BERFIKIR SEPERTI ULAMA
Pernahkah anda membaca buku Five Minds for the Future,
tulisan Howard Gardner. Beliau seorang penulis terkenal yang banyak
menghasilkan buku-buku yang membahas tentang mekanisme pemikiran
manusia. Dalam buku ini, beliau mengajukan lima mekanisme pemikiran yang
wajib dikuasai oleh setiap orang yang ingin tetap bertahan di dunia
yang terus berkembang dan membawa pelbagai cabaran baru. Lima pemikiran
itu adalah pemikiran yang disiplin [discipline mind], pandai menghimpun
[synthesizing mind], kreatif [creative mind], penuh hormat [respectful
mind] dan etis [ethical mind].
Saya bukan hendak membahas tiap-tiap satu daripada lima cara pemikiran tersebut. Saya sadar itu berada di luar disiplin kajian saya. Akan tetapi, artikel saya kali ini akan mengulas sebuah ucapan Gardner yang saya temukan sangat mengena dalam hati dan kesadaran saya. Beliau menulis seperti ini: “My formal discipline is psychology, and it took me a decade to think like psychologist.”
Saya setuju dengan kata-kata ini. Memang sering kali terdapat jurang antara disiplin formal seseorang dengan cara pemikiran yang seharusnya ia miliki dan gunakan. Dengan kata-kata lebih sederhana, anda tidak otomotis menjadi seorang pakar psikologi hanya karena anda lulus dari fakultas psikologi. Akan tetapi diperlukan masa yang cukup lama untuk melatih diri sehingga berpikir seperti seorang pakar psikologi. Fenomena ini terjadi pada semua disiplin ilmu,baik ilmu sekuler ataupun ilmu agama.
Fiqh
Jika kita terapkan kata-kata ini dalam ilmu-ilmu keislaman, saya berani berkata bahwa seseorang tidak otomatis menjadi seorang faqih, atau berfikir seperti faqih, hanya dengan belajar di jurusan di jurusan Syariah, di Universitas manapun.
Kemahiran fiqh [al-malakah al-fiqhiah] hanya diraih setelah lama bersabar melatih diri dalam menerapkan kaidah-kaidah usul, mengkaji semua hukum furu’ yang terdapat di dalam kitab-kitab fiqh, menyamakan dua hukum furu’ yang berbeda [al-asybah wan naza’ir] dan membedakan yang sama [al-furuq], mengembalikan furu’ kepada ushul, memahami berbagai hujah dan dalil, mengetahui masalah-masalah yang disepakati dan diperselisihkan [mawadi’ al-ijma’ wal ikhtilaf], mengkias dan mentakhrij masalah baru dengan masalah lama, memahami maqasid syariah, selain bermujahadah dengan sifat warak dan zuhud, selalu meminta petunjuk dari Ulama dan memohon petunjuk dari Allah Swt.
Melatih diri dengan “fiqh praktikal” seperti ini akan membuat otaknya terbiasa berfikir dalam kerangka fiqh, lalu sedikit demi sedikit terbentuk jiwa seorang faqih di dalam diri. Pada saat itu, fatwa dan ucapannya tentang suatu hukum tidak akan melahirkan kontroversi. Berkata Imam Al-Syafii, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam kitab Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih [1/59]:
لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يُفْتِيَ فِي دِينِ اللَّهِ إلَّا رَجُلًا عَارِفًا بِكِتَابِ اللَّهِ بِنَاسِخِهِ وَمَنْسُوخِهِ ، وَمُحْكَمِهِ وَمُتَشَابِهِهِ ، وَتَأْوِيلِهِ وَتَنْزِيلِهِ ، وَمَكِّيِّهِ وَمَدَنِيِّهِ ، وَمَا أُرِيدَ بِهِ ، وَيَكُونُ بَعْدَ ذَلِكَ بَصِيرًا بِحَدِيثِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَبِالنَّاسِخِ وَالْمَنْسُوخِ ، وَيَعْرِفُ مِنْ الْحَدِيثِ مِثْلَ مَا عَرَفَ مِنْ الْقُرْآنِ ، وَيَكُونُ بَصِيرًا بِاللُّغَةِ ، بَصِيرًا بِالشِّعْرِ وَمَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ لِلسُّنَّةِ وَالْقُرْآنِ ، وَيَسْتَعْمِلُ هَذَا مَعَ الْإِنْصَافِ ، وَيَكُونُ بَعْدَ هَذَا مُشْرِفًا عَلَى اخْتِلَافِ أَهْلِ الْأَمْصَارِ ، وَتَكُونُ لَهُ قَرِيحَةٌ بَعْدَ هَذَا ، فَإِذَا كَانَ هَكَذَا فَلَهُ أَنْ يَتَكَلَّمَ وَيُفْتِيَ فِي الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ ، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ هَكَذَا فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُفْتِيَ .
