Bumi itu datar, itulah anggapan sebagian orang-orang terdahulu terhadap
bumi, terutama di semenanjung Arab pada zaman Nabi Muhammad SAW. Di saat
paham mengenai “bumi itu bulat” yang dipionirkan oleh Phytaghoras (abad
6 SM) dan Aristotle (384-322 BC) mulai berkembang di beberapa belahan
bumi, belahan bumi yang lain menganut paham bahwa “bumi itu datar”.
Kepercayaan akan bentuk bumi itu sendiri, baik bumi itu datar maupun
bulat, masih didasarkan pada pengamatan indera dan argumen-argumen
logika, tanpa bukti-bukti ilmiah, sehingga paham tersebut kurang begitu
populer dibandingkan dengan paham yang telah dipercaya oleh orang-orang
terdahulu jauh sebelum itu. Beberapa mengambil argumen bentuk bumi
dengan bersandarkan akan interpretasi akan wahyu, terutama gereja-gereja
Nasrani awal dan orang-orang Yahudi pada zaman Nabi Muhammad SAW.
Dengan kata lain, walaupun paham “bumi itu bulat” sudah ada pada saat
itu, akan tetapi sebagian besar manusia masih percaya bahwa “bumi itu
datar”.
Al-Qur'an diturunkan pada masa dimana hampir sebagian besar penduduk
semenanjung Arab menganggap bumi itu datar, dan mungkin pemikiran bahwa
bumi itu bulat pada saat itu adalah sesuatu hal yang tidak dapat
diterima, terlebih ilmu astronomi saat itu tidak populer di kalangan
orang-orang Arab. Pada masa sekarang ini, paham “bumi itu bulat” hampir
tak terbantahkan. Bukti-bukti nyata, baik melalui pengamatan di bumi
bahkan dengan melalui pengamatan langsung di luar angkasa telah
disodorkan kepada kita, sehingga paham bahwa “bumi itu datar” sukar
untuk dipertahankan. Namun perlu diingat bahwa Al-Qur’an turun tidak
dimasa ini, akan tetapi di masa ketika orang-orang masih percaya bahwa
bumi itu datar. Bahkan di berbagai tempat di dalam Al-Qur'an dikatakan
bahwa bahwa bumi itu di bentangkan dan dihamparkan (dalam bahasa
arab-nya dikatakan dengan "faraash", "wasia", "mahd", "basaat",
"suttihat", "tahaaha", "dahaaha")
[51:48] Dan bumi itu Kami hamparkan, maka sebaik-baik yang menghamparkan (adalah Kami)
[15:19] Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya
gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran.
[50:7] Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya
gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman
yang indah dipandang mata
[71:19] Dan Allah menjadikan bumi untukmu sebagai hamparan
[78:6] Bukankah Kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan ?
[79:30] Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya
[88:20] Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
[91:6] dan bumi serta penghamparannya
[13:3] Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi ...
Ayat-ayat ini dijadikan argumen yang menunjukkan bahwa bumi itu datar,
menurut Al-Qur’an. Kata-kata dibentangkan dan dihamparkan, semuanya
memiliki makna datar. Jadi, Allah melalui Al-Qur’an menyatakan bahwa
bumi itu sebenarnya datar, sebagaimana yang disebutkan di awal
penciptaan. Atau benarkan demikian ?
Pertama-tama patut kita lihat, kata datar, atau lurus dalam bahasa arab
adalah "sawi" atau "almustafi". Tidak ada satu pun kata dalam Al-Qur'an
yang menggunakan kedua frasa tersebut untuk mendeskripsikan bumi.
Sesuatu yang datar juga memiliki sudut atau pojok atau sisi atau akhir,
yang mana istilah-istilah ini pun tidak pernah digunakan Al-Qur'an dalam
mendeskripsikan bumi. Walaupun AL-Qur'an diturunkan di masa dimana
orang-orang berpikir bahwa bumi itu datar, akan tetapi tidak ada satu
pun ayat di dalam Al-Qur'an yang secara explisit mengatakan bahwa bumi
itu datar.
Kita lihat lagi di surah Ar-Rahmaan ayat 33 yang berbunyi :
[55:33] Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup melintasi
penjuru (aqthar) langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat
menembusnya kecuali dengan kewenangan (keahlian / kekuasaan).
Catatan : kata "bi sulthaan" di akhir ayat ini sering diterjemahkan
dengan "kekuatan". Arti dari "sulthaan" ini sendiri adalah kewenangan,
keahlian, kekuatan.
