ini untuk sesuatu yang ia dengar. Maka pendapatnya mirip dengan mazhab Al-Bukhari yang berpendapat bahwa jika terbukti pertemuan walau satu kali maka riwayatnya sama seperti ia mendengar (hadits itu dari gurunya).” [Al-Nukat” hal. 231]. Penafsiran Ibn Hajar ini sama dengan penafsiran Abu Bakar Al-Shairafi di kitab “Syarh Al-Risalah”.

Praktek Al-Syafi'i dalam kritik hadits ternyata sejalan dengan penafsiran kedua imam ini. Kita menemukan sering kali Al-Syafi'i menghukumkan mursal (terputus) untuk hadits-hadits yang diriwayatkan seorang perawi dari perawi lain yang hidup semasa dengannya apabila tidak terbukti keduanya pernah berjumpa atau mendengar satu sama lain.

Al-Syafi'i berkata, “Hadits Sulaiman bin Yasar dari Al-Miqdad bin Al-Aswad terputus. Kami tidak mengetahui bahwa ia pernah mendengar darinya.

Hadits yang dimaksud adalah riwayat Malik, Ahmad, Abu Dawud dan lain-lain dari Sulaiman bin Yasar dari Al-Miqdad bahwa 'Ali bin Abi Thalib memintanya bertanya kepada Nabi Saw tentang seorang laki-laki yang sering keluar madzi setiap kali berdekatan dengan istrinya. Rasulullah Saw lalu bersabda, “Jika salah satu dari kalian mendapati hal itu, maka cucilah kemaluanya, lalu berwudhulah seperti berwudhu hendak shalat.”

Al-Miqdad bin Al-Aswad disepakati wafat pada tahun 33 H, sementara Sulaiman bin Yasar diperselisihkan tahun kelahirannya; apakah tahun 34 H atau 27 H. Jika kita mengambil pendapat yang pertama (seperti yang dilakukan oleh Ibn 'Abd al-Bar, Al-Qadhi 'Iyadh dan Waly Al-'Iraqi) maka riwayatnya dari Al-Miqdad jelas terputus. Sebab ia belum lahir ketika Al-Miqdad telah wafat. Namun jika kita mengambil pendapat yang kedua (sebagaimana pendapat Ibn Hibban dan Al-'Alla'i), ada kemungkinan ia mendengar dari Al-Miqdad. Sebab ketika Al-Miqdad meninggal dunia, Sulaiman telah berusia 6 tahun apalagi keduanya berada di Madinah.

Namun begitu, “kemungkinan mendengar” saja menurut Al-Syafi'i tidak cukup untuk menyatakan sanad ini bersambung. Diperlukan informasi berupa riwayat yang jelas menunjukkan bahwa salah satu dari mereka berdua benar-benar pernah mendengar dari yang lain walau hanya satu kali. Itu sebabnya, Al-Syafii tetap menilai sanad ini terputus.

Begitu juga riwayat 'Atha bin Yasar dari Rafi' bin Khadij hadits tentang menanam pohon tanpa izin pemilik tanah. Al-Syafi'i berkata, “Hadits ini munqathi' (terputus) sebab 'Atha tidak berjumpa dengan Rafi'.”

Beliau berkata demikian meski keduanya hidup di masa yang sama. Rafi' bin Khadij wafat pada tahun 73 H dan 'Atha lahir pada masa pemerintahan Sayyidina 'Umar (jadi sebelum tahun 23 H) dan wafat pada tahun 114 H. Jadi ketika Rafi’ bin Khadij wafat, Atha bin Yasar telah menjadi seorang dewasa, usianya tak kurang dari 40 tahun. Ditambah lagi, Rafi' menetap di Madinah dan 'Atha di Mekah, kota ini sangat dekat, jadi kemungkinan perjumpaan mereka sangat besar. Namun tak adanya riwayat yang menunjukkan bahwa mereka pernah berjumpa menjadi penghalang untuk mensahihkan hadits ini menurut Al-Syafi'i. Al-Baihaqi berkata, “Hadits ini dilemahkan juga oleh Al-Bukhari.”

Al-Syafi'i juga berkata, “Sulaiman bin Yasar setahu kami tidak pernah mendengar dari 'Aisyah satu huruf pun. Jika ia meriwayatkan darinya, maka (riwayatnya) mursal.”

Beliau berkata seperti itu untuk melemahkan hadits Sulaiman dari 'Aisyah bahwa ia pernah mencuci mani dari pakaian Rasulullah Saw kemudian beliau shalat dengan memakai baju itu. Siti 'Aisyah menetap di Madinah hingga wafatnya pada tahun 57 H atau 58 H, dan Sulaiman bin Yasar adalah bekas hamba (maula) Umm Salamah –istri Nabi Saw juga seperti 'Aisyah- dan juga menetap di Madinah. Jadi kemungkinan mereka telah berjumpa sangat besar. Namun Al-Syafii tetap menoak riwayat Sulaiman dari 'Aisyah karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa mereka pernah berjumpa walau hanya satu kali.

Ternyata, beberapa tahun kemudian Al-Bukhari menemukan bukti yang menunjukkan pertemuan Sulaiman dengan Aisyah sehingga ia lalu menshahihkan hadits ini dan mencantumkannya di kitab Shahihnya. Hal ini tidak merusak ucapan saya tentang kesamaan metode antara Al-Syafii dan Al-Bukhari. Sebab pada asalnya mereka tetap sepakat bahwa dua orang perawi tidak dinyatakan bersambung riwayatnya selama tidak terbukti pernah berjumpa. Andai Al-Syafii menemukan bukti itu, Insya Allah ia pasti menshahihkan hadits tersebut sebagaimana yang dilakukan Al-Bukhari. Wallahu a’lam.

0 comments:

Posting Komentar

 
Back to top!