“Tidak halal bagi seseorang berfatwa di dalam agama Allah kecuali seseorang yang mengusai Kitab Allah; nasikh dan mansukhnya, muhkam dan mutasyabihnya, takwilnya dan tanzilnya, makki dan madaninya, dan apa yang dimaksudkan dengannya. Setelah itu, ia juga wajib menguasai hadis Rasulullah Saw, [hadis] nasikh dan mansukhnya, dan ia menguasai hadis sepertimana ia menguasai Al-Qurán. Ia juga mesti menguasai ilmu bahasa, menguasai syair-syair Arab yang diperlukan dalam [memahami Al-qurán dan sunnah], dan menggunakan ilmu ini dengan penuh keinsafan. Setelah itu, ia juga mesti mengetahui ikhtilaf para ulama dari berbagai negeri, ia juga harus memiliki tajam pemikiran. Apabila orang itu seperti ini, maka dipersilakan untuk berbicara dan berfatwa di dalam perkara halal dan haram. Jika tidak seperti itu, maka tidak boleh baginya berfatwa.”
Tanpa ini semua, anda mungkin bisa mendapat derajat tinggi dalam mata pelajaran fiqh, bahkan meraih Doktor Falsafah dari Universitas Timur dan Barat, namun saya jamin anda tidak akan pernah menjadi seorang faqih. Dan gelaran mujtahid tentu lebih jauh lagi.
Hadits
Dalam bidang hadits pun seperti itu. Anda mungkin telah meraih gelar master atau doktor dalam bidang hadis, namun itu belum membuat anda menjadi seorang muhaddis apalagi hafiz. Untuk mencapai derajat ini, anda harus menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menghafal nama-nama perawi, menimbang hafalan setiap daripada mereka, mengumpulkan sanad, mentakhrij hadis, menyingkap dan memahami ‘illat-‘illat yang sangat halus, mengkaji kometar ahli hadis dalam menilai status hadis, memeriksa kontradiksi matan hadis dengan nas-nas syarak yang lain [ikhtilaf dan musykil hadits], dan berbagai “ilmu hadis praktikal” lainnya.
Semua ini memerlukan ketelitian dan latihan yang panjang. Tanpa ini semua, anda mungkin boleh menguasai mustolah hadis [yakni menghafal istilah-istilah dan takrif-takrif] tapi bukan ilmu hadis. Anda mungkin menjadi sarjana dalam bidang hadis, namun bukan ahli hadis. Imam Husyaim bin Basyir berkata:
من لم يحفظ الحديث فليس هو من أصحاب الحديث
“Orang yang tidak menghafal hadis, maka bukanlah ia termasuk daripada ahli hadis.” [Al-Kifayah fi ‘Ilm Al-Riwayah hal. 228].