Perhatikan bahwa Al-Qur'an menggunakan kata "aqthar" yang diterjemahkan
sebagai penjuru (region). Kata "Aqthar" ini sendiri mengandung arti
diameter atau garis tengah, dan dihadirkan dalam bentuk jamak. Bentuk
tunggal dari "aqthar" adalah "quthr" dan dualnya adalah "qutharin".
Suatu bangun tiga dimensi yang memiliki "banyak" diameter adalah
elipsoid atau yang cenderung menyerupai itu. Elipsoid merupakan suatu
bangun yang bulat menyerupai bola dengan bentuk memipih seperti telur.
Jadi, 1400 tahun yang lalu, Al-Qur'an menyatakan bahwa alam semesta
(dalam hal ini langit) dan bumi berbentuk elipsoid, bola pipih, disaat
sebagian besar penduduk dunia saat itu menganggap bumi adalah datar,
dan langit adalah apa yang terlihat dari bumi dengan mata telanjang.
Pengartian "aqthar" sebagai "diameter" pada jaman-jaman dahulu tidak
dikenal, sehingga akhirnya di artikan dengan kata-nya yang terdekat
aqtashara yang berarti penjuru. Akan tetapi banyak kata-kata dalam
Al-Qur'an yang tidak biasa atau tidak dikenal pada zamannya sehingga
pengertiannya di ambil yang terdekat atau lebih umum pada masa itu.
Apalagi pada masa itu menyatakan "bumi itu bulat" adalah suatu ide yang
kurang dapat diterima. Sebagai firman Allah, Al-Qur'an menyatakan
kebulat-pipihan bumi secara tersirat, yang akan dapat dibuktikan
berabad-abad kemudian seiring dengan kemajuan ilmu dan teknologi
manusia.
Penggunaan dan pemilihan kata itu sendiri merupakan salah satu
keistimewaan Al-Qur'an. "Aqthar" sebagai diameter memang mungkin tidak
dikenal pada zamannya, akan tetapi Allah yang maha Mengetahui tahu bahwa
berabad-abad kemudian bahwa kata "aqthar" akan digunakan sebagai
"diameter", jauh sebelum manusia menyadari bahwa Al-Qur'an menyebutkan
hal yang akan membuktikan kesesuaiannya dengan ilmu pengetahuan. Sama
halnya dengan kata "kawkaban" yang di pakai di beberapa ayat lain di
dalam Al-Qur'an, yang pada zaman diturunkannya Al-Qur'an hanya di kenal
sebagai "bintang", belakangan setelah ditetapkannya istilah planet, maka
"kawkaban" pun memiliki arti sebagai "planet".
Di surah lain, Az-Zumar ayat 5, Allah Berfirman :
[39:5] Dia menciptakan langit dan bumi dengan haq; Dia menutupkan
(yukawwiru) malam atas siang dan menutupkan siang atas malam ...
"Menutupkan" (yukawwiru) dalam ayat di atas secara bahasa mengandung
pengertian "melapisi sesuatu kepada suatu benda yang bundar", biasanya
dipakai dalam istilah "menutupkan turban di kepala". Jadi sekali lagi
secara tersirat Allah ingin memberitahukan kepada manusia bahwa bumi itu
tidaklah datar seperti yang diperkiraan.
Pertanyaan lain muncul : mengapa Allah tidak langsung menyatakan bahwa
bumi itu bulat? Melainkan harus membuatnya tersirat? Sedangkan banyak
ayat lainnya menyatakan bahwa bumi itu di bentangkan, dihamparkan,
didatarkan ?
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, Al-Qur'an diturunkan dimasa
sebagian besar manusia berpikir bahwa bumi itu datar. Menyatakan secara
langsung bumi itu bulat akan membuat Islam semakin tidak akan diterima
pada masa itu, banyak orang akan menuduh Nabi adalah orang yang
benar-benar gila. Masalah bumi dan alam semesta itu bulat atau elipsoid
bukanlah masalah yang terkait dengan tauhid dan perbaikan akhlak yang
menjadi misi utama Islam pada masa itu, oleh sebab itu ayat-ayat yang
menyatakan bumi itu bulat diturunkan Allah secara tersirat, karena
sebagai kitab “penutup”, Al-Qur’an harus sejalan dengan tanda-tanda yang
Allah taruh di seluruh penjuru alam semesta. yang kebenarannya akan
dapat dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, bagi kaum yang
mau berfikir, wallahu a'lam. Di pihak lain, tidak ada satupun ayat dalam
Al-Qur'an yang secara terang-terangan menyatakan bahwa bumi itu datar
ataupun diam tidak bergerak.