Berkenaan dengan ini, Al-Hafiz al-Suyuthi menukil ucapan Tajuddin Al-Subki dalam pembukaan kitabnya “Tadrib Al-Rawi” [hal. 9] sebagai berikut:
من النَّاس فرقة ادَّعت الحديث, فكان قصارى أمرها النَّظر في «مشارق الأنوار» للصَّاغانى, فإن تَرَفَّعَت ارتقت إلى «مصابيح» البغوي, وظنَّت أنَّها بهذا القدر تصل إلى درجة المُحدِّثين, وما ذلك إلاَّ بجهلها بالحديث, فلو حفظ من ذكرناه هذين الكتابين عن ظهر قلب, وضمَّ إليهما من المُتون مثليهما لم يكن مُحدِّثًا, ولا يصير بذلك مُحدِّثًا حتَّى يَلج الجَمَلُ في سَمِّ الخياط, فإن رامت بُلوغ الغاية في الحديث على زعمها, اشتغلت «بجامع الأصول» لابن الأثير, فإن ضمت إليه «علوم الحديث» لابن الصَّلاح, أو مُختصره المُسمَّى «بالتقريب والتيسير» للنووى, ونحو ذلك, وحينئذ يُنادى من انتهى إلى هذا المقام: بمحدِّث المُحدِّثين, وبُخاري العصر, وما ناسب هذه الألفاظ الكاذبة, فإنَّ من ذكرناهُ لا يُعَدُّ مُحدثًا بهذا القدر, وإنَّما المُحدِّث من عرف الأسانيد, والعلل, وأسماء الرِّجال, والعالي والنازل, وحفظ مع ذلك جُملة مُستكثرة من المُتون, وسع الكتب السِّتة, و«مسند» أحمد بن حنبل, و«سنن» البَيْهقى, و«معجم» الطَّبراني, وضمَّ إلى هذا القدر ألف جُزء من الأجزاء الحديثية, هذا أقل درجاته, فإذا سمع ما ذكزناهُ, وكتب الطِّباق, ودار على الشِّيوخ, وتكلَّم في العلل, والوفيات, والمَسَانيد, كان في أوَّل درجات المُحدِّثين, ثمَّ يزيد الله من يشاء ما شاء.
“Sekelompok manusia mendakwa dirinya sebagai ahli hadis, padahal maksimal yang mereka lakukan hanyalah memandang kitab Masyariq Al-Anwar karangan Al-Saghani, paling tinggipun hanya sampai kepada kitab Masabih karya Al-Baghawi. Ia mengira dengan seperti ini telah mencapai darjat muhaddits.
Hal ini hanyalah karena kejahilan mereka tentang hadis. Andai mereka menghafal kitab-kitab yang saya sebutkan tadi, ditambah dua kali lipat daripada itu, ia tetap belum menjadi seorang muhaddis hingga unta masuk ke lubang jarum! Jika ia ingin mencapai darjat tertinggi, ia menyibukkan diri dengan kitab Jami Al-Ushul karya Ibn Al-Atsir. Jika ia membaca bersamanya kitab Ulumul Hadits karya Ibn Al-Solah, atau ringkasannya yang bertajuk Al-Taqrib wa Al-Taysir karangan Al-Nawawi, pada saat itu ia segera digelari muhadits al-muhadditsin, atau “Bukhari zaman ini.”
Gelaran-gelaran dusta ini sangat tidak patut sama sekali. Sesungguhnya seseorang tidak dianggap sebagai muhaddits hanya dengan membaca dan memahami seperti itu. Muhaddits ialah orang yang menguasai sanad, ‘ilal, nama-nama perawi, juga al-‘ali wan nazil [riwayat yang tinggi dan rendah], lalu menghafal jumlah yang banyak daripada matan-matan hadis. Ia mendengar dari gurunya enam kitab hadis [al-kutub al-sittah], Musnad Ahmad, Sunan Al-Baihaqi, Mu’jam Al-Thabarani, ditambah lagi seribu risalah daripada risalah-risalah hadis [al-ajza al-haditsiah]. Ini tingkatan terendah dalam darjat ahli hadis. Apabila bersama semua ini, ia mendengar juga kitab-kitab thibaq, lalu mendatangi berbagai ulama, dan berbicara tentang ‘ilal, wafat perawi dan berbagai sanad, maka ia telah mencapai darjat muhaddits. Lalu Allah akan menambahkan apa yang dikehendaki bagi orang yang dikehendaki-Nya.”
Dari praktek ke teori
Saya bukanlah ahli hadis, dan saya berlindung kepada Allah daripada mendakwa diri saya sebagai pakar hadis. Namun begitu, saya berminat dengan ilmu ini dan ingin berbagi sedikit pengalaman kepada para pembaca sekalian. Mudah-mudahan memberi manfaat bagi sesiapa yang hendak mempelajari ilmu hadis dengan lebih efektif. Saya menjadi sadar bahawa selama ini saya hanya “menghafal istilah” hadis, bukan mempelajari “ilmu hadis”, apalagi menyelami dan menggunakan “pemikiran” ahli hadis.
Seorang Muhadits tidak ingin memulai pengajaran ilmu hadis dengan teori, namun dengan praktek. Sebab latihan praktikal itu yang akan membentuk kemahiran dalam jiwa seorang pelajar.
Ada seorang ulama mengucapkan kata-kata yang sangat berkesan ke dalam jiwa saya. Beliau berkata, “Ilmu hadis seperti ilmu Nahwu. Andai engkau menghafal seluruh isi kitab “Alfiah Ibn Malik” sekalipun, namun jika tidak pernah mempraktikkan bahasa Arab dan I’rab, maka engkau tidak akan tahu apa-apa tentang Nahwu. Begitu juga ilmu hadis, andai engkau menghafal kitab “Muqaddimah Ibn Solah” sekalipun, namun jika tidak pernah menghafal perawi dan mengkaji sanad, maka engkau tidak tahu apa-apa tentang ilmu hadis!”
Metode pengajaran ini memang sangat berat, terbukti banyak murid-murid yang gugur di tengah jalan. Namun bagi saya, metode ini terbukti sangat efektif dalam membantu memahami cara pikir ahli hadis dengan lebih mendalam dan tepat. Siapa yang cukup kuat untuk melaksanakannya akan dapat menilai karya tulis dan takhrij tokoh kontemporer yang menulis dalam bidang hadis, siapakah yang lebih dekat dengan dengan logika ahli hadis dan siapakah yang jauh daripadanya?
Wallahu a’lam.
Saya bukan hendak membahas tiap-tiap satu daripada lima cara pemikiran tersebut. Saya sadar itu berada di luar disiplin kajian saya. Akan tetapi, artikel saya kali ini akan mengulas sebuah ucapan Gardner yang saya temukan sangat mengena dalam hati dan kesadaran saya. Beliau menulis seperti ini: “My formal discipline is psychology, and it took me a decade to think like psychologist.”
Saya setuju dengan kata-kata ini. Memang sering kali terdapat jurang antara disiplin formal seseorang dengan cara pemikiran yang seharusnya ia miliki dan gunakan. Dengan kata-kata lebih sederhana, anda tidak otomotis menjadi seorang pakar psikologi hanya karena anda lulus dari fakultas psikologi. Akan tetapi diperlukan masa yang cukup lama untuk melatih diri sehingga berpikir seperti seorang pakar psikologi. Fenomena ini terjadi pada semua disiplin ilmu,baik ilmu sekuler ataupun ilmu agama.
Fiqh
Jika kita terapkan kata-kata ini dalam ilmu-ilmu keislaman, saya berani berkata bahwa seseorang tidak otomatis menjadi seorang faqih, atau berfikir seperti faqih, hanya dengan belajar di jurusan di jurusan Syariah, di Universitas manapun.