Pertanyaan lain menjadi muncul, apa maksudnya Al-Qur'an menyatakan bumi
itu dihamparkan atau dibentangkan? bukannya itu sama saja mengatakan
bahwa bumi itu datar?
Pernyataan "bumi itu dihamparkan/dibentangkan" dengan "bumi itu datar"
adalah dua hal yang berbeda. Sekarang mari kita melihat sejarah, selama
beratus-ratus bahkan beribu-ribu tahun manusia percaya bahwa bumi itu
datar. Mengapa? Jawabannya : karena bumi itu didatarkan Allah agar
makhluk-makhluknya dapat hidup di bumi. Karena selama itu manusia sama
sekali tidak pernah merasakan bahwa bumi itu bulat. Tidak sampai pada
akal manusia saat itu bagaimana manusia dan hewan-hewan dapat hidup di
suatu benda yang bulat tanpa dia tergelincir daripadanya. Allah
memberikan gravitasi yang sesuai bagi bumi sehingga mampu menyokong
kehidupan makhluk-makhluk yang ada didalamnya, dimana setiap makhluk
tersebut tidak akan merasakan bumi itu bulat. Ya, dengan gravitasi,
Allah menjadikan bumi yang bulat menjadi datar.
[79:27] Apakah kamu lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membinanya,
[79:28] Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya,
[79:29] dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita, dan menjadikan siangnya terang benderang.
[79:30] Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya.
[79:31] Ia memancarkan daripadanya mata airnya, dan (menumbuhkan) tumbuh-tumbuhannya.
[79:32] Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh,
[79:33] (semua itu) untuk kesenanganmu dan untuk binatang-binatang ternakmu.
Perhatikan dalam surah An-Naazi'aat diatas "penghamparan Bumi" terjadi
setelah Allah menjadikan siang dan malam di bumi. Berarti sebelum
"penghamparan" itu, bumi sudah ada, akan tetapi bumi masih bulat tanpa
gravitasi yang sesuai, masih belum dapat dihuni oleh makhluk hidup.
Barulah setelah itu bumi "dihamparkan / didatarkan" oleh Allah, sehingga
air, laut, tumbuh-tumbuhan mulai bermunculan di bumi, begitu juga
manusia. Kita semua merasakan bumi itu "datar" walaupun sebenarnya bumi
itu bulat.
Menurut ilmuwan mesir kontemporer, Zaghlul an-Najjar, menyatakan bahwa
pada awal penciptaan langit dan bumi, kecepatan putaran bumi pada
porosnya amatlah tinggi sehingga dalam setahun melebihi 2200 hari dengan
panjang siang dan malam kurang dari 4 jam. Pada saat itu bumi belum
“dihamparkan”. Makhluk hidup belum dapat hidup dipermukaannya. Setelah
itu, Allah mulai proses “penghamparan” bumi.
Yang menarik dari surah An-Naazi'at ayat 30 ini adalah kata "dahaha"
yang banyak menjadi perdebatan. "Dahaha" di sini di artikan dengan
"dihamparkan", hanya muncul sekali yaitu di ayat ini, dari sekian banyak
ayat Al-Qur'an yang mengatakan "dihamparkan / dibentangkan".
[79:30] Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya (dahaha).
"Dahaha" berasal dari kata kerja "daha" yang diturunkan dari kata kerja
"dahu" yang dapat berarti membentangkan, mendorong, melemparkan,
menggerakkan. Ibnu Barri mengatakan "Daha al-Ardh" berarti mendorong
bumi sehingga bergerak. Disini An-Naazi'at ayat 30 dapat diartikan "Dan
sesudah itu bumi Allah gerakkan (didorong sehingga berputar) hingga
akhirnya menjadi (terasa) datar". Juga dapat dilihat berdasarkan asal
katanya “dahraj” yang berarti bergerak berputar atau berguling.
Saat ini pergerakan bumi (rotasi dan revolusi) diketahui sebagai
penyebab adanya gravitasi dan juga menyebabkan bentuk bumi menjadi lebih
panjang di equatorial (bulat pipih), sesuatu yang telah disampaikan
Allah melalui Al-Qur'an 15 abad silam, wallahu a'lam.