Kemahiran fiqh [al-malakah al-fiqhiah] hanya diraih setelah lama bersabar melatih diri dalam menerapkan kaidah-kaidah usul, mengkaji semua hukum furu’ yang terdapat di dalam kitab-kitab fiqh, menyamakan dua hukum furu’ yang berbeda [al-asybah wan naza’ir] dan membedakan yang sama [al-furuq], mengembalikan furu’ kepada ushul, memahami berbagai hujah dan dalil, mengetahui masalah-masalah yang disepakati dan diperselisihkan [mawadi’ al-ijma’ wal ikhtilaf], mengkias dan mentakhrij masalah baru dengan masalah lama, memahami maqasid syariah, selain bermujahadah dengan sifat warak dan zuhud, selalu meminta petunjuk dari Ulama dan memohon petunjuk dari Allah Swt.
Melatih diri dengan “fiqh praktikal” seperti ini akan membuat otaknya terbiasa berfikir dalam kerangka fiqh, lalu sedikit demi sedikit terbentuk jiwa seorang faqih di dalam diri. Pada saat itu, fatwa dan ucapannya tentang suatu hukum tidak akan melahirkan kontroversi. Berkata Imam Al-Syafii, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Khatib Al-Baghdadi dalam kitab Al-Faqih wa Al-Mutafaqqih [1/59]:
لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يُفْتِيَ فِي دِينِ اللَّهِ إلَّا رَجُلًا عَارِفًا بِكِتَابِ اللَّهِ بِنَاسِخِهِ وَمَنْسُوخِهِ ، وَمُحْكَمِهِ وَمُتَشَابِهِهِ ، وَتَأْوِيلِهِ وَتَنْزِيلِهِ ، وَمَكِّيِّهِ وَمَدَنِيِّهِ ، وَمَا أُرِيدَ بِهِ ، وَيَكُونُ بَعْدَ ذَلِكَ بَصِيرًا بِحَدِيثِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَبِالنَّاسِخِ وَالْمَنْسُوخِ ، وَيَعْرِفُ مِنْ الْحَدِيثِ مِثْلَ مَا عَرَفَ مِنْ الْقُرْآنِ ، وَيَكُونُ بَصِيرًا بِاللُّغَةِ ، بَصِيرًا بِالشِّعْرِ وَمَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ لِلسُّنَّةِ وَالْقُرْآنِ ، وَيَسْتَعْمِلُ هَذَا مَعَ الْإِنْصَافِ ، وَيَكُونُ بَعْدَ هَذَا مُشْرِفًا عَلَى اخْتِلَافِ أَهْلِ الْأَمْصَارِ ، وَتَكُونُ لَهُ قَرِيحَةٌ بَعْدَ هَذَا ، فَإِذَا كَانَ هَكَذَا فَلَهُ أَنْ يَتَكَلَّمَ وَيُفْتِيَ فِي الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ ، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ هَكَذَا فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُفْتِيَ .
“Tidak halal bagi seseorang berfatwa di dalam agama Allah kecuali seseorang yang mengusai Kitab Allah; nasikh dan mansukhnya, muhkam dan mutasyabihnya, takwilnya dan tanzilnya, makki dan madaninya, dan apa yang dimaksudkan dengannya. Setelah itu, ia juga wajib menguasai hadis Rasulullah Saw, [hadis] nasikh dan mansukhnya, dan ia menguasai hadis sepertimana ia menguasai Al-Qurán. Ia juga mesti menguasai ilmu bahasa, menguasai syair-syair Arab yang diperlukan dalam [memahami Al-qurán dan sunnah], dan menggunakan ilmu ini dengan penuh keinsafan. Setelah itu, ia juga mesti mengetahui ikhtilaf para ulama dari berbagai negeri, ia juga harus memiliki tajam pemikiran. Apabila orang itu seperti ini, maka dipersilakan untuk berbicara dan berfatwa di dalam perkara halal dan haram. Jika tidak seperti itu, maka tidak boleh baginya berfatwa.”
Tanpa ini semua, anda mungkin bisa mendapat derajat tinggi dalam mata pelajaran fiqh, bahkan meraih Doktor Falsafah dari Universitas Timur dan Barat, namun saya jamin anda tidak akan pernah menjadi seorang faqih. Dan gelaran mujtahid tentu lebih jauh lagi.
Hadits
Dalam bidang hadits pun seperti itu. Anda mungkin telah meraih gelar master atau doktor dalam bidang hadis, namun itu belum membuat anda menjadi seorang muhaddis apalagi hafiz. Untuk mencapai derajat ini, anda harus menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk menghafal nama-nama perawi, menimbang hafalan setiap daripada mereka, mengumpulkan sanad, mentakhrij hadis, menyingkap dan memahami ‘illat-‘illat yang sangat halus, mengkaji kometar ahli hadis dalam menilai status hadis, memeriksa kontradiksi matan hadis dengan nas-nas syarak yang lain [ikhtilaf dan musykil hadits], dan berbagai “ilmu hadis praktikal” lainnya.
Semua ini memerlukan ketelitian dan latihan yang panjang. Tanpa ini semua, anda mungkin boleh menguasai mustolah hadis [yakni menghafal istilah-istilah dan takrif-takrif] tapi bukan ilmu hadis. Anda mungkin menjadi sarjana dalam bidang hadis, namun bukan ahli hadis. Imam Husyaim bin Basyir berkata:
من لم يحفظ الحديث فليس هو من أصحاب الحديث
“Orang yang tidak menghafal hadis, maka bukanlah ia termasuk daripada ahli hadis.” [Al-Kifayah fi ‘Ilm Al-Riwayah hal. 228].
Berkenaan dengan ini, Al-Hafiz al-Suyuthi menukil ucapan Tajuddin Al-Subki dalam pembukaan kitabnya “Tadrib Al-Rawi” [hal. 9] sebagai berikut:
من النَّاس فرقة ادَّعت الحديث, فكان قصارى أمرها النَّظر في «مشارق الأنوار» للصَّاغانى, فإن تَرَفَّعَت ارتقت إلى «مصابيح» البغوي, وظنَّت أنَّها بهذا القدر تصل إلى درجة المُحدِّثين, وما ذلك إلاَّ بجهلها بالحديث, فلو حفظ من ذكرناه هذين الكتابين عن ظهر قلب, وضمَّ إليهما من المُتون مثليهما لم يكن مُحدِّثًا, ولا يصير بذلك مُحدِّثًا حتَّى يَلج الجَمَلُ في سَمِّ الخياط, فإن رامت بُلوغ الغاية في الحديث على زعمها, اشتغلت «بجامع الأصول» لابن الأثير, فإن ضمت إليه «علوم الحديث» لابن الصَّلاح, أو مُختصره المُسمَّى «بالتقريب والتيسير» للنووى, ونحو ذلك, وحينئذ يُنادى من انتهى إلى هذا المقام: بمحدِّث المُحدِّثين, وبُخاري العصر, وما ناسب هذه الألفاظ الكاذبة, فإنَّ من ذكرناهُ لا يُعَدُّ مُحدثًا بهذا القدر, وإنَّما المُحدِّث من عرف الأسانيد, والعلل, وأسماء الرِّجال, والعالي والنازل, وحفظ مع ذلك جُملة مُستكثرة من المُتون, وسع الكتب السِّتة, و«مسند» أحمد بن حنبل, و«سنن» البَيْهقى, و«معجم» الطَّبراني, وضمَّ إلى هذا القدر ألف جُزء من الأجزاء الحديثية, هذا أقل درجاته, فإذا سمع ما ذكزناهُ, وكتب الطِّباق, ودار على الشِّيوخ, وتكلَّم في العلل, والوفيات, والمَسَانيد, كان في أوَّل درجات المُحدِّثين, ثمَّ يزيد الله من يشاء ما شاء.
“Sekelompok manusia mendakwa dirinya sebagai ahli hadis, padahal maksimal yang mereka lakukan hanyalah memandang kitab Masyariq Al-Anwar karangan Al-Saghani, paling tinggipun hanya sampai kepada kitab Masabih karya Al-Baghawi. Ia mengira dengan seperti ini telah mencapai darjat muhaddits.