[77:25] Bukankah Kami menjadikan bumi (tempat) berkumpul (Kifaatan)
[77:26] yang hidup dan yang mati
"Kifaatan" pada surah Al-Mursaalat ayat 25 diatas diartikan dengan
"berkumpul", berasal dari kata "kafata" yang berarti "mengumpulkan ke
suatu tempat". Ayat ini mengindikasikan adanya suatu kekuatan pada bumi
yang menarik segala sesuatu yang hidup maupun yang mati di bumi untuk
kembali berkumpul di bumi (baca : gravitasi). Karena Allah menjadikan
bumi "tempat berkumpul" lah, sehingga manusia merasakan bahwa bumi itu
datar, padahal sebenarnya bumi itu relatif bulat yang "dihamparkan"
Allah dengan cara di "daha" kan.
[70:40] Maka aku bersumpah dengan Tuhan Yang memiliki (semua) timur
(masyaariq) dan (semua) barat (maghaaribi), sesungguhnya Kami
benar-benar Maha Kuasa.
Al-Ma’aarij (70) ayat 40 di atas menyatakan secara explisit bahwa bumi
memliki banyak timur (masyaariq, bentuk jamak) dan banyak barat
(maghaaribi, bentuk jamak), sesuatu yang tidak mungkin apabila bumi itu
datar. Banyak timur dan banyak barat memungkinkan apabila bumi itu
berbentuk bulat ataupun elipsoid, sehingga untuk setiap titik di bumi,
barat dan timurnya berbeda-beda dikarenakan matahari yang menjadi acuan
timur dan barat terlihat pada posisi yang berbeda-beda saat terbit dan
terbenamnya apabila bumi berbentuk bulat, dan seharusnya terlihat sama
apabila bumi itu memang datar.
Masyaariq dan Maghaarib dalam bahasa arab juga dapat berarti "tempat
terbit matahari" dan "tempat terbenam matahari" sebagaimana yang dipakai
di surah Ar-Rahmaan ayat 17 :
[55:17] Tuhan yang memelihara kedua tempat terbit matahari dan Tuhan yang memelihara kedua tempat terbenamnya.
Surah Ar-Rahmaan ayat 17 di atas menyatakan bahwa Allah menjadikan bumi
memiliki dua tempat terbit matahari (masyariqayn) dan dua tempat
terbenam matahari (magharibayn). Ayat ini secara simbolis menyatakan
bahwa bumi itu bulat dan berotasi. Jika di suatu tempat telah mengamati
bahwa matahari terbenam, pada saat yang sama di belaham bumi yang
berlawanan mengamati bahwa matahari baru terbit, sehingga secara
pengamatan, ada dua tempat terbit matahari dan dua tempat terbenamnya,
yang mengindikasikan bahwa bumi itu bulat dan berotasi.
Tempat Terendah di Bumi
Postingan ini akan diakhiri dengan membahas surah Ar-Ruum ayat 1 - 3 :
[30:1-3] Alif Laam Miim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi di negeri
yang terdekat (adnal) dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang
Ayat yang diturunkan sekitar tahun 620 M ini menceritakan mengenai
kekalahan bangsa Romawi, dalam hal ini Byzantine melawan bangsa Persia,
dengan puncak kekalahan adalah direbutnya kota Yerusallem, diambilnya
true cross dari tangan umat kristen Yerusallem, dan pembantaian
57000-65000 orang di Yerusallem setelah Byzantine kalah berperang dengan
tentara Persia yang dipimpin Khosrou di sekitar laut mati (dead sea
basin), yang terletak di antara Palestina dan Yordania saat sekarang
ini.Dan Al-Qur'an meramalkan bahwa walaupun pada saat itu bangsa Ruum
(Byzantine) dikalahkan, tetapi mereka akan bangkit dan menang terhadap
Persia (yang mana terbukti beberapa tahun kemudian setelah ayat ini
diturunkan)
Perhatikan kata "Adnal" dalam ayat di atas yang diartikan "terdekat".
Kata "adnal" itu sendiri berarti "terendah", namun kalimat "negeri yang
terendah" pada masa diturunkannya ayat ini kurang dapat dimengerti
sehingga pengertiannya dijadikan yang "terdekat".
Faktanya, daerah sekitar laut mati (dead sea), yang disebut juga sebagai
laut garam, merupakan daratan terendah di permukaan Bumi, yaitu 394
meter (1291 kaki) di bawah permukaan laut.
Fakta yang baru diketahui manusia melalui citra yang diambil dari
satelit ini sudah diungkapkan Allah kepada manusia melalui kitab-Nya
yang sempurna 15 abad yang lalu.
Wallahu a'lam
Maha benar Allah dengan segala firman-Nya
0 comments:
Posting Komentar