Hal ini hanyalah karena kejahilan mereka tentang hadis. Andai mereka menghafal kitab-kitab yang saya sebutkan tadi, ditambah dua kali lipat daripada itu, ia tetap belum menjadi seorang muhaddis hingga unta masuk ke lubang jarum! Jika ia ingin mencapai darjat tertinggi, ia menyibukkan diri dengan kitab Jami Al-Ushul karya Ibn Al-Atsir. Jika ia membaca bersamanya kitab Ulumul Hadits karya Ibn Al-Solah, atau ringkasannya yang bertajuk Al-Taqrib wa Al-Taysir karangan Al-Nawawi, pada saat itu ia segera digelari muhadits al-muhadditsin, atau “Bukhari zaman ini.”
Gelaran-gelaran dusta ini sangat tidak patut sama sekali. Sesungguhnya seseorang tidak dianggap sebagai muhaddits hanya dengan membaca dan memahami seperti itu. Muhaddits ialah orang yang menguasai sanad, ‘ilal, nama-nama perawi, juga al-‘ali wan nazil [riwayat yang tinggi dan rendah], lalu menghafal jumlah yang banyak daripada matan-matan hadis. Ia mendengar dari gurunya enam kitab hadis [al-kutub al-sittah], Musnad Ahmad, Sunan Al-Baihaqi, Mu’jam Al-Thabarani, ditambah lagi seribu risalah daripada risalah-risalah hadis [al-ajza al-haditsiah]. Ini tingkatan terendah dalam darjat ahli hadis. Apabila bersama semua ini, ia mendengar juga kitab-kitab thibaq, lalu mendatangi berbagai ulama, dan berbicara tentang ‘ilal, wafat perawi dan berbagai sanad, maka ia telah mencapai darjat muhaddits. Lalu Allah akan menambahkan apa yang dikehendaki bagi orang yang dikehendaki-Nya.”
Dari praktek ke teori
Saya bukanlah ahli hadis, dan saya berlindung kepada Allah daripada mendakwa diri saya sebagai pakar hadis. Namun begitu, saya berminat dengan ilmu ini dan ingin berbagi sedikit pengalaman kepada para pembaca sekalian. Mudah-mudahan memberi manfaat bagi sesiapa yang hendak mempelajari ilmu hadis dengan lebih efektif. Saya menjadi sadar bahawa selama ini saya hanya “menghafal istilah” hadis, bukan mempelajari “ilmu hadis”, apalagi menyelami dan menggunakan “pemikiran” ahli hadis.
Seorang Muhadits tidak ingin memulai pengajaran ilmu hadis dengan teori, namun dengan praktek. Sebab latihan praktikal itu yang akan membentuk kemahiran dalam jiwa seorang pelajar.
Ada seorang ulama mengucapkan kata-kata yang sangat berkesan ke dalam jiwa saya. Beliau berkata, “Ilmu hadis seperti ilmu Nahwu. Andai engkau menghafal seluruh isi kitab “Alfiah Ibn Malik” sekalipun, namun jika tidak pernah mempraktikkan bahasa Arab dan I’rab, maka engkau tidak akan tahu apa-apa tentang Nahwu. Begitu juga ilmu hadis, andai engkau menghafal kitab “Muqaddimah Ibn Solah” sekalipun, namun jika tidak pernah menghafal perawi dan mengkaji sanad, maka engkau tidak tahu apa-apa tentang ilmu hadis!”
Metode pengajaran ini memang sangat berat, terbukti banyak murid-murid yang gugur di tengah jalan. Namun bagi saya, metode ini terbukti sangat efektif dalam membantu memahami cara pikir ahli hadis dengan lebih mendalam dan tepat. Siapa yang cukup kuat untuk melaksanakannya akan dapat menilai karya tulis dan takhrij tokoh kontemporer yang menulis dalam bidang hadis, siapakah yang lebih dekat dengan dengan logika ahli hadis dan siapakah yang jauh daripadanya?
Wallahu a’lam.
0 comments:
Posting Komentar